Tiga orang lelaki sampai di padang rumput yang cukup luas, di mana beberapa anak harimau bermain. Tak lupa seekor harimau putih mengawasi mereka dan kini berjalan mendekat lalu berubah menjadi Pawana. Lasya sendiri bermain bersama Murti yang membawanya di atas kepala saat baru datang. Wanita yang jarak usianya hanya dua tahun dari Damar itu nampak senang bertemu dengan anak kecil lagi. “Siapa namamu?” tanya Murti sambil menelus kepala Lasya. Rambut keriting kecil-kecilnya menambah imut wajah anak Bagus. “Lasya,” jawab gadis itu. “Apa kemampuan istimewamu?” Murti mengetahui anak berdarah campuran tersebut mewarisi kemampuan seperti ayahnya. Hanya saja dari sisi yang berbeda. Lasya berlari agak jauh dan berdiri di depan pohon. Lalu ia tak terlihat sama sekali, alias warnanya sama persis seperti sesuatu yang ia tempeli. “Seperti bunglon, kemampuan langka.” Murti berdecak kagum. Begitulah cara Lasya ikut pergi berpetualang. Gadis kecil itu menempel di punggung Andra. Tubuhnya yang
“Nay, kamu kembali juga.” Andra bahagia melihat wanita yang ia cari ada di depannya. Saking tak bisa menahan diri, ia pun memelak erat dan mengecup wajah kekasih yang telah hilang selama beberapa hari. “Ih, perbuatan macam apa ini?” Nay mendorong tubuh Andra. “Nay, kamu kenapa. Kamu masih nggak ingat siapa aku?” tanya Andra yang diberi tahu bahwa ingatan Nay dihapuskan. “Nay, siapa Nay?” tanya wanita di depan Andra keheranan. “Kamu Nay, Kanaya, aku Andra, kita sudah tinggal bersama kurang lebih lima tahun, kita makan bersama, tidur bersama, bahkan katanya kamu sudah hamil, itu anak aku.” “Hei, sadar, aku tidak hamil, maksudku belum hamil.” Nay menepuk pipi Andra perlahan. “Jadi, Paman Arya berbohong?” “Arya siapa lagi? Jangan bilang kau bertemu pangeran yang sudah lama hilang. Begini, kurasa kepalamu terbentur pohon maka dari itu kau lupa ingatan …” Nay terus mengoceh dan Andra merasa ada yang berbeda dengan kekasihnya. Gaya bahasa perempuan pemetik bunga itu seperti Bagus.
Tentara Belanda dengan bedil itu sudah pergi. Maya dan Satya keluar dari persembunyian mereka. Wanita yang kulitnya kuning cenderun gelap melirik ke kiri dan kanan, lalu memastikan mereka benar-benar aman. “Sudah hilang mereka, Kang Mas,” ucap Satya. “Tahu, aku lihat sendiri dengan mataku.” Andra kesal, bukan oleh Nay. Tapi karena lemah dirinya yang bahkan tak bisa apa-apa. “Iya, maaf, bukan maksudku mengguruimu. Ayo kita cari ikan untuk makan hari ini.” Maya menarik suaminya yang agak malas melangkah. Tapi walau bagaimanapun menolak, ujian itu harus dilewati oleh Andra sendiri, atau Nay yang asli keburu dibunuh oleh Sora. Maya menunjuk sungai di mana biasanya ikan-ikan muncul. Melihat suaminya diam saja, Maya pun tak mau memaksa. Ia ingin turun, tapi saat itu juga lengannya ditarik oleh Satya. “Biar aku saja, kau duduk dan tunggu.” Andra membuka baju atasnya yang tak sempurna menutupi seluruh tubuh. “Nanti kalau ada yang datang, aku beri tahu. Pakai ini Kang Mas, buat tangkap
Maya dan Andra berjalan sambil makan ubi jalar rebus menuju tempat di mana para lelaki yang masih sehat berkumpul. Manusia harimau yang kekuatannya tersegel sementara itu mengecap rasa dari umbi berwarna kuning pekat. “Manis juga, ya. Kukira rasanya getir.” “Seperti baru kali ini saja makan ubi jalar,” sahut Maya. Ya memang begitu adanya. Sayur, nasi, buah, umbi-umbian dari dulu Andra tak pernah memakannya. “Itu di sana bukan tempat berkumpulnya?” tunjuk Andra di mana ada sebuah kuda ditambatkan, juga beberapa lelaki seperti dirinya berdiri tegak. “Datang juga kau akhirnya. Kupikir kau pengecut seperti kata orang-orang.” Bagus melompat dari tunggangannya. Berita yang adipati itu dengar bahwa Satya merupakan pria pemalas, suka mabuk, dan kasar pada istri. “Iya, Tuan Adipati, aku datang memenuhi panggilanmu,” jawab Andra sambil memandang ayahnya begitu dalam. Bagus membawa keris, pedang, panah dan segala macam alat-alat yang dibutuhkan untuk melatih para lelaki. Sebab satu demi
Usia kandungan Nay sudah memasuki satu setengah bulan. Ya, waktu berjalan tanpa kenal apa pun masalah orang. Beruntung saja pemetik bunga itu berada di tengah—anggap saja orang—yang baik. Siluman ular yang kekuatannya sedang tersegel itu sudah diberi tahu bahwa ia tak tinggal di rumah manusia. Awal mulanya Nay tak percaya, tapi ketika melihat ada dua ekor harimau yang berkeliaran di dalam rumah, ia pun menerima semua ketetapan yang terjadi. “Jadi aku ini apa, Tante?” tanya kekasih Andra ketika Mita menyuguhkan sekerat daging setengah matang di piring untuknya. “Katanya kamu itu ular,” jawab Mita. “Katanya, kata siapa?” Nay mengerutkan kening. “Kata Andra.” “Andra siapa?” “Bapak bayi dalam kandungan kamu. Jangan ngerasa nggak pernah buat anak. Emang tiba-tiba aja gitu ada janin tumbuh. Dikira hamil bisa main tiup aja kali, ya.” Alana ketus lagi. Ia yang bisa melihat masa depan merasa bahaya tak lama lagi akan datang ke rumah. “Alan, udah donk, kan, dia lupa ingatan, lupa, lupa
Andra mengantar ayahnya yang terluka bahkan sampai masuk ke dalam puri tempat sang adipati tinggal. Terlihat penjaga hanya tinggal sedikit, mereka setia padat tuannya. Anak itu turun dan mengangkat ayahnya yang tak sadarkan diri. Saat menjadi manusia harimau ia tak merasakan berat meski harus mengangkat sebatang pohon hingga tercerabut sampai ke akar. Saat menjadi manusia, mengangkat ayahnya sendiri terasa sangat berat. Selain karena rasa kasihan melihat Bagus terluka, juga karena tak ada kekuatan berlebih. Seorang perempuan cantik keluar sambil menimang anaknya. Rambut itu digelung asal-asalan saja. Sekar tak sempat lagi mengurus kecantikan di tengah suasana peperangan yang tak pernah padam. “Terima kasih kau membawa suamiku pulang walau dalam keadaan terluka. Terima kasih karena tak meninggalkannya sendirian. Siapa namamu?” tanya Sekar. Andra tak langsung menjawab, ia menelisik istri pertama Bagus. Wajah itu memang tak sama dengan Ana, tapi panjang rambut, gestur, lekuk tubuh,
Andra benar-benar menjaga Maya. Tak ia biarkan istrinya mencari kayu bakar atau bahan makanan. Ia turun langsung sebagai seorang suami yang baik. “Andai sekarang aku bisa menghasilkan emas, aku akan membuatmu menjadi perempuan paling cantik di dunia ini,” ucap Andra sambil mengangkat kapak dan membelah kayu. Peluhnya bercucuran. “Oh, pandai sekali dia membual. Kang Mas belajar dari mana kata-kata itu. Meniru londo, ya? Aku dengar banyak perempuan yang pagi hari jadi babu dan malam jadi alas kasur mereka.” “Aku tak tahu, itu hanya muncul dari dalam hatiku saja, Maya.” “Perubahanmu membuatku ketar-ketir. Bisa saja saat kau pulang lalu membawa perempuan lain seperti dulu saat mabuk.” “Memang pernah?” tanya Andra yang tak tahu seperti apa kehidupan lelaki bernama Satya dulu.“Ya, pernah. Satu malam kau kembali dalam keadaan mabuk parah dan mengamuk, paginya bangun langsung berubah. Kupikir Kang Mas kesurupan, tapi ternyata tidak.” “Maaf, kalau aku dulu kasar padamu. Mungkin aku seri
Rombongan adipati datang terlambat di desa tempat tinggal Maya. Sampai di sana rumah penduduk yang tak permanen serta atapnya terbuat dari dedaunan kering telah hangus terbakar. Andra melompat turun dari kudanya. Yang ia khawatirkan adalah keadaan Maya yang katanya berbadan dua. “Periksa tempat ini dan selamatkan yang masih hidup!” titah sang adipati kemudian ia pun turun dari kudanya. Lelaki yang rambutnya diikat rapi itu kemudian menyusul Andra yang berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Suasana di desa tidak ada ratapan tangis sama sekali karena semuanya mati, melainkan penuh kengerian dan amat mencekam. “Pasti ulah nyai tabib,” ucap Bagus ketika kakinya tak sengaja menginjak kayu kering, dan setelah ia singkirkan, benda itu bukan kayu, melainkan kaki manusia yang belum terbakar sempurna. Adipati kemudian menyingkirkan dan mengumpulkan semua menjadi satu. Tidak akan ada upacara pelepasan mayat, tidak ada air suci atau apa pun karena pemuka agama pun mati dibantai. Perang tak