Aku berlarian menuju belakang istana dengan mengendap-endap. Tak lama, aku berhasil menerobos masuk di dapur istana yang sudah mengeluarkan aroma makanan yang sedap. "Astaga, anda—anda, Yang Mulia Selena?" ucap salah satu pelayan yang menyadari keberadaanku dengan syok. "Bagaimana anda bisa masuk ke sini?" "Boleh aku minta bantuanmu?" "Ya silahkan, Yang Mulia. Apa yang perlu saya bantu?" "Carikan aku pakaian, tidak perlu mewa. Hmm...seperti pakaianmu ini." "Tapi itu akan membuat anda terlihat seperti pelayan." "Tidak apa-apa. Aku hanya kemari sebentar, setelah itu aku akan kembali ke Axylon." "Baik, Yang Mulia." Aku hanya menunggu di ruang kecil tempat penyimpanan rempah-rempah, sesekali aku mengusap air mata yang masih mengalir perlahan dalam kesendirianku. "Yang Mulia, saya sudah membawa pakaian untuk anda." "Terima kasih." Aku segera berganti pakaian, dibantu oleh pelayan lain. "Mata anda terlihat sembab, ini pasti sangat berat untuk anda," ujar salah satu pelayan yang
Kuhela napas berat ketika Gretta membantuku mengenakan jubah perang yang sudah dirancang agar tahan api. Aku sudah memutuskan untuk menghancurkan wilayahku sendiri agar bisa bertahan. Mungkin memang terdengar masokis, tapi tidak ada cara lain dalam serangan dadakan ini. Semua sudah dipersiapkan sesuai rencana. Seluruh penduduk dari berbagai wilayah sudah diamankan di tiga kota yang memiliki benteng pertahanan kuat. Semua bahan pangan dari berbagai lumbung juga sudah bawa ke pusat kota. Kini tinggal menunggu kehancuran mereka di tanah Axylon. Aku berangkat menuju benteng kota. Kali ini, aku meminta semua gerbang perbatasan di buat rapuh agar mereka bisa menerobos masuk. Ada lima ratus pasukan yang sengaja kukirim untuk menutup gerbang besi cadangan dari berbagai arah supaya mereka terjebak. Semua peledak sudah dipasang di bawah tahan dan aku siap untuk melihat bagaimana Axylon akan menjadi debu dalam sesaat. Kini aku sudah berdiri di atas menara benteng tertinggi sembari memakai te
Aku membuka mata perlahan dengan pelupuk yang terasa berat. Aroma obat-obatan memenuhi penciuman saat aku menatap langit-langit kamar. Kulihat seorang gadis kecil terbaring meringkuk sambil mendekap lenganku. Wajahnya begitu sayu dengan bekas air mata yang menggaris di pipinya. "Helena." Aku mengusap pipi lembutnya perlahan. Anak itu mengerjap sejenak, lalu membuka matanya. "Kakak?" Kini mata itu membulat sempurna. "Kakak sudah sadar!" Suara Helena yang melengking membuat Gretta di luar sana segera memanggil tabib, kemudian gadis itu masuk dengan akspresi lega. Tak lama, seorang Tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. "Benar-benar keajaiban," ujar si Tabib. "Racun di tubuh anda sebelumnya sudah kami bersihkan, tapi kami kesulitan untuk mengobati luka dalam anda. Sangat luar biasa kalau anda bisa pulih secepat ini. Saya akan menulis beberapa resep obat penunjang untuk kesembuhan anda." Tabib itu segera mengeluarkan perkamen dan pena lalu menuliskan beberapa daftar obat-obatan
"Gretta! Gretta!" panggilku geram. Aku sadar betul, semenjak pernikahan Azura dengan Lucia, emosiku menjadi tidak stabil. Rasa kecewa ini masih ada, begitu mendendam. Amarahku sering kali meluap tanpa bisa dikendalikan, untuk pertama kalinya aku memperlakukan pelayanku dengan kasar. Kesedihan juga masih meraup di sebagian hatiku, menggerogotiku layaknya parasit. "Ya, Yang Mulia?" Gadis itu akhirnya datang menghadap dengan raut takut ketika melihat ekspresiku. "Bingkisan uang di kantung besar itu, kau dapat dengan cara apa?" tanyaku dingin. Gretta tampak bingung sejenak, tapi a masih berusaha tenang untuk menutupi sesuatu. "I-itu...saya menjual harta saya ke wilayah Keylion. Bukankah, saya sudah pernah mengatakannya, Yang Mulia?" Aku melepas sebutir amarahku dengan menamparnya. "Jawab aku, Gretta! Harta macam apa yang sudah kau jual di sana?" "Su-sungguh. Saya menjual perhiasan dan-" "Dirimu?" potongku tak tahan dengan kebohongannya. Gretta tampak terkejut mendengar kalimatku.
Kutatap gadis mungil itu ketika ia menyuap sesendok sup ke mulutnya. Pipinya mengembung, membuatku tak bisa berpaling dari wajah imutnya. Aku menghela napas sejenak, membayangkan gadis itu yang semakin tumbuh. "Helena, akhir-akhir ini...kau pasti sangat kesepian," ucapku membuka suara pada saat makan malam. "Semenjak Kakak menggantikan Ayah, aku memang merasa kesepian," sahutnya menyuap sesendok sup lagi. "Kakak tak lagi memiliki banyak waktu untuk menemaniku seperti dulu." "Maaf, Kakak memang...sangat sibuk sampai tidak memperhatikanmu." Aku manggut-manggut dengan rasa bersalah. "Helena, apa kau membenciku?" Helena menggeleng cepat. "Aku tidak membenci Kakak. Tapi terkadang aku melihat kakak berubah menjadi orang lain saat berada di singgasana. Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Kakak seperti...wanita kejam. Maaf jika aku terlalu lancang berpikir seperti itu." "Ya, memang banyak hal yang belum kau tahu, Helena. Saat kau dewasa nanti, mungkin kau bisa memahami situasi Kakak sa
"Kakak! Kakak!"Teriakan Helena di luar melengking sampai terdengar di ruang kerjaku. Ia berlari dengan derap kaki yang berisik, tapi kulihat wajahnya begitu semringah ketika menerobos masuk ke ruanganku.Yah, ini sudah lima hari setelah aku mempertemukan Helena dengan Pangeran Hans. Aku lega, akhirnya anak itu kembali ceria setelah beberapa bulan terlihat murung semenjak Ayah dan Ibu tiada. Sinar di matanya kembali berpijar atas kebahagiaan yang membuatnya kembali bersemangat."Kakak, lihat! Aku dapat kiriman hadiah dari Pangeran Hans!" ujarnya senang sambil menunjukkan kotak berukuran sedang di tangannya."Kau sudah membukanya?"Helena menggeleng. "Belum, aku ingin membukanya bersama Kakak."Aku meletakkan pena di tangan lalu menerima kotak itu. "Baiklah, kita lihat. Hadiah apa yang kau dapat."Helena mengangguk antusias, sementara aku mulai membukanya."Wah, kalung yang cantik!" seru Helena ternganga.Aku terdiam sejenak melihat kalung Aquamarine yang tampak elok. Ada rasa sakit ya
Dua minggu ini, aku menyerahkan sebagian tugasku pada tuan Velian, selaku adipati kepercayaan. Dia sudah menyanggupi untuk membantuku membereskan masalah Axylon selama aku pergi ke Vainea. Rencana ke Vainea ini juga sudah kuberitahu pada petinggi lain. Awalnya mereka kecewa dan menganggap kalau aku terlalu lemah, karena masih bersedia mengurusi Vainea. Namun, aku berhasil meyakinkan mereka bahwa ini bukan suatu kelemahan, tapi sebuah celah yang menakjubkan. Sejauh ini, Pangeran Hans juga mulai memahami Axylon secara bertahap dan anak itu bersedia membantuku dengan sedikit menyumbangkan ide-idenya yang cemerlang. Benar-benar anak yang jenius! Selain itu, Putri Erina perlahan pulih dan mulai bisa berjalan meskipun sedikit pincang. Kali ini aku sudah mengijinkan Helena untuk menemuinya dan anak itu terlihat senang, tentunya. Ada kalanya mereka harus mengobrol sebagai sesama putri. "Putri Erina, bersiaplah untuk pulang ke Vainea besok," ujarku saat aku mengunjungi kamarnya. "Apa anda
Napasku bergetar saat membuka pintu kamar yang megah dan luas. Sekelebat kenangan tentangnya saat menjadi putra mahkota memenuhi kepala, membuatku ingin berpaling sejenak dan memutar tubuh agar rindu yang menyedihkan ini tetap diam di tempatnya. Jika aku kembali ke kamar Putri Mahkota, fasilitasnya tak selengkap kamar ini. Di sini bahkan aku memiliki perpustakaan dan ruang kerja pribadi. Dengan begitu, aku bisa leluasa untuk menjalankan politikku tanpa diketahui orang lain. Aku memutar tubuh lagi dan menatap perabotan yang masih melekat kuat dalam ingatan. Bahkan tempat tidur itu, di mana aku menghabiskan malamku dengannya untuk pertama kali. Semua membuat napasku sesak saat aroma tentangnya membumbung tinggi di udara. Kutatap kembali cincin Amethyst di tangan sejenak, kemudian menyimpannya di laci. Kemudian kutatap sebotol pil berisi vitamin yang sudah kusiapkan selama tinggal di Vainea. Aku sudah membawanya dalam jumlah banyak agar tak kehabisan. "Yang Mulia, makan malam sudah si