Aku berada dalam dekapan hangat ketika membuka mata. Rasanya begitu sempurna ketika kulihat sosoknya yang terlelap tenang. Langit malam terpampang begitu jelas ketika aku menatap atap kamar yang terbuat dari kaca.Masih terlalu dini hari untuk terbangun dari tidur, tapi pemandangan ini begitu langka, membuatku tak ingin melewatkannya."Terima kasih untuk malam yang indah ini," gumamku lirih sembari mengusap pipinya lembut.Rasanya menyenangkan sekali saat perasaanku terbalaskan. Jika dari awal aku tahu bahwa akan menjadi seindah ini, mungkin lebih baik aku mengungkapkannya sejak getaran pertama muncul. Tapi—apakah ini akan selamanya?Aku menginginkan cinta yang abadi, keegoisanku berkata seperti itu. Namun, rasa takut kembali melandaku. Takut jika sosok di hadapanku akan hilang dan pergi dariku selamanya. Taring keegoisanku semakin menancap kuat, meninggalkan rasa yang begitu kejam dan menginginkan pria ini sebagai milikku seutuhnya."Selena?"Aku tersentak saat ia membuka mata, karen
Matahari mulai terbit, bau anyir memenuhi penciumanku ketika ratusan orang dari kelompok itu mati terbantai oleh pasukanku. Benar-benar merusak udara pagiku yang seharusnya segar. Beberapa tabib mulai berdatangan untuk mengobati prajurit yang terluka, sementara aku mulai menghitung jumlah mereka untuk memastikan tak ada yang lolos dari sergapanku. Aku menghela lega, tapi tubuhku semakin lelah. Hari ini mungkin sebagian kelompok itu sedang menjalankan aksinya untuk menyerang Vainea. "Buang mereka semua ke tanah kosong, burung pemakan bangkai di sana mungkin akan berterima kasih karena sudah memberi mereka makan banyak," ujarku sembari menunggang kuda menuju istana. "Lalu bersihkan seluruh tempat ini." "Baik, Yang Mulia," sahut Tuan Shaquille senang. "Oh iya, Tuan. Hari ini saya akan pergi ke Vainea lagi untuk bertemu Raja Azura. Mungkin selama tiga hari saya tidak akan kembali. Tolong jaga tempat ini selama saya pergi." "Tapi sebaiknya anda istirahat sebentar, Yang Mulia. Kondisi
Sudah dua minggu lebih semenjak aku menerima surat terakhirnya, ia tak lagi mengirim surat untukku. Aku mendesah risau karena rindu ini perlu dipuaskan. Hampir setiap hari aku menanyakan tentang kedatangan surat pada Loretta, bahkan terkadang menanyakannya langsung pada petugas pengirim surat. "Kenapa dia tidak membalas suratku lagi? Apa dia sesibuk itu dalam waktu dua minggu ini?" gerutuku sambil menutup perkamen di tanganku. "Apa sebaiknya aku datang ke Vainea dan memberinya kejutan?" Ya, akhir-akhir ini aku juga banyak disibukkan oleh urusan dalam negeri dan beberapa proyek terutama—tentang pengolahan sumber daya ketika musim panen tiba. Namun, setidaknya aku selalu meluangkan waktu untuk mengirim surat padanya. "Mungkin dia sangat sibuk dan langsung tidur begitu pekerjaannya selesai," gumamku dengan pikiran positif. "Dia sudah berusaha untuk mengerti situasiku, mungkin aku juga harus memahami alasan ia tak mengirim surat dalam waktu yang menurutku...lama." Aku manggut-manggut
Aku berlarian menuju belakang istana dengan mengendap-endap. Tak lama, aku berhasil menerobos masuk di dapur istana yang sudah mengeluarkan aroma makanan yang sedap. "Astaga, anda—anda, Yang Mulia Selena?" ucap salah satu pelayan yang menyadari keberadaanku dengan syok. "Bagaimana anda bisa masuk ke sini?" "Boleh aku minta bantuanmu?" "Ya silahkan, Yang Mulia. Apa yang perlu saya bantu?" "Carikan aku pakaian, tidak perlu mewa. Hmm...seperti pakaianmu ini." "Tapi itu akan membuat anda terlihat seperti pelayan." "Tidak apa-apa. Aku hanya kemari sebentar, setelah itu aku akan kembali ke Axylon." "Baik, Yang Mulia." Aku hanya menunggu di ruang kecil tempat penyimpanan rempah-rempah, sesekali aku mengusap air mata yang masih mengalir perlahan dalam kesendirianku. "Yang Mulia, saya sudah membawa pakaian untuk anda." "Terima kasih." Aku segera berganti pakaian, dibantu oleh pelayan lain. "Mata anda terlihat sembab, ini pasti sangat berat untuk anda," ujar salah satu pelayan yang
Kuhela napas berat ketika Gretta membantuku mengenakan jubah perang yang sudah dirancang agar tahan api. Aku sudah memutuskan untuk menghancurkan wilayahku sendiri agar bisa bertahan. Mungkin memang terdengar masokis, tapi tidak ada cara lain dalam serangan dadakan ini. Semua sudah dipersiapkan sesuai rencana. Seluruh penduduk dari berbagai wilayah sudah diamankan di tiga kota yang memiliki benteng pertahanan kuat. Semua bahan pangan dari berbagai lumbung juga sudah bawa ke pusat kota. Kini tinggal menunggu kehancuran mereka di tanah Axylon. Aku berangkat menuju benteng kota. Kali ini, aku meminta semua gerbang perbatasan di buat rapuh agar mereka bisa menerobos masuk. Ada lima ratus pasukan yang sengaja kukirim untuk menutup gerbang besi cadangan dari berbagai arah supaya mereka terjebak. Semua peledak sudah dipasang di bawah tahan dan aku siap untuk melihat bagaimana Axylon akan menjadi debu dalam sesaat. Kini aku sudah berdiri di atas menara benteng tertinggi sembari memakai te
Aku membuka mata perlahan dengan pelupuk yang terasa berat. Aroma obat-obatan memenuhi penciuman saat aku menatap langit-langit kamar. Kulihat seorang gadis kecil terbaring meringkuk sambil mendekap lenganku. Wajahnya begitu sayu dengan bekas air mata yang menggaris di pipinya. "Helena." Aku mengusap pipi lembutnya perlahan. Anak itu mengerjap sejenak, lalu membuka matanya. "Kakak?" Kini mata itu membulat sempurna. "Kakak sudah sadar!" Suara Helena yang melengking membuat Gretta di luar sana segera memanggil tabib, kemudian gadis itu masuk dengan akspresi lega. Tak lama, seorang Tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. "Benar-benar keajaiban," ujar si Tabib. "Racun di tubuh anda sebelumnya sudah kami bersihkan, tapi kami kesulitan untuk mengobati luka dalam anda. Sangat luar biasa kalau anda bisa pulih secepat ini. Saya akan menulis beberapa resep obat penunjang untuk kesembuhan anda." Tabib itu segera mengeluarkan perkamen dan pena lalu menuliskan beberapa daftar obat-obatan
"Gretta! Gretta!" panggilku geram. Aku sadar betul, semenjak pernikahan Azura dengan Lucia, emosiku menjadi tidak stabil. Rasa kecewa ini masih ada, begitu mendendam. Amarahku sering kali meluap tanpa bisa dikendalikan, untuk pertama kalinya aku memperlakukan pelayanku dengan kasar. Kesedihan juga masih meraup di sebagian hatiku, menggerogotiku layaknya parasit. "Ya, Yang Mulia?" Gadis itu akhirnya datang menghadap dengan raut takut ketika melihat ekspresiku. "Bingkisan uang di kantung besar itu, kau dapat dengan cara apa?" tanyaku dingin. Gretta tampak bingung sejenak, tapi a masih berusaha tenang untuk menutupi sesuatu. "I-itu...saya menjual harta saya ke wilayah Keylion. Bukankah, saya sudah pernah mengatakannya, Yang Mulia?" Aku melepas sebutir amarahku dengan menamparnya. "Jawab aku, Gretta! Harta macam apa yang sudah kau jual di sana?" "Su-sungguh. Saya menjual perhiasan dan-" "Dirimu?" potongku tak tahan dengan kebohongannya. Gretta tampak terkejut mendengar kalimatku.
Kutatap gadis mungil itu ketika ia menyuap sesendok sup ke mulutnya. Pipinya mengembung, membuatku tak bisa berpaling dari wajah imutnya. Aku menghela napas sejenak, membayangkan gadis itu yang semakin tumbuh. "Helena, akhir-akhir ini...kau pasti sangat kesepian," ucapku membuka suara pada saat makan malam. "Semenjak Kakak menggantikan Ayah, aku memang merasa kesepian," sahutnya menyuap sesendok sup lagi. "Kakak tak lagi memiliki banyak waktu untuk menemaniku seperti dulu." "Maaf, Kakak memang...sangat sibuk sampai tidak memperhatikanmu." Aku manggut-manggut dengan rasa bersalah. "Helena, apa kau membenciku?" Helena menggeleng cepat. "Aku tidak membenci Kakak. Tapi terkadang aku melihat kakak berubah menjadi orang lain saat berada di singgasana. Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Kakak seperti...wanita kejam. Maaf jika aku terlalu lancang berpikir seperti itu." "Ya, memang banyak hal yang belum kau tahu, Helena. Saat kau dewasa nanti, mungkin kau bisa memahami situasi Kakak sa