Share

Selir Kesayangan Suamiku
Selir Kesayangan Suamiku
Penulis: Secilia Abigail Hariono

GENDHIS

‘Tring! Tring!’ Alarm ponsel membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya.

“Hoah! Mengapa berisik sekali,” gerutu wanita itu sambil melihat jam di layar Hpnya.

Ternyata masih pukul 05.00 WIB. Gendhis Astari Wijaya nama wanita itu. Dia menatap sekeliling, mencoba mengingat- ingat dia sedang berada di mana pagi ini. Sepersekian detik dia baru menyadari, ternyata ini di sebuah hotel di tengah kota yang terkenal sebagai penghasil buah Apel di Jawa Timur. Pantas saja, hawa dingin masih bisa menembus kulit padahal selimut tebal sudah Gedhis pakai.

“Tuhan, badanku rasanya remuk redam begini,” ujarnya sambil menggeliat.

Dua hari ini dia bekerja sebagai Tour Leader (TL) salah satu perusahaan swasta di Kota kelahirannya. Mereka mengadakan family gathering dengan menyewa biro jasa. Menjadi TL adalah pekerjaan sampingan, selain pekerjaan tetap sebagai peloby di salah satu perusahaan jasa juga. Untuk weekend sering kali Gendhis mengambil job freelance seperti ini, selain jalan-jalan gratis juga penghasil cuan tambahan. Lumayan untuk membayar angsuran mobil dan sekolah adiknya.

"Mengapa sepi sekali? Apa mereka belum bangun semua ya? Perasaan akan ada jadwal senam pagi atau outbond," gumam Gendhis sendiri.

Gendhis menyibakkan gorden tebal yang menutup jendela menghalangi sinar mentari pagi masuk ke dalam kamarnya. Dia berjalan keluar menuju balkon. Dingin, itu yang Gendhis rasakan. Sayup-sayup terdengar suara lembut lelaki melantunkan ayat suci. Mungkin kamar samping, yang di tempati oleh pemilik biro jasa yang mempekerjakannya.

Rio Gunawan namanya. Sosok yang diam- diam Gendhis kagumi karena ke sholehanya. Dia lelaki yang menjaga pandangannya, sering menunduk jika berpapasan dengan bukan mahramnya. Padahal sudah dua tahun mereka menjalin kerjasama. Tapi tak sekalipun dia pernah bersapa langsung atau sekedar mengobrol seperti karyawan lainnya. Beruntung sekali bukan menjadi istrinya

“Ah, suaranya merdu sekali masuk ke telinga membuat ingin mendengarkan itu lebih lama, enak kali ya sambil minum kopi,” kata Gendhis lirih.

Gendhis kembali ke kamar, menyeduh kopi. Secangkir kopi pahit dan pemandangan luar balkon di nikmati bersama mentari pagi yang perlahan mulai menampakkan diri. Bukankah perpaduan yang sempurna? Tidak kalah dengan anak senja.

Piyama lengan panjang cukup untuk membantu menghangatkan tubuhnya. Tuhan maha baik dan pemurah, Tuhan menciptakan semua secara apik dan selaras. Perubahan gelap menjadi terang di pagi itu terasa begitu lembut, kuasa-Nya sangat memukau hingga tanpa Gendhis sadari kabut perlahan mulai menghilang.

“Assalamualaikum, selamat pagi Mbak” suara lembut itu memecahkan keheningan.

Gendhis menoleh ke sumber suara itu,

“Waalaikumsalam, eh Pak Ustad Rio! Selamat pagi Pak Ustad,” sapa Gendhis ramah.

“Pagi-pagi kok sudah ngopi Mbak?” tanya Rio heran.

“Iya Pak Ustad sambil melihat pemandangan nih, jarang-jarang kan di kota lihat kek gini.” jawab Gendhis.

Rasanya agak canggung memang. Bagaimapun juga sosok pak ustad sapaan akrab karyawannya adalah bos biro jasa ini. Dia terkenal sangat pendiam, santun dan sholeh.

“Iya Mbak! Jarang-jarang di kota kita bisa kayak gini, oh iya njenegan (kamu) hari ini free ya! Biar kegiatan gathering di handle anak-anak EO lapangan! Tugas njenengan besok pas mulai masuk bus saja, sambil mampir ke pusat oleh-oleh!" perintah Rio.

“Siap Pak Ustad, rencana sih mau jalan-jalan bentar saya! Tapi kalau ada yang perlu di bantu jangan sungkan ya pak ustad, saya free kok!” sahut Gendhis dengan sedikit berteriak agar di dengar oleh Rio.

Rio mengangguk dan berlalu. Gendhis segera menghabiskan kopi pahitnya sambil merenung menikmati pagi. Notif Handphone Gendhis berbunyi, nomer asing masuk.

[‘Mbak kalau free bisa ikut saya ke pusat oleh-oleh dulu? Menyiapkan oleh-oleh untuk para atasan. Jam 10.00 berangkat. Saya tunggu di parkiran mobil. Mas Rio.]

Gedhis mengernyit heran, tumben sekali seorang Rio Gunawan mau mengirimkan pesan w******p pada dirinya setelah dua tahun bekerjasama. Mungkin dia baru butuh bantuan pikir Gendhis.

[Siap pak Ustad]

Balas Gendhis singkat. Gendhis segera mandi dan sedikit berdandan.

"Ah, aku lupa bajuku haram semua, aku juga tak menggunakan jilbab! Biarlah, yang penting sopan, salah sendiri mengapa mengajakku begitu mendadak," gerutu Gendhis sendiri di kamar.

Gendhis memutuskan memakai celana jeans panjang hitam, wedges hitam dan kaos putih di pilih sebagai outfit hari ini.

"Untung saja Eyelash masih cetar, tak perlu aku tambahkan maskara lagi,” Gendhis berkaca sambil tangannya sibuk mengambil alat penunjang kecantikannya.

Dia mengambil sebuah listik berwarna nude.

“Lipstik warna nude selalu menjadi andalan, di tambah dengan foundation? Conceler? Ah rasanya aku tak butuh semua itu! Cukup cream dokter pagi, bb cream untuk menunjang penampilan," kata Gendhis sendiri sambil bercermin.

Dia ingin memastikan bahwa semuanya tampak sempurna. Tak lupa Gendhis menyempatkan diri untuk mencatok rambut, agar tampak rapi, lalu metanambahkan vitamin rambut, parfum, dan jam tangan.

"Pas sekali!" pekiknya takjub melihat ke arah cermin.

"Eh tunggu, kenapa berdandan seperti ini? Aku kan jalan dengan Ustad Rio! Boro-boro dia akan melihat penampilanku, dia kan selalu menunduk! Ah biarlah, aku berdandan untuk diri sendiri," kata Gendhis dalam hati.

Dia melihat jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, masih cukup untuk mampir di resto hotel menyempatkan sarapan atau breakfast.

Kopi pahit panas, salad buah, dan omelet telur sosis menjadi menu sarapan pagi. Duduk di samping jendela menghadap ke kolam renang menjadi pilihanku. Para peserta gathering terlihat melakukan games di pinggir kolam. Mereka melakukan permainan keluarga, pemandangan yang cukup mengusik.

Di usia Gendhis yang menginjak 27 tahun, dia belum berkeluarga. Bukan karena tidak memiliki pasangan, tetapi memiliki tanggungan adik dan mama yang membuat berfikir ulang jika berumah tangga.

“Mbak, sarapan sambil melamun,” tegur Rio yang membuat Gendhis sedikit terhenyak kaget.

Gendhis menoleh ke arah Rio, mata mereka saling bertatap satu sama lain.

“Saya temani ya!” pinta Rio sambil menarik kursi di hadapan Gendhis.

“Eh, iya monggo Pak Ustad,” Gendhis memeprsilahkan.

“Panggil Mas saja, tidak usah seperti anak-anak lain,” ujar Rio santai.

“Hah? Memang tak masalah Pak Ustad?” tanya Gendhis.

“Aku lebih suka di panggil Mas,” jawab Rio singkat.

Gendhis hanya menganggukkan kepalanya paham. Dia menengok menu makanan yang diambil oleh lelaki itu, susu, sereal, dan omelet menjadi menu pagi pilihannya.

“Masih mau ke kamar lagi atau langsung ikut saya ke pusat oleh-oleh?” Rio membuka percakapan.

“Langsung aja Mas, saya sudah siap-siap kok.” Ujar Gendhis.

Saat mendongak memperhatikan Rio Gendhis menyadari suatu hal, laki-laki di hadapannya ini juga sudah berdandan siap untuk pergi. Meskipun berumur 40 tahunan, namun Rio masih tampak tampan. Jenggot panjang menghiasi wajahnya, rambut tertutup topi menampakkan sedikit uban yang menegaskan bahwa usianya sudah matang.

Dia mengenakan hem flanel, celana jeans dan tas selempang. Mereka  menghabiskan sarapan dalam diam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Setelah sarapan, mereka menuju parkiran mobil. Rio tampak menelfon seseorang. Dia menuju mobilnya dan membuka pintu samping.

“Masuklah!” perintahnya lembut.

Gendhis terdiam, sungguh tak mengerti kali ini. Bukankah biasanya ada Dimas sopirnya? Apakah boleh keluar hanya berdua?

“Mbak, ayok masuk! Saya yang menyopir, biarkan Dimas istirahat, kasihan dia semalam nyetir sendiri,” perintah Rio.

Gendhis bimbang, akankah dia masuk ke dalam mobil duduk berdampingan dengan sosok ustad yang di kaguminya? Atau tetap masuk di kursi belakang agar menghindari fitnahan orang- orang yang melihat mereka berdua? Apa yang harus Gendhis lakukan?

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status