Ketika membuka matanya, Raesaka tidak ingat apa pun kecuali namanya sendiri.Bunyi ritme jantung mengiringi cahaya yang merambat pada dinding dan siling putih, membantunya merealisasikan keadaan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, merasakan aliran udara melalui selang yang disematkan pada hidungnya. Tidak ada rasa sakit selain sensasi aneh yang mengganjal kerongkongannya, punggung tangannya, dan bagian kemaluannya. Kepala dan dadanya dibebat, dan gips membalut lengan kiri dan kanannya. Ia melirik ke samping, melihat seorang perawat berbaju serba biru tua, memakai penutup kepala dan masker, bergerak-gerak di sampingnya, sedang melakukan pemeriksaan berkala.Perawat itu, yang baru saja selesai memasang kantung air kemih kosong, menoleh dan menyadari tatapan lemah Raesaka. Ia kemudian mengangkat tangan dan menggerakannya di depan Raesaka, memastikan Raesaka memang benar-benar sadar. Raesaka mengikuti gerakan tangan perawat itu.“Anda bisa mendengar saya, Pak?” tanya perawat.Raesa
Di hari yang agak mendung dan gerah, Raesaka, yang sudah bisa menenangkan diri sepenuhnya, sedang menonton film black-comedy tentang perilaku politikus yang rela melakukan apa saja demi memenuhi ambisinya untuk berkuasa. Film itu mengingatkannya pada buku yang pernah dibacanya di perpustakaan ibunya, tetapi lupa judulnya. Dia harus menahan diri supaya tidak tertawa terlalu lepas, agar tidak menyakiti tubuhnya.Sebetulnya, Raesaka menghindari acara berita, terutama yang berkaitan dengan institusinya, dan ia juga tidak mau tahu bagaimana kabar Arkavi dan perkembangan kasusnya (terkecuali, ia akan hadir apabila pengadilan membutuhkan kesaksiannya).Berhubung tidak ada lagi acara yang menarik, Raesaka memutuskan pergi ke halaman belakang rumah ibunya. Sambil duduk bersandar pada pohon kersen yang belum berbuah, semilir angin sore menyejukkan kepalanya yang sedang mengenang Purangga, Ivan, Akarsana dan rekan-rekannya yang lain. Hatinya melantunkan doa-doa yang sudah lama tidak pernah diu
Rasa kecewa—karena Prisha tidak bisa dijenguk—melumer bersama coklat batang yang dikulumnya, dan Raesaka duduk di kursi belakang kereta api. Pemandangan sawah, bukit, dan gedung-gedung di kejauhan bergerak cepat berlawanan arah, dan itu membuat hatinya menjadi lapang. Setelah coklatnya habis, ia meneguk air dari botol, memakai masker hitam dan membetulkan posisi topi merah tuanya agar rapi. Kedua tangannya yang masih terbalut gips, ditutup jaket parasut coklat gelap.Bagi Raesaka, Niskala itu beraroma seperti dapur dan kolam ikan neneknya. Di sana, senyuman dan pelukan hangat neneknya menyambutnya. Di tengah kesibukan para asisten rumah tangganya, neneknya terus berbicara dan bertanya-tanya sambil mengantar Raesaka ke kamar yang dulu pernah digunakannya selama bertahun-tahun.Walaupun ada sedikit perubahan (tidak ada lagi poster-poster idola yang menempel pada dindingnya), wangi kamarnya tetap sama seperti dulu. Tadinya, begitu Raesaka ditempatkan di Narwastu, Dewangga mengusulkan
Bersama Aliosa dan dua sepupunya yang lain, Elis dan Erik (anak kembar Saphira yang masih duduk di bangku kelas tiga), Raesaka duduk di pinggiran kolam, memancing ikan mujair. Ikan-ikan itu digoreng, menjadi lauk pelengkap nasi liwet untuk makan siang. Di bawah siang yang terik, wangi-wangi hangat bawang, kencur, dan cabai rawit memenuhi udara di sekitar dapur.Raesaka ingin sekali menikmati nasi liwet-nya sambil duduk di balai-balai luar samping dapur, tetapi tempat itu hanya boleh digunakan oleh tukang kebun dan dua asisten rumah tangga. Neneknya akan melarangnya makan di sana. Walau begitu, neneknya tidak sepenuhnya kaku. Neneknya sangat suka menyimak obrolan cucu-cucunya sambil makan, mau itu cerita sedih atau pengalaman konyol sekali pun. Ketika Aliosa, Elis dan Erik menghabiskan puding-puding dingin di ruang tengah sembari menonton televisi, Raesaka dan neneknya masih ada di dapur, mengobrol.“Ibu kamu menikah delapan bulan setelah Kakek meninggal,” cerita neneknya. Jemarinya
Dinaungi suasana cafe yang riuh rendah, keduanya duduk berseberangan, dan terlihat sangat asing. Arumi, yang selalu berusaha menghindari pandangan Raesaka, hanya makan sedikit dan tidak berbicara banyak—ia bahkan tidak ceria seperti biasanya. Kadang-kadang, gadis itu tampak tidak nyaman dengan kursi yang didudukinya, berkali-kali menunduk, seakan-akan ia sedang dalam keadaan waspada karena takut jatuh dari lantai dua. Dia menjadi agak kikuk dan kehilangan fokus.“Kamu sakit, Rum?” tanya Raesaka, curiga.“Hah?” Kali ini Arumi mengangkat kepalanya, menatap Raesaka sambil menyematkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menunduk dan mengerutkan kening. “Oh... enggak kok.”“Terus, kenapa makannya enggak dihabisin? Kamu suka zuppa zoup ‘kan?” Pandangan Raesaka terus tertuju pada Arumi.“Tadi.. sebenernya, aku udah makan di rumah, jadi aku...” Tiba-tiba Arumi mengangkat tangannya, menutupi mulutnya sendiri, dan menatap Raesaka selama beberapa detik, lalu berpaling. Masih sambil menutupi mulu
“Ibu pernah baca buku bagus—Ibu lupa judul bukunya apa,” kata Marsala di pagi hari. “Buku itu bercerita tentang seseorang yang mencari harta karun hingga ke pelosok negeri. Dia bertemu berbagai macam orang, salah satunya orang pintar dan bijak yang dikira penyihir oleh warga sekitar. Setelah berkelana panjang dan lama, apa yang dicarinya selama ini rupanya terkubur di halaman rumahnya sendiri. Ah, Ibu ingin baca buku itu sekali lagi. Andai aja Ibu ingat judul bukunya, mungkin bisa kamu carikan suatu hari.” “Terus, apa yang mau Ibu sampaikan?”“Nah, kesimpulan dari cerita itu adalah sering kali apa yang kita cari sesungguhnya sudah ada di dekat kita.”“Apa Ibu bertemu Ayah seperti itu juga? Tiba-tiba dia muncul di halaman depan rumah?” tanya Raesaka, yang kemudian terpana mendengar tawa ibunya gara-gara candaannya, tapi ibunya hanya tertawa, tidak membicarakan suaminya.* * *Air kran membasuh wajahnya beberapa kali. Di depan cermin, titik-titik air mengalir di pipi dan dagunya
“Pantas wajahmu familiar. Ternyata kamu anaknya Marsala,” kata Maruk. “Firasatku benar, kita pasti bertemu lagi.”Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bangkawara merupakan tempat binaan bagi para narapidana yang melakukan tindak pidana khusus. Lapas itu terletak di atas daratan berbentuk lingkaran yang berada di tengah danau besar. Jika dilihat dari langit, penampakannya mirip sebuah mata yang memandang ke atas, berwarna hijau kebiru-biruan, berkilauan tersorot matahari—seperti mata Maruk, yang memandangnya tajam hampir tidak berkedip.Berbalut baju tahanan, Maruk duduk di kursi kayu. Kedua tangan dan kakinya diborgol, yang rantai borgolnya terkunci pada lantai di bawahnya. Rambutnya yang indah sudah dicukur habis sampai licin. Namun, ia tidak kehilangan karisma, ketampanannya, serta auranya yang agak.. buruk, yang menggertak Raesaka dalam hening, supaya ia segera menyudahi percakapan ini.“Gimana kamu bisa mengenal ibu saya?” tanya Raesaka usai menyalakan aplikasi perekam di ponselnya.
Cahaya meredup saat Raesaka membalas tatapan Nawasena.Warna merah merambat di permukaan kulit pimpinannya yang agak berkeringat. Bibirnya terkatup, rahangnya menegang, dan pipinya berdenyut-denyut, sementara kedua tangannya berada di pinggang. Lima belas menit yang lalu, ia memarahi Raesaka habis-habisan, karena mengetahui Raesaka membuat surat keterangan sakit palsu dan memalsukan tanda tangannya pada surat tugas yang disusunnya sendiri, demi pergi ke Bangkawara. Ia ingin sekali mengatakan betapa muaknya ia pada urusan Sindukala, namun suara Maruk yang keluar dari rekaman ponsel Raesaka, memaksanya diam dan menyimak.“....kami menghabisinya.” Suara khas Maruk memantul pada dinding ruangan.“...setelah Rahinakala tewas, kami menghapus perkaranya seolah-olah itu enggak pernah ada sejak awal...”“Kuburan ayahmu bukan di Sadajiwa, melainkan di Samara. Kami menguburnya di sana.”Raesaka, yang juga tidak mau berpaling dari Nawasena, mendengar rekaman itu dengan jantung berdebar. Bunyi