Arya naik ke puncak gunung dengan wujud harimau berukuran sangat besar. Kemudian semua binatang menunduk padanya, sebagai penguasa dan penjaga wilayah ia memang cukup disegani. Lalu harimau itu ketika sampai di puncak, duduk diam memandang pegunungan yang ia diami sejak memutuskan keluar dari Hutan Larangan. Binatang buas setengah manusia tersebut memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang. Seketika sebuah perisai tak terlihat menutupi wilayah kekuasaannya. Ada alasan mengapa Arya melakukan hal demikian. Ia yakin untuk mencari ayah dari bayi dalam rahim Nay tak akan memakan waktu sebentar. Sedangkan bisa saja ketika ia pergi, Sora akan kembali sewaktu-waktu. Di rumahnya sekarang tidak ada pejantan, semua pergi berpetualang. Hanya ada empat perempuan yang tak akan sanggup menahan kekuatan gelap milik ular hitam berumur ribuan tahun itu. “Setidaknya ini cukup untuk menahan kalau Sora kembali.” Menjelang senja terbit di kaki gunung, baru Arya selesai membuat perisai. Apabila man
Sora terbang menjauh dari kejaran Arya setelah ia berhasil menghantam lelaki itu dengan satu pukulan telak. Lelaki tersebut jatuh di satu tempat yang amat sangat jorok. Sebuah sungai yang penuh sampah, persis seperti isi kepalanya yang hanya memikirkan selangkangan saja. Lelaki ular hitam itu terbatuk. Darah tak berhenti mengucur dari bibir dan dadanya. Ia tak mudah mati, tapi untuk merasakan sakit juga tak kuat. “Harimau bangsat! Setelah aku sembuh akan aku buru anak dan istrimu,” ucapnya dengan wajah memerah dan batuk lagi. Luar biasa Arya melukainya dengan pedang sakti.Sora tak sadarkan diri ketika luka menganga di dadanya memanas dan sinar matahari menyengatkan kian menjadi. Suara jangkrik dan pergerakan tikus got membuat ular hitam itu terbangun. Meleleh air liurnya melihat tikus seukuran kucing. Lidah cabang tiganya melesat begitu panjang, menangkap, membelit sampai tikus mati karena patah tulagn dan berakhir dalam perutnya. Tak ada yang mengetahui keberadaan Sora, karena i
Mita sedang melukis sebuah pemandangan di pinggir hutan. Ada sembilan ekor harimau di sana dan satu orang manusia yaitu dirinya. Sembilan hewan itu merupakan anak dan suaminya. Tujuh sedang pergi merantau, dua menunggu di rumah. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara orang muntah yang amat menyakitkan. Lukisan Mita tergores. Ia paham sekali rasa perihnya seperti apa. Wanita berambut merah itu meletakkan kuas dan mendatangai Nay yang keadaannya tak lagi buruk seperti waktu pertama kali datang. “Raya, nggak apa-apa, jangan ditahan keluarin semuanya.” Mita menekan pundak Nay berkali-kali. Memang tidak ada apa pun yang keluar tapi, tetap saja sakit sekali. “Aku kenapa ya, Tante, sakit apa sebenarnya?” tanya Nay yang sudah seminggu di sana tapi Mita belum mau cerita sama sekali. “Terus kenapa aku dikurung di sini, aku mau pulang,” rengeknya hampir menangis. Nay kembali menjadi manusia biasa. “Memang kamu punya rumah, Raya?” tanya Mita balik. Nay pun menggeleng saja. Sora menyakitinya te
Seekor harimau berjalan di pinggiran Bukit Buas. Ia ingin masuk ke sana, tapi mengapa seolah-olah desa itu tanpa penjagaan sama sekali. Arya kemudian mengubah wujudnya menjadi manusia. Suami Mita itu kemudian melangkah memasuki gerbang desa. Terlihat orang desa menyapa dirinya dengan penuh senyuman. Arya bertanya di mana rumah penjaga dan penduduk menunjukkan ke arah rumah Andra yang banyak kebun bunga. “Astaga. Kenapa kepalaku tiba-tiba tidak bisa berpikir,” ucap Arya ketika sampai di depan rumah Andra. Bau harimau jantan dan seekor ular betina dengan jelas tercium. Pencariannya sia-sia saja. “Kenapa aku bisa lupa kalau Andra dulu tinggal di sini. Sial, buang-buang waktuku saja.” Arya melangkah memasuki hutan di Bukit Buas. Dalam wujud harimau ia lebih mudah berlarian lebih cepat. Tujuan sang pangeran yaitu menemukan Andra kembali. Sudah berapa lama ia menyia-nyiakan waktu, padahal yang dicari ada di depan matanya. *** Andra tertududuk lesu di gang sempit tempat orang-orang tak
Andra bermain bersama Lasya yang jarak usia dengannya cukup jauh. Adiknya yang berumur lima tahun itu juga sama seperti Agni. Sudah tumbuh tinggi walau belum seperti dirinya. Ana sendiri sibuk melukis momen yang entah kapan akan terulang kembali. Mengumpulkan semua anaknya yang hanya tiga orang itu sulit sekali. Andra juga sudah punya kehidupan sendiri. Sementara itu Bagus dan Arya memilih duduk dan menatap sesuatu. Entah masa depan atau masa lalu yang harus dirisaukan. “Andai semua ini tak terjadi, Andra tak akan pernah lahir ke dunia ini,” ucap Bagus. Ada sebongkah penyesalan mengapa ia dulu mudah terjerat dalam rayuan seorang manusia biasa, lalu jalan hidup mereka menjadi amat sangat rumit seperti benang kusut. “Berandai-andai tak akan ada gunanya. Yang harus dipikirkan adalah melatih anakmu untuk jadi lebih kuat. Sayangnya bukan aku orangnya,” jawab sang pangeran. Dua orang manusia harimau itu sama-sama mengembuskan asap cerutu yang dulu diperkenalkan oleh orang Belanda saat
Tiga orang lelaki sampai di padang rumput yang cukup luas, di mana beberapa anak harimau bermain. Tak lupa seekor harimau putih mengawasi mereka dan kini berjalan mendekat lalu berubah menjadi Pawana. Lasya sendiri bermain bersama Murti yang membawanya di atas kepala saat baru datang. Wanita yang jarak usianya hanya dua tahun dari Damar itu nampak senang bertemu dengan anak kecil lagi. “Siapa namamu?” tanya Murti sambil menelus kepala Lasya. Rambut keriting kecil-kecilnya menambah imut wajah anak Bagus. “Lasya,” jawab gadis itu. “Apa kemampuan istimewamu?” Murti mengetahui anak berdarah campuran tersebut mewarisi kemampuan seperti ayahnya. Hanya saja dari sisi yang berbeda. Lasya berlari agak jauh dan berdiri di depan pohon. Lalu ia tak terlihat sama sekali, alias warnanya sama persis seperti sesuatu yang ia tempeli. “Seperti bunglon, kemampuan langka.” Murti berdecak kagum. Begitulah cara Lasya ikut pergi berpetualang. Gadis kecil itu menempel di punggung Andra. Tubuhnya yang
“Nay, kamu kembali juga.” Andra bahagia melihat wanita yang ia cari ada di depannya. Saking tak bisa menahan diri, ia pun memelak erat dan mengecup wajah kekasih yang telah hilang selama beberapa hari. “Ih, perbuatan macam apa ini?” Nay mendorong tubuh Andra. “Nay, kamu kenapa. Kamu masih nggak ingat siapa aku?” tanya Andra yang diberi tahu bahwa ingatan Nay dihapuskan. “Nay, siapa Nay?” tanya wanita di depan Andra keheranan. “Kamu Nay, Kanaya, aku Andra, kita sudah tinggal bersama kurang lebih lima tahun, kita makan bersama, tidur bersama, bahkan katanya kamu sudah hamil, itu anak aku.” “Hei, sadar, aku tidak hamil, maksudku belum hamil.” Nay menepuk pipi Andra perlahan. “Jadi, Paman Arya berbohong?” “Arya siapa lagi? Jangan bilang kau bertemu pangeran yang sudah lama hilang. Begini, kurasa kepalamu terbentur pohon maka dari itu kau lupa ingatan …” Nay terus mengoceh dan Andra merasa ada yang berbeda dengan kekasihnya. Gaya bahasa perempuan pemetik bunga itu seperti Bagus.
Tentara Belanda dengan bedil itu sudah pergi. Maya dan Satya keluar dari persembunyian mereka. Wanita yang kulitnya kuning cenderun gelap melirik ke kiri dan kanan, lalu memastikan mereka benar-benar aman. “Sudah hilang mereka, Kang Mas,” ucap Satya. “Tahu, aku lihat sendiri dengan mataku.” Andra kesal, bukan oleh Nay. Tapi karena lemah dirinya yang bahkan tak bisa apa-apa. “Iya, maaf, bukan maksudku mengguruimu. Ayo kita cari ikan untuk makan hari ini.” Maya menarik suaminya yang agak malas melangkah. Tapi walau bagaimanapun menolak, ujian itu harus dilewati oleh Andra sendiri, atau Nay yang asli keburu dibunuh oleh Sora. Maya menunjuk sungai di mana biasanya ikan-ikan muncul. Melihat suaminya diam saja, Maya pun tak mau memaksa. Ia ingin turun, tapi saat itu juga lengannya ditarik oleh Satya. “Biar aku saja, kau duduk dan tunggu.” Andra membuka baju atasnya yang tak sempurna menutupi seluruh tubuh. “Nanti kalau ada yang datang, aku beri tahu. Pakai ini Kang Mas, buat tangkap