Reina terlihat kebingungan. “Ya, maaf, Pak. Saya 'kan juga kaget.” Regan menarik nafas panjang. Lelaki tampan menggelengkan kepalanya perlahan. Kemudian melanjutkan kembali menyetir mobil dengan lebih santai. Reina duduk sambil memainkan jemarinya sendiri. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka berdua. ‘Memangnya Ayah sudah pulang dari rumah sakit, ya? Kok nggak ada yang ngajarin aku, ya? Terus gimana nanti kalau Ayah marah? Pasti Ayah kecewa berat sama Reina.’ Mobil berhenti perlahan. Namun Reina tidak menyadarinya. “Kita sudah sampai Reina,” ucap Regan mengingatkan. Reina tak menyahut. “Reina!” teriak Regan kemudian. “Eh, iya, Pak. Saya masih hidup.” Reina keceplosan. Entah mengapa ia bisa menjawab seperti itu. Gadis itupun melihat ke kanan dan ke kiri. Lalu tersenyum kikuk. “Eh, sudah sampai ya?” Reina segera turun dari mobil. Ia bisa melihat wajah serius Regan yang sejak tadi menatapnya. “Pak Regan senyum dikit, dong. Jangan cemberut terus wajahnya,” goda Reina kehabi
Tetapi sedetik kemudian, Reina menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak mungkin. Pak Regan tidak tahu apa-apa tentang masalah ini.”Reina tidak ingin ambil pusing. Mungkin benda itu hanya sedang bersembunyi di suatu tempat. Ya, sepertinya Reina lupa meletakkannya di mana. Atau sudah memindahkannya di tempat yang aman.Dengan perlahan Reina naik ke atas ranjang. Kemudian ia ikut tertidur di samping Regan. Gadis itu tampak lelah dan tak sadar jika ia mulai membuang guling pembatas yang Reina letakkan tadi.Keesokan harinya Regan terbangun terlebih dahulu. Betapa ia cukup terkejut saat membuka kedua mata dan tampaklah Reina sedang memeluk erat tubuhnya. Namun Regan justru menikmati momen itu. Sebelah kanan sudut bibirnya sedikit terangkat. “Apakah dia pikir aku ini guling?” lirih Regan masih sulit untuk percaya.Ternyata ucapannya membuat Reina terusik. Kedua mata gadis itu mengerjap pelan. Ia belum sadar akan tindakannya yang memalukan.Tetapi beberapa detik kemudian Reina berteriak kenca
Dalam waktu yang bersamaan Reina dan Jeffan menoleh ke arah Pak Regan. Reina menunduk malu. Ia mengalihkan kegugupan dengan sibuk menyelipkan rambut ke daun telinganya. “Kamu tidak perlu membawa barang banyak-banyak, Reina. Di sana nanti sudah lengkap.” 'Hah? Bagaimana mungkin? Memangnya Pak Regan tahu ukuran semua pakaianku? Memangnya Pak Regan mengerti tentang barang-barang perempuan?' Reina mengomel sendiri di dalam hatinya. Sementara Jeffan melihat ke arah Reina dan Regan secara bergantian. Kemudian ia paham apa yang harus dilakukan. “Bos! Apa yang perlu saya kerjakan sekarang?” tanya Jeffan seraya melangkah menghampiri CEO tampan itu. Regan melihat jam di tangannya. “Ya, ikut denganku sebentar!” perintah Regan kemudian. Sebelum meninggalkan kamar, Regan melirik ke arah istrinya sejenak dan tersenyum penuh arti. “Eh, apaan?! Senyumannya mencurigakan sekali.” terka Reina yang tak bisa sepenuhnya percaya dengan tingkah manis suaminya. Reina pun telah menyelesaikan pekerjaanny
Reina sudah merasa ngos-ngosan. Ia menundukkan tubuhnya sambil mengatur nafasnya yang berantakan. “Maaf,” ucap Regan sambil membukakan pintu untuk istrinya. Reina melirik kesal. Tidak habis pikir dengan sikap Regan yang kembali menyebalkan. “Bukan maksudku untuk meninggalkanmu. Tadi mesinnya agak rewel.” ‘Tidak masuk akal sekali alasannya.’ Reina hanya bisa membatin. Ia tidak ingin dianggap bertengkar. Apalagi ada Rafa yang duduk di belakang. Adiknya tersebut terlihat sedang asyik bermain mobil-mobilan. “Mainannya baru lagi, Dek?” tanya Reina kepo. “Em ... suami dicuekin. Terus ngalihin pembicaraan. Cerdas sekali istriku.” “Sudahlah, Pak. Reina sudah memaafkan kok. Nggak perlu dibahas lagi.” Reina bertanya kembali kepada Rafa untuk mengusir ketidaknyamanan suasana di dalam mobil. “Iya Kak Reina. Kak Regan yang beliin. Bagus 'kan mainannya.” Refa terlihat sangat senang. “Pak Regan kok sering-sering beliin Rafa mainan sih?!” protes gadis itu kepada suaminya. “Kenapa? Kamu mau
Namun tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka. Membuat Regan refleks menjauhkan kepalanya dan melihat ke arah pintu. Sementara Reina segera berlari untuk mengenakan pakaian setelah tadi sempat tertunda akibat ulah Regan. “Rafa, ada apa?” tanya Regan lembut. Ia segera menghampiri adiknya tersebut. “Rafa minta maaf ya, Kak. Rafa tidak bisa tidur. Mungkin karena kamarnya terlalu luas. Dan tidak terbiasa tidur sendirian.” Adik kecil itu terlihat sungguh-sungguh dalam berbicara. Reina pun segera muncul dengan pakaian barunya. “Kasihan kamu, Dek. Ya sudah kakak temani, ya?” Tangan Reina terulur mengusap kepala Rafa. Reina pun segera meninggalkan kamarnya. Ia menemani adiknya tidur di kamar Rafa. Sementara Regan merasa sedikit kesal. Rencananya gagal. Padahal ia sudah membayangkan sesuatu hal yang indah. Sedetik kemudian ponselnya berbunyi. Pesan dari sang asisten. “Aku harus menemuinya.” Tanpa berpikir panjang Regan meninggalkan apartemennya. Ia bergegas pulang ke rumah mama tiriny
Reina tersadar dengan keadaan kedua matanya tertutup oleh sebuah kain hitam. Gadis itu tidak bisa melihat apa-apa. Namun ia dapat merasakan seseorang tengah menyentuh dirinya.“Siapa kamu?! Lepaskan, aku!” teriak Reina sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.“Nyonya Reina tidak perlu takut. Kami tidak akan menyakiti Anda,” balas seorang wanita kepada Reina.Reina merasa heran. Kenapa dirinya harus diperlakukan seperti itu. ‘Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi sepertinya mereka tidak macam-macam kepadaku. Sebaiknya aku menurut saja.’Beberapa jam lamanya Reina duduk dan merasakan dirinya sedang dirias. Bahkan pakaiannya telah berganti.Setelah itu Reina dibawa masuk kembali ke dalam mobil dan dibawa ke suatu tempat yang tak ia ketahui.“Aku mau dibawa ke mana? Tolong beritahu kepadaku tentang maksud semua ini?” Reina masih berusaha untuk mencari tahu.“Tenanglah, Nyonya. Sebentar lagi kita akan sampai. Kami tidak boleh memberitahukan apapun kepada Nyonya.”Tidak ada gunanya lag
Lelaki tampan itu bergegas meninggalkan meja makan. Ia berniat naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar. “Yah, Kak Regan kok ninggalin Alice sih?? Kan aku masih kangen.” Gadis genit itu mengerucutkan bibirnya. “Lihatlah, Oma. Sudah lama kami tidak berjumpa. Masak Alice dicuekin sih?!” Reina menahan diri untuk tidak tertawa. Ia sangat senang melihat ekspresi Alice yang penuh rasa kecewa. Siapa suruh berani menggoda suaminya di depan mata. Namun di sisi lain Reina merasa khawatir dengan Regan. Ia takut jika suaminya tersebut benar-benar sakit kepala. “Biasanya kalau lelaki sakit kepala obatnya apa ya?” lirih Reina seorang diri. “Begitu saja kamu tidak tahu, Reina?” celetuk Xavier yang tanpa sengaja mendengar kicauan kecil kakak iparnya. “Kamu hanya perlu menggodanya dan ehem. Kamu pasti tahu lah ya, adegan selanjutnya.” Xavier sedikit gemas kepada Reina yang terlihat berpikir keras. Lelaki itu pun segera berdiri dari duduknya seraya berkata, “Xavier juga sudah selesai, Oma. Mal
“Pak Regan, lepaskan!” Akhirnya Reina berhasil mendorong tubuh Regan. Dadanya naik turun. Nafasnya masih belum stabil. Sedangkan keadaan gadis itu sudah sangat kacau. Regan tersenyum miring. Tangan kanannya mengusap bibirnya yang telah basah. Lelaki itu benar-benar telah hilang kendali. “Siapa suruh tadi kamu mencium bibirku? Mau lagi? Hm?!” ucapnya ambigu. “Tapi 'kan Reina hanya berusaha menghibur Pak Regan. Agar Pak Regan tidak ngambek lagi. Itu saja, kok. Beneran deh!” Reina memperlihatkan jemarinya yang membentuk huruf V. Sebagai tanda ia tidak berbohong. “Dan harusnya kamu tahu, Reina. Aku adalah lelaki dewasa yang normal.” Regan menaik-turunkan kedua alisnya. “Maksudnya apa ya, Pak?” Reina mengalihkan pandangannya. Berusaha agar tidak bertatap mata secara langsung dengan suaminya itu. “Apalagi yang dilakukan oleh suami istri di malam hari?! Apa perlu kita praktekkan sekarang?” Regan kembali mendekatkan wajahnya. Hingga membuat sang istri menutup wajah dengan kedua tangannya