"Nak Zia, kau tak keberatan jika pernikahan kalian dilakukan bulan depan? Maaf, tapi bapak ingin secepatnya melihat pernikahan kalian," ucapnya membuatku terbangun dari lamunanku dan langsung membulatkan mataku, disaat yang bersamaan kulihat anak laki-laki nya juga terkejut mendengar keputusan yang tiba tiba ini."Secepat itukah aku harus menikahi laki laki itu?" jeritku dalam hati.***Dalam jangka waktu satu Minggu, berita tentang pernikahanku dengan putra bungsunya Pak Lukman, tiba tiba menyebar disekitar rumah dan tetanggaku, entah darimana kabar itu mereka dengar, membuatku kadang malas menjawab pertanyaan mereka tentang kepastian kabar tersebut. Ibarat pepatah tak ada asap jika tak ada api, aku yakin ada seseorang yang mengetahui tentang rencana pernikahan ini, entah siapa yang membuka kabar ini hingga menyebar. Seperti biasa hari ini aku mendorong gerobakku kembali, beberapa diantara mereka ada yang menanyakan kebenaran kabar itu dariku, membuatku kadang malas melayaninya. "K
Sepanjang jalan menuju rumah, aku terus menertawakan kebodohanku, tadinya sempat terpikir jika Mas Bima benar benar akan berusaha memperjuangkan hubungan kami, ternyata aku salah. Laki laki itu sangat cepat berubah.Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur, lama kutatap foto diriku dan bapak yang ada diatas meja kecil samping tempat tidur."Bapak, kuharap dengan menikahi anak laki laki Pak Lukman adalah keputusan yang benar." Bisikku pelan. ***Siang ini sinar matahari tak terlalu terik, dengan setengah berlari aku mengejar sebuah angkot. Lewat panggilan telepon kemarin lusa, Pak Lukman memintaku untuk menemuinya, tadinya beliau akan mengirimkan seorang supir untuk menjemputku, namun kutolak, karena aku tak mau tetanggaku akan heboh jika melihatku masuk kedalam sebuah mobil mewah. Entah untuk urusan apa, beliau memintaku untuk menemuinya, hanya saja aku masih tak percaya jika akan menjadi salah satu bagian dari keluarganya, setelah pernikahanku dan Mas Rangga nanti. Hampir setiap mal
"Zia, aku mencarimu, tolong beri aku waktu untuk bicara sebentar," pintanya. "Tak ada yang perlu dibicarakan lagi denganmu, mas. Hubungan kita sudah selesai. Aku beritahu padamu, sebentar lagi aku akan menikah, jadi kuminta jangan lagi menemuiku atau menghubungiku untuk urusan apapun," tegasku. "Menikah? Jadi berita yang kudengar ini benar?" "Iya, itu benar." "Dengan anak laki laki Pak Lukman itu?" Wajah itu menatapku seakan tak percaya dengan kalimat yang baru saja kuucapkan. "Apa yang kau lakukan hingga ia mau menikahimu?" ***"Jaga mulutmu, mas. Aku gadis baik baik dan memiliki harga diri. Kau yang harusnya berpikir mengapa masih saja mengurusi hidupku, bukankah lebih baik kau urus saja urusanmu."Aku tersinggung dengan perkataannya, baru kali ini aku melihat Mas Bima bersikap seperti ini padaku."Aku kenal dengan Mas Rangga, kami sering bertemu saat aku menemani papa menghadiri acara acara penting para pejabat, kurasa tak mungkin ia memilihmu untuk menjadi istrinya?" "Oh y
"Lidahmu memang sangat tajam Vira," cibirku. Gadis sombong itu tak sendiri datang ke sini, dengan mesra ia menggandeng lengan Mas Bima. Kulihat, tak jauh dari mereka juga ada mama dan papa nya Mas Bima yang datang menghadiri acara ini. "Zia ...?" Panggil Mas Bima. Aku hanya memberinya segores senyum datar. "Ini acara pernikahan seorang pengusaha kaya, banyak pejabat dan pengusaha yang diundang ke acara ini. "Apa kau sedang menemani seorang pejabat kesini, penjual gorengan?" Hina gadis sombong itu padaku. ***Aku hanya mencebik kesal padanya, gadis sombong ini memang perlu diberi pelajaran, sepertinya Mas Bima belum menceritakan tentang rencana pernikahanku dengan Mas Rangga padanya. "Jaga mulutmu, Vira!" Hardikku. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa perkataanku ini benar? Kau tidak mungkin bisa membeli gaun semahal itu jika bukan menjadi seorang simpanan pejabat," hina Vira lagi padaku. Aku hanya diam, mataku saja yang berputar kearah Mas Bima, melihat sikap diam yang kutunjuk
Akupun berjalan menuju ruang dimana akad nikah selesai dilakukan. Mas Rangga menyambutku dengan senyum mengembang disana. Tak lama kami pun menandatangani dokumen pernikahan bersama. "Selamat ya, Zia." Kalimat dan nasehat penuh haru disampaikan Mbak Soraya dan Pak Lukman padaku. Membuatku terisak. Ah, andai bapak dan ibu masih ada, tentu mereka sangat bahagia melihat pernikahanku saat ini. ****Pagi ini, aku bangun sedikit terlambat, aku juga bahkan terlambat mengerjakan sholat subuh. Sejak bangun tadi, aku tak melihat Mas Rangga. Kulirik ranjang pengantin kami masih sama seperti saat kutinggal tidur semalam. Kelopak kelopak bunga mawar yang ditebar diatas ranjang king size hotel mewah ini tak berubah. Masih berbentuk tanda hati yang manis. Karena lelah, kemarin malam, aku masuk lebih dulu kekamar pengantin kami, sebab mas Rangga bilang ia masih ada urusan sebentar, setelah selesai mandi aku pun mengambil sebuah bantal dan selimut, lalu memutuskan untuk tidur saja disofa. Kemarin
"Disampingmu, Zia. Aku tak bisa menjauh dari darimu. Tadinya aku berniat memindahkanmu ke atas ranjang, tapi tak jadi, karena kau tiba tiba memegang lenganku, akhirnya kuputuskan untuk menarik sofa yang lain dan menyusunnya lalu tidur disebelahmu," Ucapannya langsung membuat wajahku memerah. Benarkah begitu?Ah, sial, lagi lagi aku tidak ingat apapun. Ponsel Mas Rangga berbunyi, ia membalikkan badan sambil menatap layar ponselnya, tak lama ia sudah berdiri ditepi jendela, lalu membuka gordennya dan menerima panggilan teleponnya. Samar kudengar, ia menyebutkan sebuah nama. Eliza, dalam percakapannya. ***Aku menaruh pakaianku di lemari pakaian milik Mas Rangga. Aku tak mengira jika ia sudah mengosongkan tempat dan memberikan ruang untukku di lemarinya agar aku bisa menaruh pakaianku didalamnya. Ini adalah kamar Mas Rangga, seharusnya masih ada satu malam lagi jatah menginap di hotel yang sudah dipesan oleh Mbak Soraya untuk tempat kami berdua menghabiskan malam pengantin. Hanya saja
Jika kau ingin mengatakan sesuatu, lebih baik katakan saja padaku, karena Zia hanya menuruti keinginanku." Perkataan Mas Rangga kembali membuatku melotot tajam padanya. Mas Bima masih menatapku sinis, tak lama ia mengeluarkan kata kata hinaan padaku. "Ucapan mama dan Vira ternyata benar, tadinya aku tak yakin dengan tuduhan mereka padamu, tapi aku melihat sendiri dengan mataku, betapa murahnya kau, Zia. Tak kusangka, kau memang wanita yang hanya mengincar uang dan kekayaan saja, kau merayu laki laki ini demi membiayai hidupmu, bukan?"***Ucapan mama dan Vira ternyata benar, tadinya aku tak yakin dengan tuduhan mereka padamu, tapi aku melihat sendiri dengan mataku, betapa murahnya kau, Zia. Tak kusangka, kau memang wanita yang hanya mengincar uang dan kekayaan saja, kau merayu laki laki ini demi membiayai hidupmu, bukan?" Plak! Sebuah tamparan keras kulayangkan padanya, mata Mas Bima melotot tajam padaku, tak kusangka, Mas Rangga tiba tiba menarik bahuku kebelakang dan maju selang
Ah, aku jadi ingat kejadian malam pertama kami semalam. Begitu masuk kedalam kamar hotel, kulihat ia sudah tertidur pulas disofa. Salahku juga meninggalkannya sendirian terlalu lama. Tadinya aku ingin langsung masuk kekamar, hanya saja aku takut, Zia akan histeris dan takut jika berdua saja denganku di kamar. Karena tragedi malam itu masih membekas dalam di hatinya. "Andai saja malam itu aku masih bisa mengontrol diriku." Karena melihat Zia yang tak juga kunjung keluar dari kamarnya, membuat ku akhirnya berdiri. Dengan langkah malas aku menuju kamarnya dan mengetuk pintunya. "Zia ...!" Kusebut namanya pelan. Cklek. Pintu itu terbuka, wajah masam diperlihatkannya padaku. "Ada apa mas? Kau ingin tidur? Masuk saja ke kamar bapak disebelah. Tidur saja disana. Aku tak mau tidur disebelahmu lagi seperti semalam," ketusnya. Aku tak bicara apapun, karena percuma saja bicara pada wanita yang sedang kesal, as segera, kusodorkan saja sekotak pizza yang tadi kubawa padanya. "Makanlah, a