“Arlond stop.” Irene mendorong dada Arlond saat pria itu mulai menuntut. Irene tidak akan membiaran hal lebih terjadi pada mereka. “Oke-oke. Aku akan menunggu.” Arlond tersenyum. namun raut kekecewaannya tidak bisa ditutupi. Ia mengusap puncak kepala Irene pelan. “Aku pergi.” ~~“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda.” “Jika tidak membuat janji dan tidak jelas siapa, usir saja.” Devian kembali berkutat dengan dokumen yang berada di atas mejanya. Namun, baru beberapa detik setelah percakapannya dengan sekretarisnya, suara pintu terdengar begitu kencang. Dibuka secara paksa sampai menimbulkan bunyi yang begitu keras. “DEVIAN PRADANA! SINI KAU AKU AKAN MEMBUNUHMU!” teriak seorang wanita yang beracak pinggang. “Sial,” lirih Devian tahu siapa wanita itu. bulu kuduknya merinding. Kenapa harus bertemu dengan perempuan itu lagi setelah sekian lama. Devian berdiri dan mundur beberapa langkah. “Tetap di sana!” teriak Devian. Helena menggeleng. raut garangnya mampu membuat seorang Devi
Irene hanya tahu Arlond akan membawanya ke sebuah acara perusahaan. lagi-lagi Irene harus terpaksa mengikuti kemauan Arlond padahal ia lebih suka di rumah. Lagipula kata dokter ia disarankan lebih banyak beristirahat. “Sudah sampai?” tanya Irene manatap parkiran yang penuh dengan mobil. Ia melihat sebuah vila yang begitu megah. Di sanalah sedang berlangsung sebuah pesta pernikahan. Irene menggandeng lengan Arlond pelan. Mereka berjalan memasuki Villa yang begitu megah. Sampai di belakang ternyata langsung terhubung dengan pantai. Pandangan Irene langsung mengarah pada seorang pria yang sedang bercengkrama. Devian, ya pria itu terlihat asik mengobrol dengan beberapa wanita. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak berbuhungan. Irene tersenyum saat Arlond merangkul pinggangnya. Karena Arlond yang begitu asik berbincang dengan rekan bisnis, akhirnya ia menyingkir. “Aku merindukannya..” lirih Irene mengambil minumannya. Rasanya asam karena memang hanya sebuah jus jeruk. Irene segera m
Irene segera keluar. Menghampiri seorang pelayan yang membawakannya sebuah jus. “Terima kasih.” Irene menutup pintu dengan rapat. Kemudian kembali ke kamar mandi. Di sana, Helena sudah berhasil membuka jendela. Kini bagaimana caranya mereka melewati jendela itu tanpa terluka. “Aku akan pergi dulu.” Menurunkan sebuah kain panjang sampai ke bawah. “Dahulu aku selalu membloso kelas pramuka karenamu. Jika kita mengikuti kelas pramuka, kita bisa melakukan hal seperti ini lebih baik Irene.” Irene mengangguk. “Cepatlah pergi.” Helena berdecak. Ia menuruni jendela itu sangat pelan-pelan. hanya berpegang dengan kain yang tidak seberapa kuat itu akhirnya Helena sampai di bawah. Helena memberikan kode pada Irene untuk segera turun. Irene memejamkan mata sebentar sebelum turun. Di bawah sana, Helena sudah bersiap merentangkan tangan untuk menangkap Irene jika terjatuh. “Jangan jatuh Irene. Tubuhmu pasti berat,” lirih Helena. “Akhirnya..” Helena menghembuskan nafas lega. Setelah itu kabur
“Kacau, kacau..” Helena mondar mandir di dalam kamar yang sama dengan Irene. Irene mengernyit. “Kau kenapa?” “Irene aku harus kembali.” Helena menatap Irene. “Tapi aku akan memastikan kau aman di sini. Ada hal yang harus aku urus.” Helena meyakinkan Irene. Irene mengangguk. “Pergilah. Aku tidak masalah di sini sendiri.” Helena tidak mengira ayah Irene akan bertindak sejauh itu. tiba-tiba saja butiknya berantakan dan seperti sedang dirampok. Namun anehnya tidak ada barang yang hilang tapi semua barang berantakan dan hancur. Gaun-gaun yang bernilai jutaan rusak. Untuk itu Helena akan pulang dan melihatnya sendiri. “Irene kau hanya perlu bertahan 1 hari saja di sini. Aku yakin kau bisa,” ucap Helena sebelum pergi. Helena memasuki sebuah mobil. Saat mobil berjalan—ia tidak bisa menghubungi pegawainya yang memberitahunya. Karena tidak mendapat jawaban, Helena semakin cemas dan menghubungi semua pegawai. “Bagaimana keadaan butik?” tanyanya pada anak buahnya yang lain. “Semua baik-ba
Hari h pernikahan Irene dengan Arlond. Irene pasrah, tidak ada yang bisa ia lakukan. Bahkan perias yang sedang menghias wajahnya pun tidak bisa berbuat apapun. Karena di dalam kamar saja ada dua bodyguard yang menjaga. “Sabar ya nona,” ucap perias itu sambil mengoleskan lipstik di bibir Irene. Irene mengangguk pasrah. Sebentar lagi, dalam hitungan menit dirinya akan resmi menjadi istri Arlond. Di mana kesengsaraannya akan menjadi mutlak dan selamanya. Irene menghela nafas berkali-kali. “Saya tinggal ya nona.” Irene tidak menjawab, Ia hanya menatap dirinya di depan cermin. Bahkan kedua tangannya masih terbogol. Ia tidak bisa melakukan apapun, walaupun rasanya ingin sekali mengakhiri hidupnya yang tidak ada harapan ini.“Ayo nona. Saatnya anda keluar.” Bodyguard itu menyentuh lengan Irene, sedikit menariknya. Irene terpaksa terbangun. Sudah seperti tahanan yang tidak ada artinya. bodyguard itu menariknya keluar dari kamar. ketika sudah di luar—ia harus menunggu lagi sampai ayahnya
Devian memeluk dan menjatuhkan tubuh Irene untuk menghindari tembakan. Irene meringis kesakitan. Devian mengusap wajah Irene—mengusap leher Irene yang terdapat sebuah luka. “Irene maafkan aku…” Irene mengangguk namun perutnya terasa begitu keram. “Sakit…” Devian menatap ke bawah. Darah itu keluar dari paha Irene. “Ayo ke rumah sakit.” “SIAPKAN MOBIL!” Teriak Devian pada anak buahnya. Ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Irene dan anaknya. ~~“Duke adalah pemilik dari perusahaan tambang yang sudah berdiri belasan tahun di Nusantara. Namun, ternyata dibalik pendirian perusahaan tersebut melibatkan berbagai hal ilegal. Duke mendapatkan investor dari mafia luar negeri. Di dalam tambang tersebut terjadi banyak eksploitasi buruh. Tidak ada jaminan keselamatan saat bekerja. Banyak buruh yang meninggal saat terjadi kecelakaan di dalam area pertambangan.” “Tidak hanya itu saja. Ternyata 15 tahun yang lalu, Duke kehilangan anak dan istri
Devian tidak bisa berhenti cemas sampai benar-benar memastikan Irene baik-baik saja. Akhirnya Irene di pindahkan ke ruangan biasa. Devian segera menemui dokter yang merawat Irene. “Bagaimana dengan janin di perut kekasih saya dok?” “Janin di perut ibu Irene selamat. Namun keadaannya masih rentan. Jadi harus mendapatkan perawatan yang intensif. Saya sarankan sebagai suaminya, anda harus mendampingi ibu Irene.” Devian mengangguk. “Terima kasih, Dok.” Devian mengangguk. Ia mengambil duduk di kursi samping ranjang Irene. Mengambil tangan Irene, mengusapnya perlahan. Devian menunduk dan mencium punggung tangan Irene beberapa kali. “Terima kasih, Irene. Terima kasih bertahan untuk anak kita.” Devian benar-benar merasa bersyukur. Irene selamat, Irene berada di sampingnya dan anak mereka selamat. Tak lama Devian merasakan jemari Irene bergerak. Devian mendongak—menatap Irene yang telah membuka mata. “Ada yang sakit?” tanya Devian. “Aku panggilkan dokter.” Irene mencegah Devian pergi.
“Devian minggir dulu.” Giselle menyingkirkan Devian yang duduk di bangku. kemudian menduduki bangku tersebut. “Sekarang panggil, Mom.” Giselle memandang Kevin sebentar. “Mom dan Dad ke sini untuk menjenguk dan memastikan keadaan kamu. Syukurlah kamu dan bayinya baik-baik saja. Untuk ke depannya, jangan ragu meminta bantuan atau menghubungi Mom. Mom akan selalu ada buat kamu.” Irene tersenyum kemudian mengangguk. “Terima kasih… Mom.” Irene sedikit ragu namun ia tetap memanggil Giselle dengan sebutan Mom. “1 minggu lagi kalian harus menikah.” Kevin berkacak pinggang. “Jangan menunda terlalu lama.”“Sudah menyelesaikannya dengan kakek kan?” tanya Kevin pada Devian. Devian mengangguk. “Sudah selesai bagiku. Tapi tidak tahu bagi Kakek. Aku setuju dengan Dad. 1 minggu lagi kita menikah.” Irene dan Giselle saling menatap. Giselle tersenyum sambil mengangguk. “Biar mereka yang urus. Kamu tinggal berangkat cantik.” meraih tangan Irene. “Mom berharap kamu bisa bertahan dengan Devian. Meski