Maya dan Andra berjalan sambil makan ubi jalar rebus menuju tempat di mana para lelaki yang masih sehat berkumpul. Manusia harimau yang kekuatannya tersegel sementara itu mengecap rasa dari umbi berwarna kuning pekat. “Manis juga, ya. Kukira rasanya getir.” “Seperti baru kali ini saja makan ubi jalar,” sahut Maya. Ya memang begitu adanya. Sayur, nasi, buah, umbi-umbian dari dulu Andra tak pernah memakannya. “Itu di sana bukan tempat berkumpulnya?” tunjuk Andra di mana ada sebuah kuda ditambatkan, juga beberapa lelaki seperti dirinya berdiri tegak. “Datang juga kau akhirnya. Kupikir kau pengecut seperti kata orang-orang.” Bagus melompat dari tunggangannya. Berita yang adipati itu dengar bahwa Satya merupakan pria pemalas, suka mabuk, dan kasar pada istri. “Iya, Tuan Adipati, aku datang memenuhi panggilanmu,” jawab Andra sambil memandang ayahnya begitu dalam. Bagus membawa keris, pedang, panah dan segala macam alat-alat yang dibutuhkan untuk melatih para lelaki. Sebab satu demi
Usia kandungan Nay sudah memasuki satu setengah bulan. Ya, waktu berjalan tanpa kenal apa pun masalah orang. Beruntung saja pemetik bunga itu berada di tengah—anggap saja orang—yang baik. Siluman ular yang kekuatannya sedang tersegel itu sudah diberi tahu bahwa ia tak tinggal di rumah manusia. Awal mulanya Nay tak percaya, tapi ketika melihat ada dua ekor harimau yang berkeliaran di dalam rumah, ia pun menerima semua ketetapan yang terjadi. “Jadi aku ini apa, Tante?” tanya kekasih Andra ketika Mita menyuguhkan sekerat daging setengah matang di piring untuknya. “Katanya kamu itu ular,” jawab Mita. “Katanya, kata siapa?” Nay mengerutkan kening. “Kata Andra.” “Andra siapa?” “Bapak bayi dalam kandungan kamu. Jangan ngerasa nggak pernah buat anak. Emang tiba-tiba aja gitu ada janin tumbuh. Dikira hamil bisa main tiup aja kali, ya.” Alana ketus lagi. Ia yang bisa melihat masa depan merasa bahaya tak lama lagi akan datang ke rumah. “Alan, udah donk, kan, dia lupa ingatan, lupa, lupa
Andra mengantar ayahnya yang terluka bahkan sampai masuk ke dalam puri tempat sang adipati tinggal. Terlihat penjaga hanya tinggal sedikit, mereka setia padat tuannya. Anak itu turun dan mengangkat ayahnya yang tak sadarkan diri. Saat menjadi manusia harimau ia tak merasakan berat meski harus mengangkat sebatang pohon hingga tercerabut sampai ke akar. Saat menjadi manusia, mengangkat ayahnya sendiri terasa sangat berat. Selain karena rasa kasihan melihat Bagus terluka, juga karena tak ada kekuatan berlebih. Seorang perempuan cantik keluar sambil menimang anaknya. Rambut itu digelung asal-asalan saja. Sekar tak sempat lagi mengurus kecantikan di tengah suasana peperangan yang tak pernah padam. “Terima kasih kau membawa suamiku pulang walau dalam keadaan terluka. Terima kasih karena tak meninggalkannya sendirian. Siapa namamu?” tanya Sekar. Andra tak langsung menjawab, ia menelisik istri pertama Bagus. Wajah itu memang tak sama dengan Ana, tapi panjang rambut, gestur, lekuk tubuh,
Andra benar-benar menjaga Maya. Tak ia biarkan istrinya mencari kayu bakar atau bahan makanan. Ia turun langsung sebagai seorang suami yang baik. “Andai sekarang aku bisa menghasilkan emas, aku akan membuatmu menjadi perempuan paling cantik di dunia ini,” ucap Andra sambil mengangkat kapak dan membelah kayu. Peluhnya bercucuran. “Oh, pandai sekali dia membual. Kang Mas belajar dari mana kata-kata itu. Meniru londo, ya? Aku dengar banyak perempuan yang pagi hari jadi babu dan malam jadi alas kasur mereka.” “Aku tak tahu, itu hanya muncul dari dalam hatiku saja, Maya.” “Perubahanmu membuatku ketar-ketir. Bisa saja saat kau pulang lalu membawa perempuan lain seperti dulu saat mabuk.” “Memang pernah?” tanya Andra yang tak tahu seperti apa kehidupan lelaki bernama Satya dulu.“Ya, pernah. Satu malam kau kembali dalam keadaan mabuk parah dan mengamuk, paginya bangun langsung berubah. Kupikir Kang Mas kesurupan, tapi ternyata tidak.” “Maaf, kalau aku dulu kasar padamu. Mungkin aku seri
Rombongan adipati datang terlambat di desa tempat tinggal Maya. Sampai di sana rumah penduduk yang tak permanen serta atapnya terbuat dari dedaunan kering telah hangus terbakar. Andra melompat turun dari kudanya. Yang ia khawatirkan adalah keadaan Maya yang katanya berbadan dua. “Periksa tempat ini dan selamatkan yang masih hidup!” titah sang adipati kemudian ia pun turun dari kudanya. Lelaki yang rambutnya diikat rapi itu kemudian menyusul Andra yang berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Suasana di desa tidak ada ratapan tangis sama sekali karena semuanya mati, melainkan penuh kengerian dan amat mencekam. “Pasti ulah nyai tabib,” ucap Bagus ketika kakinya tak sengaja menginjak kayu kering, dan setelah ia singkirkan, benda itu bukan kayu, melainkan kaki manusia yang belum terbakar sempurna. Adipati kemudian menyingkirkan dan mengumpulkan semua menjadi satu. Tidak akan ada upacara pelepasan mayat, tidak ada air suci atau apa pun karena pemuka agama pun mati dibantai. Perang tak
Maya yang kini telah menjadi hantu menyerang siapa saja yang ada di hadapannya. Tentu paling banyak para londo, karena sebelum mati merekalah yang paling terakhir ia lihat. Hantu ciptaan nyai tabib teramat sangat ganas. Londo yang berhasil ia bawa terbang ditancapkan pada sebatang dahan yang telah dipatahkan dan meruncing di bagian ujung. Jelas penjajah itu mati mengenaskan. Kemudian tentara yang ada mengarahkan meriam ke arahnya. Maya terbang dan melintasi puri. Jelas saja tembakan api itu menyasar rumah sang adipati di mana istri dan anaknya sedang berlindung. Tidak, lebih tepatnya Sekar telah menjadi santapan londo juga. Maya terbang lagi dan menyambar londo yang menembaknya beberapa kali. Hantu perempuan itu membawa tangkapannya ke langit dan lehernya ia gigit dengan dua taring tajam hingga berlubang. Pada saat yang sama darah itu dihisap oleh Maya. Mayat tidak sendirian, melainkan banyak hantu lain yang ikut terbang. Kuku-kuku panjang hantu itu menembus tubuh semua yang ada d
Bagus berlari ketika sebentar lagi ia akan sampai ke rumahnya yang diberi perisai. Namun, langkah lelaki bermata kuning itu terhenti sejenak. Lehernya tergores sendiri dan darah mengucur deras dari sana. “Ana.” Kemudian harimau berwujud manusia itu lari lagi. Ketika ia terluka, Ana merasakan hal yang sama. Demikian juga sebaliknya. Semacam kutukan abadi yang diberikan oleh Damar untuknya. Bedanya Ana tidak bisa menyembuhkan diri. Semakin kencang ayah tiga orang anak itu berlari. Tak lama setelah itu ia sampai di rumah bagian belakang. Hal pertama yang ia temukan yaitu Ana terbaring di lantai dengan leher disayat pisau dapur. Lelaki berambut sebahu itu tak sempat bersedih. Hal pertama yang bisa ia lakukan membawa Ana ke ranjang, kemudian mengambil beberapa perlengkapan medis. Tangan manusia harimau itu dengan cekatan menutup dan menjahit luka di leher yang begitu dalam. Apa alasan Ana? Mungkinkah ia bunuh diri. Luka di leher Ana telah tertutup rapat. Setidaknya mereka berdua aka
“Nay, kamu mau ke mana?” Tepat waktu Mita menyusul pemetik bunga itu agar tak keluar dari perisai buatan Arya. “Mau cari makan,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalau cuman daging, di rumah ada, kok, yuk, naik ke atas, di sini bahaya kalau kamu sendirian. Nggak baik.” Mita menarik perlahan tangan Nay. Wanita itu menurut saja, padahal tadi dia melihat penampakan burung terbang. “Tapi aku lagi kepengen makan ayam sebenernya. Nggak tahu kenapa, udah tiga hari kepikiran, dialihkan pikiran juga nggak bisa. Aku nggak minta Tante nyariin, kok, aku cuman cerita aja.” “Iya, Tante ngerti, emang kalau ngidam, ya, gitu. Kalau nggak dapat kita bisa kepikiran terus.” “Tapi kan, Tante, normalnya orang hamil itu sembilan bulan, ya, ini, kok, perut Nay udah gede banget?” tanya Nay yang masih tak terima kenyataan. “Iyah, seperti kata Tante, kamu bukan manusia begitu juga dengan kami. Dibawa pun misalnya ke rumah sakit. Dokter mana yang sanggup periksa kamu. Terus malah kamu diburu sama wartawan penc