Semenjak naik tahta, aku dan Azura justru semakin jarang bertemu. Dia terlalu sibuk dengan urusannya, begitu pun denganku yang juga disibukkan oleh lembaran-lembaran perkamen di meja. Pikiranku masih melayang pada penyihir itu dan juga sekelompok orang-orang yang menyerang orang tua kami. Malam semakin larut, sementara aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku yang masih banyak membutuhkan bimbingan. Menjadi seorang Ratu ternyata tidak seenak kelihatannya, meskipun sering dimanjakan dengan kemewahan. Sangat sepadan dengan beratnya tanggung jawab yang harus diemban. Perkamenku yang berserakan di meja kini beterbangan ketika jendela ruang kerjaku terbuka dan—kulihat sosok Pangeran Erick sudah berdiri di sana. Tubuhku mematung dengan jantung berdegup kencang. "Apa lagi ini? Apa dia selalu datang hanya untuk membawa kabar buruk?" umpatku dalam hati. "Liz dan ke dua Putri itu dalam bahaya," ujarnya dengan wajah serius. "Dua Putri? Maksudmu?" "Putri Erina dan Helena dibawa kabur peny
"Yang Mulia, sudah hampir seminggu anda belum memberi keputusan." Tuan Shaquille menatapku serius dalam pertemuan kali ini. "Nasib Axylon benar-benar di tangan anda."Aku menghela napas resah, sampai sekarang Azura belum membalas suratku mengenai hal ini. Apa dia sangat sibuk sampai mengabaikannya?"Maaf, Tuan. Saya masih menunggu ijin dari Yang Mulia Raja di Vainea.""Tapi sampai kapan, Yang Mulia?" desaknya. "Masyarakat sangat menungggu kepastian mengenai pengganti Raja mereka. Jika tetap memaksa mengangkat Putri Mahkota sebagai penguasa, akan ada masalah serius di kalangan mereka.""Apa tidak bisa menunggu sebentar lagi?""Yang Mulia, jika anda masih terus menundanya, kami terpaksa akan menobatkan anda tanpa perlu menunggu persetujuan anda lagi. Wasiat terakhir mendiang Yang Mulia Ratu, harus segera dijalankan." Tuan Shaquille terlihat geram dan menahan amarahnya, kemudian pamit undur diri.Aku meremas perkamen yang kugenggam dengan kesal setelah kepergian Tuan Shaquille. Aku tak t
Sehari setelah bertemu Azura, aku mendapat kiriman surat kabar yang sudah kuduga sebelumnya. Serangan di perbatasan waktu itu menjadi topik utama, membuat semua pihak mengira kalau Vainea telah mengkhianati perjanjian damai.Aku hanya menghela napas, berharap Azura tidak bertindak gegabah karena terpancing berita. Kami berjanji untuk bekerjasama dan saling percaya mengenai apa yang akan terjadi kedepannya. Kuharap semua berjalan lancar."Yang Mulia, ada beberapa tamu yang mewakili masyarakat ingin bertemu anda." Tuan Shaquille datang membawa kabar."Di mana mereka?""Ada di ruang tamu istana."Aku bergegas menghampiri mereka didampingi Tuan Shaquille. Ada rasa gugup yang melanda, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan masyarakat langsung secara resmi."Hormat kami, Yang Mulia," ujar mereka sambil berdiri dan mengangguk."Silahkan duduk," sahutku kemudian duduk di kursiku. "Ada perlu apa sampai anda sekalian datang kemari?""Yang Mulia, kami ingin menyampaikan kekhawatiran sebagai m
Aku menatap kotak berukuran sedang, berisi stempel-stempel Axylon yang telah dikumpulkan Tuan Shaquille. Tak kusangka kalau benda-benda ini harus segera kusingkirkan, padahal dulu Ayah selalu menggunakannya untuk hal-hal penting. Kini tinggal menentukan desain terbarunya sekaligus tinta khusus untuk menjaga keasliannya. "Yang Mulia, Tuan Emery datang ingin bertemu dengan anda." Loretta datang melapor sembari membawa secangkir teh. "Minta dia masuk ke ruanganku," sahutku sambil menutup kotak di atas mejaku. Loretta membuka pintu dan mempersilahkan sosok paruh baya dengan pakaian khas petinggi kerajaan serta rambut yang ditata dengan rapi. Tubuhnya tegap ketika ia melangkah sambil membawa sebuah perkamen dan kotak kecil. "Hormat saya, Yang Mulia." Ia mengangguk memberi hormat. "Ada keperluan apa yang membuat anda kemari, Tuan?" tanyaku sembari menutup perkamen yang terbuka di mejaku. "Yang Mulia, saya sudah mendapat desain stempelnya." Tuan Emery menyodorkan perkamen di tangannya.
Acara dimulai dengan gelas para penguasa yang saling berdentingan untuk bersulang, lalu kami meneguk minuman masing-masing. Suara musik mulai mengalun dan kami mulai membubarkan diri untuk menikmati pesta. Aku duduk di sudut ruangan untuk menghindari kerumunan, sementara sebagian para Raja mulai berdansa dengan Ratu mereka masing-masing. Pakaian mereka begitu kompak sebagai pasangan, membuatku sedikit iri mengingat aku dan Azura memakai jubah kerajaan masing-masing. Dari kejauhan, mataku tak sengaja menangkap sosok Putri Lucia. Dalam hati aku bertanya, "Kenapa dia muncul? Bukankah acara ini tidak boleh ada yang hadir selain para Raja dan Ratu?" Aku masih terdiam dan mengawasinya sambil meneguk minuman. Raja Tryenthee memperkenalkan Putri Lucia pada Raja-Raja yang menjadi rekan kerajaannya, terutama Raja dari kerajaan besar. Ah, mungkin beliau bermaksud untuk mengenalkannya pada Pangeran di kerajaan mereka. "Ayah, bolehkah aku menemui seseorang?" Kalimatnya tak sengaja terdengar
Malam kini berubah menjadi dini hari. Hujan mulai reda, menyisakan aroma segar di udara. Para Raja dan Ratu juga sebagian mulai mabuk berat bahkan ada yang sampai ketiduran di kursinya. Mungkin aku adalah satu-satunya yang masih memegang kesadaranku seratus persen ketika melihat di antaranya ada yang meracau. Sangat tidak berwibawa, tapi di acara ini mereka memang sedang bebas tugas. Kulihat Azura juga menghampiriku dalam keadaan setengah mabuk. Meskipun cara jalannya masih normal, tapi wajahnya begitu sayu akibat minum Anggur terlalu banyak. "Selena, aku...menang taruhan," katanya setelah berdiri tepat di hadapanku. "Wah, benarkah? Apa hadiah taruhannya?" "Melepas pakaianmu di depan semua orang." "Huh?" Aku menyipitkan mata dan menatapnya tak mengerti. "Kalian menjadikanku bahan taruhan?" Azura mengangguk dengan tampang polos yang sendu. "Kau menang taruhan tapi seperti kalah taruhan, sialan!" desisku tak suka. "Selena, jika kau menolaknya maka aku akan dianggap kalah." Azur
Aku berada dalam dekapan hangat ketika membuka mata. Rasanya begitu sempurna ketika kulihat sosoknya yang terlelap tenang. Langit malam terpampang begitu jelas ketika aku menatap atap kamar yang terbuat dari kaca.Masih terlalu dini hari untuk terbangun dari tidur, tapi pemandangan ini begitu langka, membuatku tak ingin melewatkannya."Terima kasih untuk malam yang indah ini," gumamku lirih sembari mengusap pipinya lembut.Rasanya menyenangkan sekali saat perasaanku terbalaskan. Jika dari awal aku tahu bahwa akan menjadi seindah ini, mungkin lebih baik aku mengungkapkannya sejak getaran pertama muncul. Tapi—apakah ini akan selamanya?Aku menginginkan cinta yang abadi, keegoisanku berkata seperti itu. Namun, rasa takut kembali melandaku. Takut jika sosok di hadapanku akan hilang dan pergi dariku selamanya. Taring keegoisanku semakin menancap kuat, meninggalkan rasa yang begitu kejam dan menginginkan pria ini sebagai milikku seutuhnya."Selena?"Aku tersentak saat ia membuka mata, karen
Matahari mulai terbit, bau anyir memenuhi penciumanku ketika ratusan orang dari kelompok itu mati terbantai oleh pasukanku. Benar-benar merusak udara pagiku yang seharusnya segar. Beberapa tabib mulai berdatangan untuk mengobati prajurit yang terluka, sementara aku mulai menghitung jumlah mereka untuk memastikan tak ada yang lolos dari sergapanku. Aku menghela lega, tapi tubuhku semakin lelah. Hari ini mungkin sebagian kelompok itu sedang menjalankan aksinya untuk menyerang Vainea. "Buang mereka semua ke tanah kosong, burung pemakan bangkai di sana mungkin akan berterima kasih karena sudah memberi mereka makan banyak," ujarku sembari menunggang kuda menuju istana. "Lalu bersihkan seluruh tempat ini." "Baik, Yang Mulia," sahut Tuan Shaquille senang. "Oh iya, Tuan. Hari ini saya akan pergi ke Vainea lagi untuk bertemu Raja Azura. Mungkin selama tiga hari saya tidak akan kembali. Tolong jaga tempat ini selama saya pergi." "Tapi sebaiknya anda istirahat sebentar, Yang Mulia. Kondisi