Ara kembali merona, ada gurat merah di wajahnya. Dia tersenyum geli, saat kembali membaca pesan-pesan itu dari awal. Entah bermulai dari mana, Ara menikmati dan menyukai pesan-pesan itu. 'Ah, andai saja mas Ehan seperti dia. Tentu saja hidupku akan sempurna.' batin Ara, senyumannya kali ini pudar seiring manik matanya menatap wajah suaminya yang teduh. [Bukti apa yang kau inginkan duhai hati?] Balas Ara lagi. Tak butuh waktu lama, pesan Ara langsung dibalas, [Aku ingin bukti...] Ara sampai menahan nafas membaca pesan di ponselnya. Detik berikutnya, dia menahan tawa yang hapir saja meledak. Begitulah setiap malam, saat belum tidur Ara akan terhibur dengan pesan-pesan manis dari sepupunya, Fathur Ar Rayyanda. Setidaknya dia melupakan sikap Ehan yang mulai cuek. --- Elma berjalan bersisihan disamping ayahnya. Netranya memandang gurat wajah ayahnya yang tidak biasanya, Elma sedikit berhati-hati ingin mengatakan perihal Ehan yang mulai sering tak masuk kerja,tapi saat kembali melih
Rudy berjalan dengan cepat diikuti Sebastian, dia ingin segera pulang dan memeluk istrinya, rasanya dunia hancur melihat anak sendiri keluar dari kamar bersama wanita lain. Disisi lain Ehan masih terpaku memandang Tab yang sengaja ditinggalkan oleh Sebastian."Maafkan aku, Ara. Maaf..." Lirih Ehan menyesal. "Bodohnya aku, selama ini Ara telah melayaniku dengan baik, maafkan aku, Ara." Gumannya lagi. Ehan menggusar rambutnya dengan kasar. 'Apa yang arus aku lakukan?' Batin Ehan lagi.Sedangkan Dinda masi terdiam, dia mendekat dan mengusap punggung lelaki itu, tapi ditepis ole Ehan."Kembalilah ke ruanganmu." Pinta Ehan"Tapi, Mas...""Aku ingin sendiri, Dinda." Ucap Ehan tajam.Dinda mencebik, dan meninggalkan Ehan sendiri.---Ara masih memperhatikan tanaman bunga mawarnya, tiba-tiba ponsel berdering."Assalamulaikum, Adikku tersayang." "Waalaikumsalam..." Jawab lelaki diseberang telepon."Tumben pagi-pagi nelpon.""Ini sudah siang, Mbak. Coba kau tengok jam dinding di kamarmu itu,
Ara menyelami manik Fathur yang menyejukkan."Sudah aku pikirkan, Bang. Dan... Aku akan mencari cinta yang lain. Agar Ehan tau rasanya dikhianati.""Hanya sebagai balas dendam?""Maybe Yes, Maybe No. Kita tak tahu takdir akan membawaku kemana, Bang. Bisa saja aku akan benar-benar jatuh cinta pada orang lain." Ucap Ara memandang Fathur.Jantung Fatur berdetak cepat, ada nyeri di hatinya. Dia tak ingin Ara jatuh pada pria lain."Siapa targetmu?""Aku tak tahu, Bang. Mungkin lelaki kaya." Jawab Ara tertawa."Aku ada ide,?" Ucap Fathur dengan senyum devil nya."Apa?""....."Ara tertawa geli mendengar ide sepupunya itu, dia mengangguk tanda setuju.---Ehan masih duduk terpekur di ruangannya, hari semakin sore, senja pun menyapa, berkali-kali Dinda datang untuk membujuk Ehan pulang, tapi lelaki itu tetap bergeming memandang ke luar jendela.Ehan menarik nafa panjang, lalu dihembuskannya perlahan. Sekarang semuanya menjadi kacau, dia baru menyadari bahwa istrinya sangat pandai menyimpan ra
Fathur kembali disisi Ara yang memainkan ponsel, " Maaf, lama menunggu?""No, siapa laki-laki itu?" Tanya Ara juga."Bukan urusanmu," Kekeh Fathur."Ish, menyebalkan sekali."Fathur tertawa lepas, sungguh hari ini hatinya begitu bahagia, melihat Ara yang cantik dan menggemaskan, belum lagi bertemu Adam yang begitu ketakutan saat bertemu dengannya. Dengan langkah cepat Fathur mengekori Ara, lalu menggenggam tangannya dengan paksa.Ara terkesiap."Fathur...""Hanya untuk malam ini, kita saudara bukan?"Hening...Ara merasakan ada getaran di hatinya saat Fathur menggenggam tangan erat, entah kenapa Ara tak kuasa untuk menolak. Dia tersenyum begitu juga dengan sepupunya. Keduanya melangkah dengan penuh kebahagiaan.---Sudah beberapa jam Ehan sampai di rumah bernuansa eropa itu, saat dia sampai tak ada Ara yang menunggunya seperti biasanya, di kamar pun tak ada sambutan dari istrinya. Ehann bingung, karena tak mendapai istrinya di setiap sudut rumah.Setelah membersihkan tubuh Ehan kembal
Ara menutup pintu dan menguncinya dari luar, terdengar ketukan dari luar, Ehan berkali-kali memanggil namanya, Tapi Ara tetap diam, bening matanya mulai menetes, berlahan lalu semakin deras, pundaknya naik turun karena menahan sesak di dada.Kembali terbayang saat mereka pertama kali bertemu, lalu... mengingat momen-momen romantis yang sudah dia lalui selama sepuluh tahun.Dulu, dia memiliki impian, menikah hanya sekali saja sampai anak cucu, nyatanya impian itu dihempaskan oleh suaminya.Ara mengusap air matanya, perlahan dia bangkit dan membersihkan diri lalu melakukan shalat isya'. Diatas sajadah, Ara kembali mencurahkan segala kepedihan, netranya memandang dinding kamar yang polos."Ya Tuhan. Kali ini saja, aku mohon, beri aku kekuatan. Cintaku mungkin salah, sehingga Engkau mengujiku dengan begitu berat. Aku salah, Ya Allah....Seharusnya aku tak mencintainya melebihi cintaku pada Mu.Ya Allah, Kali ini saja, kuatkan imanku."---Ehan masih terdiam di luar kamar, sudah hampir l
"Mau kemana kau, Ehan?" Tanya Ayahnya dari belakang. Ehan terkesiap, dia lupa jika ayahnya akan bangun saat azan subuh dan melakukan shalat di masjid komplek. "E... E... hanya ingin cari udara segar, Yah.""Pagi-pagi begini? jangan bilang kau pergi ke rumah wanita pantat wajan itu?" Ehan terdiam, hatinya tak suka jika Dinda selalu di sebut wanita pantat wajan. "Bukan urusan, Ayah. Aku pergi." Ehan berlalu, tak menghiraukan teriakan ayahnya, Ehan terur melajukan mobilnya dengann cepat.Rudy hanya bisa menghela nafas.---Dinda benar-benar ketakutan di kamarnya, pasalnya pria misterius itu terus menggedor-gedor jendela rumahnya, dia tak berani untuk keluar, hanya sekedar mengintip juga tak berani. Beberapa kali dia menekan tombol panggil di ponsel, Ehan tak menjawabnya.Diliriknya jam tinggi, Dinda sedikit lega karena sebentar lagi pasti para tetangga akan kluar rumah untuk melaksanalan shalat subuh, dia berharap ada orang yang membantunya.Brak...Suara lemparan batu kembali terden
Sudah lima bulan setelah Ehan mengaku selingkuh, semuanya berjalan normal, Ara memaafkannya. Namun, hanya di mulut saja, karena suaminya itu masih menemui Dinda. Ara tak merasa kesepian lagi, pasalnya kini dia sudah semakin dekat dengan sepupunya, harapan mendapatkan cinta tulus dapat dia rasakan dari tatapan teduh Fathur.Lelaki itu, sukses membuat hati Ara merasakan bunga-bunga cinta kembali, hampir setiap hari Fathur mengirimkan kata-kata romantis, meski dia tau Ara masih berstatus istri sepupunya."Duhai cinta, senyummu bagaikan rembulan, yang cahayanya menerangi bumi yang gelap. Dan, aku lah bumi itu, kini... dia sudah tak gelap lagi, karena akan ada senyummu yang selalu meneranginya." Fathur tersenyum sesaat setelah mengirim pesan pada, Ara. Entah kenapa dirinya begitu nekad mendekati Ara.Dulu dia mundur, dan melupakan cinta pada Ara. Berbeda dengan saat ini, Fathur seakan perangko yang selalu lengket jika di dekat Ara, dia tak perduli orang menganggapnya seperti apa, yang pa
Fathur terlihat sangat mencintai Ara, dimanapun wanita itu berada, dia selalu melindunginya. Aldo sesekali menyesap kopinya, sorot matanya menatap lurus kedepan."Kau begitu licin, Fathur. Tapi, aku tak akan gagal dalam misi ini, meski aku juga mencintai Ara, aku rela melepasnya demi uang. Namun... Jika ini sudah selesai targetku selanjutnya adalah kamu."Lelaki bertopi hitam itu tersenyum smirk, dia langsung menghubungi anak buahnya untuk terus mengawasi Fathur dan Ara.---Fathur berjalan mondar-mandir di kamarnya, dia masih belum percaya apa yang di dengar dari pembicaraan Elma, hatinya merasa ada yang janggal, apalagi sekarang, Elma seakan selalu mendekatkan dirinya dengan Ara.'Apa yang disembunyikan Mbak Elma dariku?' Batin Fathur bingung.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Fathur, dia beringsut dan membuka pintu. Ara sudah mode rapi, dia mengangkat alis dan menyandarkan tubuhnya disisi dinding dekat pintu."Jalan yuk, Bosan aku." Ajak Ara.Fathur terdiam, dia memandang Ara dari