Pertemuanku dengan teman lama Zaki membuat suasana hatiku sedikit tak karuhan lagi. Bagaimana tidak, dia mengomentariku seakan sedang menyidak seorang tahanan. Apa aku seburuk itu dimatanya? Apa aku sejelek itu?Kupandangi tubuhku berulang kali di depan kaya toilet yang besar. Memang, baju dan riasanku sangat sederhana. Namun apa itu semua adalah jaminan seseorang bisa menilaiku seperti itu? Apa hanya karena penampilan, lantas aku tak pantas bersanding dengan Zaki?Kutarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan pelan. Ternyata menikah dengan Zaki tak hanya kebahagiaan yang kudapat. Di sisi lain aku juga harus siap dengan segala konsekwensinya, termasuk seperti ini.Wajar saja, aku bersanding dengan lelaki kaya, tampan dan memiliki segalanya. Bahkan kalau dia mau, dia bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku. Namun entah kenapa, dia justru memilihku sebagai istrinya.Berulang kali aku menarik nafasku dalam agar hatiku kembali tenang sebelum kembali ke meja tempat dimana Zaki masih
Aku masih tertegun beberapa saat ketika Zaki mengutarakan apa yang dia rasakan. Yaitu, dia ingin memiliki anak dariku. Bukan hal yang salah sebenarnya, kami sudah menikah, dan aku memang wajib memberinya keturunan jika Allah berkehendak. Mungkin selama ini aku terlalu egois dengan mementingkan rasaku saja. Aku berdalih ingin menyesuaikan diri dan menumbuhkan rasaku padanya. Padahal nyatanya, sampai saat ini aku sudah jatuh cinta padanya. Rasa aman dan nyaman selalu kurasakan ketika berada di dekatnya. Hanya saja aku belum berani mengutarakan hal itu, terlebih jika ingin memberikan haknya. "Nana ... Kamu tidak suka dengan kata-kataku?" tanya Zaki lagi ketika aku masih terdiam.Aku lantas menatapnya, "tidak, bukan begitu ... Hanya saja aku kira bukan itu yang ingin Aa katakan."Ya, memang demikian. Aku mengira jika Zaki akan mengatakan mengenai Stefi siang tadi. Karena aku merasa jika dia merasa tidak nyaman usai pertemuan kami."Baik, sekarang bicaralah. Apa yang ingin kamu bicarakan
Taksi online yang kutumpangi berhenti tepat di depan rumah ketika mobil Zaki juga tiba di halaman rumah kami. Dadaku berdegup kencang, karena aku merasa seperti bukan diriku.Dengan sengaja aku menundukkan kepala, lalu mencium punggung tangannya dan segera berlalu hendak ke dalam rumah. Namun cengkeraman tangan Zaki menghentikan langkahku. Dia menarikku hingga membuatku jatuh ke dadanya."Benarkah ini istriku?" ucapnya dengan menatapku lekat.Aku yang mendapat tatapan seperti itu lantas mengalihkan pandangan. Zaki terlihat sangat beringas kali ini."Ish, apaan sih, A. Iya lah, ini aku, Nana. Emangnya siapa?" jawabku dengan berusaha melepaskan pelukannya.Namun, bukannya dilepaskan, Zaki justru mengencangkan pelukannya. Mau tak mau aku menuruti kemauannya saja, masuk ke dalam rumah dengan posisi tubuhku berada di sampingnya dan bahuku di peluk dengan sangat hangat."Kamu cantik sekali, Sayang. Aku bahkan hampir tak mengenalimu," tuturnya sembari berjalan beriringan denganku."Berarti k
"Ada apa, Nana? Kenapa kamu kelihatan cemas? Katakan pada Ayah," kata Ayah ketika aku tak kunjung mengutarakan niatku berkunjung ke rumahnya."Zaki, ada apa ini? Kalian tak sedang ada masalah, kan?" sambungnya dengan melirik ke arah Zaki. Secepat kilat aku lantas menggelengkan kepala, dan menggenggam tangan Zaki. Aku tak ingin orangtuaku salah faham dengan kedatangan kami."Tidak, bukan kami yang bermasalah, Ayah. Ada hal lain yang ingin kukatakan." Zaki mengangguk, dia juga terlihat cemas sepertiku.Raut wajah Pakde Irwan masih terngiang jelas di kepalaku. Dia terlihat bingung, pucat dan seperti kurang tidur. Apalagi dia mendorong Huda sendirian, sungguh aku sangat miris padanya."Lalu, apa yang membuatmu seperti ini?" tanyanya lagi dengan memandang kami secara bergantian."Em, tadi kami ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes lab ibu mertuaku. Lalu, kami bertemu dengan Pakde Irwan, Yah." Dengan hati-hati kusampaikan apa yang menjadi permintaan Pakde Irwan di rumah sakit tadi. Mesk
Malam ini Zaki mengajakku untuk makan malam disebuah restoran di dekat pantai, rupanya dia telah menyiapkan semuanya tanpa sepengetahuanku. Dia memilih tempat yang memang sangat dekat dengan pantai hingga deburan ombak terdengar dengan jelas. Angin sepoy juga terasa sangat menyenangkan, apalagi di tambah alunan musik klasik dan cahaya remang-remang lilin di sekitar kami.Sungguh, aku sangat takjub dengan semua yang Zaki siapkan untukku. Selain itu, ini memang kali pertama aku mendapat perlakuan khusus dari seorang lelaki. Mereka yang dulu pernah mendekatiku hanya sekedar menggodaku saja dan tak pernah bersungguh-sungguh kepadaku.Kali ini aku seperti menemukan seorang ayah kedua bagiku. Zaki sangat menyayangiku, melindungiku dan memberikan semua yang bisa membuatku bahagia. Sedikitpun aku tak menyangka jika nasibku akan berubah sedrastis ini."Kamu suka, Sayang?" tanya Zaki ketika aku masih mengagumi suasana yang baru kudapati kali ini."Ya, aku suka, A. Terimakasih, ya," jawabku deng
"A, tadi temanmu itu kenapa? Kok kaya sedih gitu?" tanyaku ketika kami melanjutkan perjalanan.Zaki menolehku, dia terlihat bingung. "Yang mana?""Yang tadi loh, A. A ... Alika. Iya Alika kan namanya?" tuturku menjelaskan dengan menatapnya dalam.Tanpa memberi jawaban, Zaki hanya mengangkat kedua bahunya. Sepertinya dia memang tak tahu alasan yang pasti kenapa Alika bersikap demikian."Em, maksudku saat ini Alika memang sedang ada masalah pribadi. Dan aku tahu bagaimana perasaannya," kata Erina yang masih kuingat."Sudah, jangan dengarkan dia. Aku baik-baik saja. Ayo Erina, kita pergi. Maaf ya sudah menganggu kalian. Silahkan kembali dinikmati," ujar Alika dengan menarik lengan sahabatnya itu sedangkan aku hanya menganggukkan kepala.Zaki? Dia hanya diam saja. Padahal katanya mereka adalah teman lama, tapi Zaki terlihat begitu cuek."Kenapa melamun, Nana? Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Toh aku juga tidak terlalu dekat dengan mereka jadi tidak tahu masalah apa yang sedang merepan
"Eheemm ...." Aku berdehem ketika keluar dari kamar mandi.Bukan tanpa alasan, aku hanya tak ingin Zaki terlihat canggung ketika ia menyadari bahwa aku telah mendengar pembicaraannya. Sebenarnya aku bisa saja menanyainya mengenai hal itu, dia sedang berbincang dengan siapa. Hanya saja aku rasa itu semua tidak pantas kutanyakan karena akan kentara jika aku telah mengupingnya sebelum ini."Eh, Na-nana ... Cepet banget mandinya," ujarnya terdengar aneh, padahal biasanya aku justru lebih cepat dari ini karena di sini aku sangat menikmati suasana kamar mandinya yang sangat bagus.Aku hanya tersenyum, lalu mengelap rambutku yang masih basah dan duduk di sebelahnya. "Enggak deh, A. Malah ini lebih lama dari biasanya," jawabku.Zaki terlihat sedikit gugup, lalu terlihat menggaruk tengkuk lehernya. "Masa? Apa perasaanku saja, ya," ujarnya dengan menyeringai.Sikapnya benar-benar terlihat sangat aneh, tak seperti biasanya yang selalu terlihat terbuka dan ceria. Kali ini Zaki terlihat sangat gug
"A ... Bangun," ucapku sembari menggoncangkan tubuhnya hingga dia membuka kedua matanya dengan susah payah."Ada apa, A? Kenapa Aa mengigau?" tanyaku ketika ia sudah membuka matanya.Zaki masih terlihat bingung, ia mengusap wajahnya dan menatapku datar. "Nana, ada apa?"Dahiku mengernyit, bahkan dia justru berbalik bertanya kepadaku. Seharusnya aku yang bertanya, jam berapa ia pulang dan kenapa ia sampai mengigau seperti itu? Apa ada masalah?"Em, tadi Aa mengigau. Sepertinya terlihat sangat cemas. Memangnya ada apa, A? Semalam datang jam berapa? Kok aku nggak tahu," tuturku panjang lebar, tapi Zaki masih terlihat mengumpulkan nyawanya usai bangun tidur.Sejenak ia terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. "Mengigau?" Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Kali ini dia sudah bangkit dan duduk dengan tenang di sofa. "Mengigau apa, Sayang?" tanya Zaki lagi dengan menatapku dalam, sepertinya ia sangat serius dengan pertanyaannya.Kuceritakan semua yang kualami beberapa saat yang la