"Nggak Bu, Jonathan baik-baik aja. Dia nggak apa-apa," ucap Kaluna sambil menghempaskan bokongnya di sofa. Ia melihat Jonathan yang keluar dari kamar sambil mengenakan celana pendek dan kaos. "Iya, emang itu Jonathan harusnya naik pesawat yang jatuh itu, tapi, Jonathan nggak jadi naik karena dia kelupaan barang," ucap Kaluna sambil berpikir barang apa yang terdengar sangat penting hingga membuat Jonathan harus meninggalkan pesawatnya selain obat HIV miliknya? Apa?"Nggak tahu, Bu ... Kaluna juga nggak tahu dia ketinggalan apa. Dia belum bilang sama aku dan aku juga nggak mau maksa dia. Dia masih dalam keadaan kaget," dusta Kaluna, sepertinya paling aman saat ini adalah berpura-pura bodoh agar selamat dari berondongan pertanyaan Emma yang baru saja mendengar kabar mengenai pesawat Jonathan dari berita di TV. "Hah? Nggak paham juga jadinya gimana, Bu. Aku sama Jonathan udah ikhlas dan nggak perpanjang masalah apa pun ke maskapainya," terang Kaluna sambil mengusap keningnya yang terasa
Kaluna mendesah saat ia merasakan belaian jemari Jonathan yang menari di punggungnya, gerakkan tangan Jonathan terasa sangat nikmat di kulit dingin Kaluna. Dengan ahlinya Jonathan melepaskan pakaian Kaluna dan melemparkan ke sembarang arah.Mata Jonathan terdiam saat melihat payudara Kaluna yang terlihat menggoda dibalik bra yang menyangah payudara itu dengan sempurna sehingga menunjukkan belahan dada yang membuat setiap inci tubuh Jonathan meraung keras meminta untuk dipuaskan. Jonathan merasakan rasa sakit disekujur tubuhnya, rasa sakit yang hanya bisa disembuhkan oleh sentuhan atau pun kecupan dari Kaluna. "Jo, aku mau ...," bisik Kaluna sambil mengikat rambutnya setinggi mungkin hingga menunjukkan garis lehernya yang terlihat mulus. Kaluna menyentuh tubuhnya sendiri dengan gerakkan sensual yang membuat Jonathan makin menelan ludahnya sendiri. "Mau apa?" goda Jonathan dengan suara parau seraya mengusap kembali punggung Kaluna dan saat berada dibelakang tali bra Kaluna, dengan ahl
Kaluna saat ini sedang bergelung di dada Jonathan, mereka sedang menonton TV yang sedang menayangkan berita pesawat yang harusnya Jonathan naikki."Saat ini kami sedang mewawancarai salah satu dari keluarga korban bernama ...."Kaluna memalingkan mukanya dan membenamkannya di dada Jonathan. Entah kenapa ia merasa sangat ngilu melihat berita tersebut karena bisa saja dirinyalah yang menjadi salah satu korban di sana. Bisa saja ia yang saat ini masih menangis meraung-raung karena kehilangan Jonathan. "Kenapa?" tanya Jonathan sambil menarik selimut dan menutupi dada Kaluna, "dingin?" tanya Jonathan."Nggak, badan kamu anget jadi aku nggak berasa dingin," sahut Kaluna sambil merapatkan tubuhnya yang telanjang di badan Jonathan."Terus kamu kenapa? Mau aku bawain baju?" tanya Jonathan sambil beranjak dari duduknya, walaupun sejujurnya ia lebih suka Kaluna tidak mengenakan pakaian sehelai pun. "Nggak, aku cuman ngilu aja ngeliat beritanya," bisik Kaluna sambil menarik selimut untuk menutu
Jonathan menyentuh dahi Kaluna dengan tatapan tak percaya, "Kamu nggak sakit kan? Atau kamu kekenyangan makan tadi? Atau kepala kamu kepentok?" tanya Jonathan sambil melihat seluruh badan Kaluna dengan seksama. Kaluna tertawa renyah saat mendengar perkataan Jonathan, "Aku sehat, Jo. Kenapa? Aneh yah, kalau perempuan duluan yang ngajak nikah?" tanya Kaluna sambil menarik selimut untuk menutupi dadanya, entah kenapa ia tiba-tiba merasa dingin setelah menjauh dari tubuh Jonathan yang hangat. "Nggak aku cuman ...." Jonahthan masih dalam mode kaget karena bingung harus seperti apa menanggapi ucapan Kaluna. Aneh rasanya diajak menikah oleh Kaluna, walaupun ini bukan pertama kalinya ia diajak menikah oleh seorang wanita. Pertama dengan paksaan oleh Gendis dengan dalih Gendis hamil dan yang kedua oleh Kaluna."Ya udah, nggak usah diinget. Anggep aja aku ngawur," sahut Kaluna sambil tersenyum kecut karena ajakannya tidak dijawab atau bahkan dianggap serius oleh Jonathan. Kaluna pun tidak bis
"Aduh, Lun ... kamu pake baju yang bener dong, masa berantakan gitu," protes Emma saat melihat Kaluna keluar dari kamar ganti yang disiapkan oleh keluarga Om Bekti. Kaluna mencoba menarik-narik bagian dada bajunya, "Ibu salah beli ukuran ini, dadanya sesak." Giliran Kaluna yang protes karena Emma salah membeli baju, "dada aku nggak sekecil ini," protes Kaluna sambil mencoba melonggarkan bagian dadanya sambil terus menariknya."Rusak dong payetnya, Lun." Emma berjalan mendekat ke arah Kaluna sambil mencoba membantu permasalahan baju Kaluna, "kamu gendutan?"Mendengar perkataan Emma membuat Kaluna menekuk mukanya kesal, "Ibu! Aku nggak gendutan tapi bajunya yang kekecilan.""Yakin timbangan badan kamu nggak naik?" tanta Emma lagi sambil mencoba menutupi celah-celah yang menganga di antara kancing-kancing di dada Kaluna."Ibu, ini bukan salah badan aku tapi, salah bajunya," rengek Kaluna gemas, rasanya ia tidak terima disebut gendut oleh Emma. Tubuhnya kecil dan bahkan terakhir dia meni
"Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya pegawai toko yang baru saja mengambilkan gaun untuk Kaluna.Jonathan yang sedang duduk dan menunggu Kaluna berganti pakaian hanya melirik sekilas ke arah pegawai toko yang sedang tersenyum pada dirinya, "Nggak ada, Mbaknya tunggu aja calon istri saya selesai atau butuh sesuatu," jawab Jonathan sesopan mungkin dan tanpa terlihat ketus."Oh baik," sahut pegawai toko itu sambil terus melihat Jonathan dengan seksama seolah wajah Jonathan adalah suatu teka teki silang yang harus segara ia ketahui jawabannya. "Kenapa, Mbak? Ada yang salah sama muka saya?" tanya Jonathan risih karena dilihat sampai sebegitunya oleh orang tidak dikenal."Ah nggak, cuman ... cuman ... maaf," ucap pegawai toko itu sambil tersenyum, "Mas-nya artis?"Jonathan hanya bisa tersenyum, tidak bisa dipungkiri pekerjaan sebagai seorang selebritis chef membuat ia mau tidak mau dikenali oleh orang lain. Lelah tapi, sudah resiko pekerjaannya, "Bukan, Mbak ... saya bukan artis.""Tapi,
"Kamu," cicit Kaluna dengan tubuh bergetar, matanya membulat dan entah bagaimana rasanya lututnya ikut bergetar. Kaluna hanya bisa mematung menatap lelaki yang terus berjalan mendekati dirinya."Kapan terakhir kita ketemu?" tanya pria itu sambil terus berjalan mendekati Kaluna dengan langkah yang sedikit diseret.Kaluna hanya berjuang untuk bernapas dan mengenyahkan rasa takutnya. Entah mengapa berkali-kali ia bertemu dengan pria itu tapi, berkali-kali juga tubuhnya bergetar hebat dan rasa ketakutan menyergapnya tanpa ampun hingga membuat ia ingin secepatnya pergi dari sana meninggalkan pria yang harusnya menjadi seseorang yang menjaga dirinya, seseorang yang menyayanginya dan seseorang yang menjadi cinta pertamanya. Pamungkas."Ah, terakhir pas kamu minta izin buat nikah tapi, nggak jadi?" ucap Pamungkas santai tanpa sadar kalau kehadirannya membuat Kaluna ketakutan, tanpa sadar kalau dirinya sudah menjadi sebuah trauma bagi anak kandungnya sendiri."I-itu ...." Suara Kaluna seolah m
Kaluna yang awalnya hanya terpaku dan bingung dengan apa yang terjadi langsung menjerit keras saat melihat Jonathan melayangkan tinjunya ke rahang Pamungkas."Stop! Stop!" pekik Kaluna. Kakinya benar-benar lemas dan sulit untuk digerakkan, ia hanya mampu berteriak berharap mendapatkan perhatian dari oranh sekitar agar melerai Jonathan yang saat ini sedang melayangkan kembali tinjunya ke arah dada Pamungkas."Tolong, itu ... tolong," pinta Kaluna sambil menunjuk ke arah Jonathan dengan telunjuk yang bergetar. Napasnya tercekat saat ia melihat Pamungkas berhasil menangkis pukulan Jonathan dan mau melayangkan pukulan ke arah wajah Jonathan.Spontan Kaluna berlari dan mendorong badan Jonathan hingga lelaki itu terpelanting ke pinggir, sedangkan kaki Kaluna terbelit gaunnya sendiri hingga badannya terjatuh ke depan dan tanpa sadar kedua tangannya menggengam kepala pamungkas. Meremas rambutnya seerat mungkin, menjadikannya sebagai tumpuan."Yang." Jonathan dengan sigap menarik badan Kaluna h