Share

KESAN PERTAMA

"Ayok! Naiklah Mbak, mengapa hanya berdiri mematung di situ!" ajak Rio.

"Apa yakin tak apa- apa Mas? Bagaimana jika ada yang melihat kita satu mobil?" tanya Gendhis ragu.

"Tak usah memikirkan apa kata orang, mari masuk keburu siang! Kita memerlukan waktu satu jam- an ke sana!" perintah Rio.

Akhirnya Gendhis masuk dalam mobil. Dia duduk di samping Rio.

"Bismillah,” ucap Rio lirih namun Gedhis masih bisa mendengar jelas.

“Mbak, kenapa diam saja dari tadi? Bukannya Mbak Gendhis selalu cerewet ya? Saya sering mengamati lo, anak-anak juga sering cerita, Mbak ini idolanya anak- anak kantor,” ujar Rio.

“Ah enggak Pak Ustad eh Mas Rio, mereka aja terlalu berlebihan,” sanggah Gendhis.

Gedhis membayangkan dia dan Rio seperti dua orang dewasa yang melakukan pendekatan, lalu ini pertama kalinya mereka bertemu. Suasana canggung terasa dalam mobil.

"Astaga pa yang aku pikirkan!" kata Gendhis dalam hati sambil menepis semua pikiran halunya.

"Konsentrasi Gedhis, konsentrasi ini kali pertama Mas Rio mengajakmu jangan sampai kau melakukan tindakan konyol! Ingat ini hanya keluar bersama dalam rangka membeli oleh-oleh tak lebih," seru Gendhis dalam hati.

"Lalu kenapa sepertinya bingung?" tanya Rio.

"Saya ini mimpi atau ada di dunia nyata ya Mas?" tanya Gendhis pada Rio sambil mencubit pipi sendiri.

"Ah! Sakit ternyata, berarti bukan mimpi," lanjut Gnedhis.

"Kamu lucu ya!" Kata Rio lagi.

Gendhis hanya terdiam. Sepanjang perjalanan menuju ke pusat oleh- oleh Gendhis hanya menyimak semua cerita Rio. Dia menceritakan perjalanan mendirikan biro jasa sampai bisa berdiri sebesar saat ini.

Sesekali Gendhis menimpalinya, namun lebih banyak menyimak ceritanya. Jarang- jarang dia bercerita seperti ini.

"Dulu aku mendirikan ini dari 0, Alhamdulillah sekarang berjalan sebaik ini," kata Rio.

"Hebat ya," puji Gendhis.

"Aku tak sehebat itu, ada Dimas yang setia membantuku mengurus semua! Dia juga yang sering mencari tander kesana kemari, seperti yang kau tahu aku tak cukup percaya diri untuk menghadle sendiri, selain itu ada banyak pekerja di lapangan yang sangat membantu sepertimu" kata Rio.

Sungguh Gedhis kagum padanya, Rio memang orang yang baik, mau mengakui keberhasilan usaha dicapai dengan kerja sama team bukan hanya dari pemimpin.

"Impianku suatu hari nanti dapat melebarkan sayap merambah dunia internasional juga, sehingga bisa membuka travel umroh dan haji," lanjut Rio.

"Wah kalau itu aku menyerah, tak akan melamar jadi TL nya," terang Gendhis.

"Kenapa?"

"Aku terlalu pendosa untuk memimpin rombongan haji atau umroh," Kata Gendhis.

"Tapi suatu saat aku ingin mengajakmu kesana, untuk menjadi orang yang lebih baik,"

"Amin ya Allah! Terimaksih untuk doanya ya Mas, semoga doa baik kembali ke Mas Rio dan keluarga, ah sweet sekali ya aku," ujar Gendhis.

Rio tertawa lagi mendengar perkataan Gendhis.

"Mas lebih ganteng saat tertawa" celetuk Gendhis spontan saat melihat Rio tertawa karena ulahnya.

Entah kenapa bibir ini tak dapat terkendali.

"Apa selama ini saya tak ganteng?" tanya balik Rio.

"Ya ganteng sih, Gendhis tak mau menjadi orang yang munafik! Tapi menurut Gendhis lebih ganteng lagi kalau tersenyum, selama ini kesan yang Mas tampilkan sangat alim, dingin sehingga kami yang di lapangan sering merasa sungkan untuk sekedar menyapa sehingga sekat kita terlalu tinggi, siapa sangka kalau Mas Rio juga bisa sedekat ini dengan aku," Kata Gendhis menimpali.

Lagi Rio hanya tersenyum simpul. Membuat Gendhis salah tingkah.

"Aku memang tak ingin sembarang orang mengenalku lebih dalam! Aku tak suka jika banyak orang mengetahui tentang siapa aku, aku tak nyaman seperti itu, aku lebih nyaman sendiri tanpa bergaul dengan banyak orang, tapi ternyata kehendak Allah berbeda, aku bekerja justru di lingkungan yang mengharuskanku menemui banyak orang," Kata Rio.

"Benarkah?"

"Ya aku memang tak suka berkenalan dan terlibat obrolan langsung dengan orang- orang, bukan karena aku menjaga jarak atau bagaimana, lebih karena tak nyaman, berbeda denganmu yang sangat supel dan bisa membawa diri di berbagai situasi," terang Rio.

"Tapi Mas Rio ndak sadar juga kan kalau bicara banyak denganku saat ini?" tanya Gendhis sambil tersenyum.

"Iya aku tak sadar telah banyak bercerita tentang siapa diriku padamu, kamu memang pandai membawa suasana dan perasaan," puji Rio sambil pandangannya ke arah depan fokus menyetir.

"Sosok yang terkenal pendiam, pemimpin yang disegani banyak orang ini ternyata cerewet juga ya," batin Gendhis.

"Kamu kenapa masih bekerja sampai seperti ini?" tanya Mas Rio.

"Hobi sih, bukan bukan ralat lebih ke butuh, kebutuhan hidupku banyak Mas, menghidupi diri sendiri, adik, mama semenjak Bapak meninggal," ujar Gendhis lirih.

"Ah kalau curhat gini rasanya pengen dinafkahin aja, apa aku nikah aja ya? Tapi kalau nikah tak bisa bebas, saat temen- temen nongkrong aku ngurus anak! Aduh ribetnya!" Kata Gendhis.

Rio tertawa mendengar Gendhis berbicara seperti itu.

"Kamu lucu sekali, pengen menikah tapi tak punya anak?" tanya Rio.

"Ya punya tapi masih belum sekarang kalik ya? Takut belum siap menjadi yang terbaik buat anak," ujar Gendhis lagi.

Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, mereka telah sampai tengah kota Malang. Mobil melaju pelan saat memasuki pusat oleh-oleh yang menyediakan berbagai macam olahan susu segar. Ternyata di tempat ini juga menyediakan saung untuk menikmati olahan susu jika ingin di makan langsung di tempat.

"Mau berjalan-jalan sebentar?" tawar Rio.

Gendhis mengangguk setuju. Kapan lagi dia bisa mengunjungi tempat wisata di kota Malang. Kesempatan bagus tak boleh di sia- siakan bukan.

"Bolehkah memetik apel langsung dan memakannya?" tanya Gendhis pada Rio.

Tak sabar rasanya melihat buah apel yang bergelantungan berwarna hijau kemerahan. Rasanya segar sekali di lihat menyejukkan mata.

"Boleh, jika membawa pulang baru membayar, jadi makan sepuasmu mumpung di sini gratis," kata Rio.

Tak membuang waktu. Gendhis segera berlari pelan menuju pohon buah apel yang tak seberapa tinggi namun berbuah sangat lebat, memetik sebiji yang paling merah dan menggigitnya.

"Asem tapi manis!" kata gendhis sambil mengernyit.

lalu dia melanjutkan memakan lagi dan memilih.

"Taruh sini, nanti bisa di bawa pulang untuk oleh- oleh atau camilan di kamar!" perintah Rio sambil menyerahkan keranjang anyaman rotan pada Gendhis.

Darimana juga laki- laki ini mendapatkannya pikir Gendhis. Dia melanjutkan kegiatan memilih satu lagi yang berwarna merah lalu memberikannya pada Rio.

"Makanlah Mas! Cicipi!" perintah Gendhis.

Rio mengambil apel dari tangan Gendhis dan memulai menggigitnya.

"Enak?" tanya Gendhis.

"Agak asem!" jawab Rio.

Mereka tertawa bersama, Gendhis sibuk memilih dan memetik beberapa apel untuk di masukkan ke keranjang di bawa pulang.

"Ayok cari ke belakang, disana ada lebih banyak," ajak Rio memberikan arahan.

Karena ini baru pertama kalinya Gendhis kesini jadi tak salah jika mengikuti aba- aba dari Rio yang lebih tahu tempat ini. Mereka berjalan bersama di tengah hamparan kebun apel.

"Kamu suka tempat seperti ini?" tanya Rio.

"Aku suka semua tempat, gunung atau pantai, apapun itu," jawab Gendhis.

"Pernah naik gunung?" tanya Rio.

Gendhis menggelengkan kepala, jangankan untuk naik gunung acara pramuka saat sekolah saja dia sangat meghindari dengan membuat surat izin dokter takut di ajak kemah di gunung.

"Kok suka gunung?" tanya Rio heran.

"Yaelah Mas, suka gunung bukan berarti harus mendaki gunung lewati lembah juga kali! Kita bisa menikmati pemandangan gunung dari TV, HP, jaman makin canggih lo Mas! Jika ingin menikmati lebih pergi ke tawang mangu, makan di cafe depan cemoro sewu yang basecamp pendakian lawu kan sama aja menikmati gunung," sanggah Gendhis mencari pembenaran.

Lagi Rio hanya tertawa saja mendengarkan semua celotehan gadis itu.

Ternyata di bagian paling belakang kebun terdapat kolam ikan, pantas saja tadi dalam daftar menunya terdapat makanan dari olehan ikan. Rio mengajakku kembali ke depan untuk menuju salah satu saung setelah puas memetik apel sekeranjang penuh.

“Aku pesan yang coklat, sampean (kamu) mau apa?” tanya Rio.

“aku yang ori aja Mas! Jangan pakai tambahan gula ya,” pesan Gendhis

“Siap, ori tanpa tambahan apapun kan,” Rio memastikan.

"Boleh di tambahi kalau senyumanmu Mas," seloroh Gendhis.

Rio tertawa mendengar ucapan gadis itu. Dia berjalan ke depan tempat pemesanan.

"Mau makan siang sekalian tidak?" tanya Rio sesaat setelah kembali.

Gendhis menggeleng, sarapan di hotel tadi cukup membuatnya kenyang sampai sekarang.

"Yakin?" tanya Rio lagi.

Gendhis mengangguk,

"Aku pesan ikan bakar lo! nanti kepengen," ledek Rio.

"Ya kalau kepengen mintalah! Mas Rio ndak mau membagi? pelit amat!" Protes Gendhis.

Rio hanya tertawa mendengarkan celotehan Gendhis. Hari ini Gendhis mendapatkan kesan baru dari lelaki yang di kenanya. Dia lelaki yang begitu romantis, dia juga memperlakukan wanita dengan romantis, mulai membukakan pintu mobil, berjalan beriringan.

Meskipun Gendhis merasa banyak tatapan aneh dari pengunjung, dia merasa seperti sugar baby sedang jalan sama om-om. Namun om-om apa yang alim seperti itu? apa pandangan orang itu aneh karena kami terlihat semacam pasangan selingkuh dimana aku menjadi istri kedua atau simpanannya ya.

“Dua tahun ini aku selalu mengamatimu, bahkan saat kita pernah makan bersama dengan kekasihmu,” ujar Rio datar.

“Benarkah? Untuk apa?” tanya Gendhis heran.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status