Setelah mengobati luka pada sikunya, Marsala melirik ke kaca spion, melihat dua teman Maruk—entah sesama polisi atau bukan, Marsala tidak bertanya—berdiri di belakang bak mobil, mengobrol sambil mengawasi sekitar. Aroma persawahan yang mengapit jalan lingkar selatan Narwastu, mengalir dari sela-sela jendela.“Aku tahu tujuan kamu mencariku,” ujar Maruk, yang duduk di samping Marsala di kabin belakang. “Kamu pasti ingin memastikan kematian Sindu.” Ia terkekeh singkat, dan keduanya saling berpandangan. Maruk menggeser duduknya, mendekati Marsala; telapak tangannya terangkat, menempel pada kaca jendela, dan tubuhnya yang besar menaungi Marsala. Walaupun rasa takut mengepung hatinya, Marsala tidak melepas pandangannya dari Maruk. Punggungnya menempel pada pintu mobil, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Maruk.“Dengar,” bisik Maruk. “Setelah kamu bertemu Sindu, kamu pulang dan lupakan semuanya. Kasus suamimu enggak pernah ada sejak awal, dan terima saja kematiannya.”“Jadi.. Sindu...”
Maruk melarikan Marsala ke klinik. Dokter yang menangani lukanya, memberi saran agar Marsala dirawat inap, namun Maruk malah membawanya ke penginapan yang lokasinya cukup jauh dari keramaian kota. Di bawah pengaruh obat, mata Marsala hanya setengah terbuka, memandang Maruk yang duduk di sampingnya.“Untung cuma keserempat peluru,” gumam Maruk. “Tapi, kita harus tunda keberangkatan kita. Seenggaknya, untuk semalam.”Marsala mengangguk lemah.“Dengar,” lanjut Maruk. “Urusanmu berhenti di Catra. Artinya, mau enggak mau, kamu harus terima kematian Sindu. Kamu enggak bisa melangkah lebih jauh lagi dari ini. Aku serius, Mars. Pokoknya, lanjutkan hidup kamu seperti biasa, dan fokus saja mengurus anakmu.”Marsala mengangguk lagi. Ia meraih tangan Maruk dan menaruhnya di pipinya sendiri, lalu memejamkan mata. Tidak menyadari pipinya yang memerah, Maruk tercenung, memandangi Marsala yang sudah melayang ke dunia mimpi. Nafas Maruk tercekat, jemarinya gemetar, menelusuri bentuk halus pipi, r
“Di penghujung waktu, penderitaan harus diterima seperti kutukan. Penderitaan yang tidak memiliki makna, yang tidak memberi kekuatan, dan tidak pula berdampingan dengan kebahagiaan, yang ketika ditanya kenapa, jawabannya sunyi. Tapi, terkadang kita menemukan puncak kesenangan di dalam penderitaan, dan aku berpikir, mungkin Tuhan juga ikut tertawa, menertawakan kita. Apa kamu pernah berpikir bahwa hidup kita ini cuma lelucon bagiNya?”Raesaka menunduk, mengamati nama Sindukala yang terukir pada nisan di atas pusara palsu itu, tersorot sinar purnama raksasa yang menggantung rendah di langit gelap. Puncak-puncak pegunungan meninggi, tanah menggeliat lambat, dan angin bersemilir mempermainkan dedaunan dan rerumputan, menerbangkan aroma kacapiring bersama kunang-kunang dan kupu-kupu beraneka warna. Suara-suara binatang malam mengiringi Marsala dan Arabela yang menari di atas tanah kosong. Keduanya bertelanjang kaki, tertawa, berpelukan, berciuman, dan kembali muda.Sebagian genting rumah
“Kamu mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Damian, memasukkan beberapa sendok krimer bubuk ke dalam kopi dan mengaduknya cepat-cepat, sambil sesekali memandang Raesaka yang duduk di hadapannya. Asap rokok melingkar-lingkar di udara sekitar mereka, bercampur aroma rerumputan basah dari luar jendela.Damian, lelaki tinggi yang mewarnai rambut pendeknya dengan cat warna coklat kemerahan, tetapi catnya sudah agak memudar, sehingga terlihat sebagian rambutnya yang memutih. Wajahnya yang lonjong membingkai alis dan kumisnya yang tebal, hidung mancung, serta rongga matanya yang agak menjorok ke dalam, yang membuat bola matanya sering kali tampak samar jika berada di bawah cahaya temaram.Damian menjadi salah satu pengacara yang mendampingi Marsala menjalani persidangan. Selama beracara, Damian sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pihak keluarga Marsala; salah satunya adalah menghalang-halangi dirinya menemui Raesaka.“Jual beli tanah antara ibunya Sindu dengan Ardiwilag
Gimana kabar kamu, Re?” Dewangga duduk di sofa ruang tamu, tersenyum singkat. Kehadirannya sangat canggung, sehingga Raesaka merasa pertemuan ini aneh, seakan-akan mereka orang asing yang baru berkenalan.“Kebetulan,” Dewangga mengusap kedua telapak tangannya, “Oom mau ke Teluki—ada proyek yang harus dikerjakan—jadi mampir ke sini, sekalian ngobrol soal ibu kamu.”“Iya, Oom.” Raesaka mengangguk, melirik sebentar pada cangkir teh tawar yang ia suguhkan untuk pamannya.“Keluarga bukannya enggak mau bicara. Kami sudah sepakat enggak akan membahas masa lalu ibu dan ayah kamu sejak Marsala kecelakaan dan koma. Ini rumit sekali,” jelas Dewangga. “Dan yang menulis kanker tulang pada surat kematian ayah kamu itu inisiatifnya Nenek, tanpa ada tekanan dari siapa pun. Iya, kami memang mendapat tekanan dari pihak “itu” dulu, tapi yang jelas bukan itu alasannya. Setelah siuman, ada sebagian memorinya yang hilang, salah satunya memori kematian suaminya, jadi Nenek sebetulnya ingin membentuk memo
“Maafin aku, Re,” ucap Arkavi di bawah bunyi rintik hujan.Jeruji besi membingkai senyuman samar Arkavi dan punggungnya yang membungkuk di lantai keramik. Alas duduknya hanya selembar tikar tipis dan sebuah bantal lusuh yang sudah mengeras. Hanya dia satu-satunya orang yang ditahan dalam ruangan ini, sementara dua ruangan lainnya dalam keadaan kosong.Dia kini tidak memiliki apa dan siapa pun, kecuali dirinya sendiri yang dibalut baju tahanan. Tidak ada keluarga dan teman yang menjenguknya. Arkavi tidak lagi terlihat seperti sedia kala yang tampan dan gagah. Dan, caranya memandang sepintas seperti pandangan suaminya Prisha—penyesalan, kesedihan, dan pengharapan berkumpul menjadi satu di sana. “Kamu enggak seharusnya meminta maaf padaku,” tanggap Raesaka. “Kamu semestinya minta maaf pada Akarsana dan juga yang lainnya. Dan aku,” Raesaka mengusap mulutnya, “sudah dengar kabarnya.”Arkavi melipat bibirnya, mengangguk samar dan katanya, “Aku tahu ayahku bebas dari segala tuduhan, padaha
Dari balik kegelapan yang terhiasi kepulan asap rokok, Raesaka memperhatikan Asuji yang wajahnya meringis, tergeletak sekitar lima meter dari tempatnya duduk di lantai sepuluh gedung yang mangkrak dibangun. Angin malam yang berhembus melewati pilar-pilar besar, membawa suara gemuruh keramaian kota, mengisi setiap sudut gedung yang sepi.Dua hari yang lalu, Prisha diserang tiga orang tidak dikenal usai mengurus keperluannya di kantor LBH. Tiga orang itu juga melukai Aditya dan Nayyala yang menemaninya. Di antara yang lainnya, Prisha mengalami luka yang paling parah; perutnya ditusuk, menyebabkan bayi dalam kandungannya meninggal, sementara Aditya dan Nayyala hanya mengalami luka gores di bahu dan tangan.Setelah mendengar kabar itu dari Nayyala, Raesaka bergegas pergi ke rumah sakit. Ia berlari melalui lorong-lorong panjang beraroma obat-obatan, melewatkan Nayyala yang duduk bersandar pada bahu Aditya (dan keduanya sudah mendapatkan perawatan), agak jauh dari kamar tempat Prisha dira
“Tante pertama kali kenalan sama Ibu kamu di kelas Estetika,” kisah Arabela kala Raesaka masih di Sadajiwa. “Kita satu kelompok bikin proyek film pendek yang temanya enggak jauh dari persoalan hukum. Film itu dibuat dalam rangka ujian semester. Tante ingat, bagaimana ibu kamu selalu bersemangat mengikuti kelas Estetika, sampai akrab sama dosennya. Dia ceria dan mudah tertawa pada hal-hal sepele sekali pun, dan enggak ada yang tahu bahwa sebenarnya waktu itu dia sedang menyembunyikan depresinya.”Arabela bercerita, di masa mereka kuliah, korupsi telah mengakar di setiap lini kehidupan dan pemerintahan, dan selalu menduduki topik utama di media. Banyak pejabat koruptif yang membuat skenario palsu untuk menjebak beberapa petinggi dari kepolisian dan kejaksaan yang hendak menyeret koruptor ke pengadilan, bahkan sampai ada pejabat kejaksaan yang dituntut hukuman mati atas kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.Itu menarik, pikir Raesaka.Raesaka menyeberangi lantai ruang tengah yang d