Bagus berlari ketika sebentar lagi ia akan sampai ke rumahnya yang diberi perisai. Namun, langkah lelaki bermata kuning itu terhenti sejenak. Lehernya tergores sendiri dan darah mengucur deras dari sana. “Ana.” Kemudian harimau berwujud manusia itu lari lagi. Ketika ia terluka, Ana merasakan hal yang sama. Demikian juga sebaliknya. Semacam kutukan abadi yang diberikan oleh Damar untuknya. Bedanya Ana tidak bisa menyembuhkan diri. Semakin kencang ayah tiga orang anak itu berlari. Tak lama setelah itu ia sampai di rumah bagian belakang. Hal pertama yang ia temukan yaitu Ana terbaring di lantai dengan leher disayat pisau dapur. Lelaki berambut sebahu itu tak sempat bersedih. Hal pertama yang bisa ia lakukan membawa Ana ke ranjang, kemudian mengambil beberapa perlengkapan medis. Tangan manusia harimau itu dengan cekatan menutup dan menjahit luka di leher yang begitu dalam. Apa alasan Ana? Mungkinkah ia bunuh diri. Luka di leher Ana telah tertutup rapat. Setidaknya mereka berdua aka
“Nay, kamu mau ke mana?” Tepat waktu Mita menyusul pemetik bunga itu agar tak keluar dari perisai buatan Arya. “Mau cari makan,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalau cuman daging, di rumah ada, kok, yuk, naik ke atas, di sini bahaya kalau kamu sendirian. Nggak baik.” Mita menarik perlahan tangan Nay. Wanita itu menurut saja, padahal tadi dia melihat penampakan burung terbang. “Tapi aku lagi kepengen makan ayam sebenernya. Nggak tahu kenapa, udah tiga hari kepikiran, dialihkan pikiran juga nggak bisa. Aku nggak minta Tante nyariin, kok, aku cuman cerita aja.” “Iya, Tante ngerti, emang kalau ngidam, ya, gitu. Kalau nggak dapat kita bisa kepikiran terus.” “Tapi kan, Tante, normalnya orang hamil itu sembilan bulan, ya, ini, kok, perut Nay udah gede banget?” tanya Nay yang masih tak terima kenyataan. “Iyah, seperti kata Tante, kamu bukan manusia begitu juga dengan kami. Dibawa pun misalnya ke rumah sakit. Dokter mana yang sanggup periksa kamu. Terus malah kamu diburu sama wartawan penc
Laba-laba itu kembali setelah memeram seekor ular selama tiga purnama. Ia pikir ular itu akan melunak daging dan hilang bisanya. Dengan delapan kaki berbisanya laba-laba tersebut mengoyak jaring putih. Namun, setelah dibuka, ular itu justru menegakkan kepalanya. Lidah cabang tiga dengan suara desis menjadi pertanda kalau Sora sangat lapar. “Terima kasih karena telah menolongku,” ucap Sora.Laba-laba itu diam, ia tahu ular adalah binatang licik dan mematikan meski ia sama beracunnya. Kemudian dengan kecepatan delapan kaki berbulunya, binatang tersebut merayap ke dinding dan mencoba lari dari sarangnya sendiri. Dipikirnya tadi laba-laba itu bisa makan lezat. Siapa sangka ia bisa saja berubah menjadi makanan bagi siluman ular itu. Nyatanya, Sora memanjangkan lidahnya yang bercabang tiga, ia tangkap laba-laba itu dan tarik sekuat mungkin meski delapan kaki itu juga memiliki perekat alami. Dinding gua menjadi saksi dua siluman saling bertahan antara ingin makan dan tetap ingin hidup
Dua taring Agni, Alana, serta Mita muncul secara tak terduga. Ketakutan, menjadi alasan terbesar. Nay bangun ketika suara gedoran di pintu mengganggu telinganya. Cakar di masing-masing tangan perempuan penghuni rumah Arya juga sama. Semuanya menyiagakan diri kecuali Kanaya. “Siapa?” tanya Nay sambil memegang perutnya. “Alana, Agni, bawa Nay keluar dari sini!” perintah Mita. Duar! Suara gedoran di pintu berubah menjadi tendangan. “Nggak!” Kompakan dua anak gadis itu menjawab. “Cepat pergi!” tekan Mita, tapi Alana dan Agni bergeming. Mereka tak mau meninggalkan mamanya sendirian. “Kalau harus terluka atau mati, kita rasakan sama-sama. Tiga lawan satu masih ada kemungkinan menang.” Karena takut sampai ke ubun-ubun, Alan tak bisa melihat siapa yang datang. Suara ketukan di depan pintu berubah menjadi gedoran. Tak lama kemudian tendangan pun didaratkan. Satu demi satu kayu yang dipaku dan dipasang oleh Agni terlepas. Bahkan bongkahannya mengenai dahi Mita. “Oh, god, please, setea
Sora berhasil menemukan jejak Kanaya lebih dekat. Ada sebuah gunung yang sangat sedikit ditinggali manusia biasa. Sisanya binatang buas dan manusia harimau saja. Sudah lama Pangeran Arya berkuasa di sana walau bukan seperti raja di zaman dahulu, tapi aroma harimau jantan tercium sangat kuat. “Akan aku lihat dengan jelas bagaimana kau mati di tanganku, bedebah!” Sora memandang dari jauh. Mata hitamnya menembus pepohonan, dahan, ranting, rumput, kawanan burung, dan terakhir ia beradu pandang dengan seorang wanita yang berdiri di depan jendela. “Maya, aku datang. Aku berjanji tak akan kasar lagi padamu,” ujarnya sambil menghirup aroma bunga Nay. Sora melanjutkan perjalanannya. Ia senang setiap kali melihat binatang takut dan bersembunyi darinya. Dari dulu manusia harimau baik sendiri atau berkelompoklah yang berani menantangnya. Ketika akan memasuki lebih dekat lagi rumah Mita dan anak-anaknya, tersengat kulit lelaki itu hingga terbakar dan bau hangus tercium. Perisai milik Arya me
Darah di dalam tubuh Nay memanas berkali-kali lipat hingga serupa api yang berkobar. Hal demikian berakibat pada kulitnya yang mengering mendadak. Cipratan air dari danau tak mampu meredam panas. Alhasil pemetik bunga itu berganti kulit secara spontan. “Agh!” gumam Nay sambil memegang perutnya. Cakar di dalam sana semakin menjadi-jadi dan jabang bayi mendesak ingin keluar. “Mama gimana ini, Nay mau melahirkan.” Agni panik, dia takut melihat seekor ular beracun di depannya. “Sekarang?” tanya Mita yang juga ikutan panik. “Kenapa harus sekarang, sih!” Alana tambah menjadi takutnya. “Aduh, ini harus gimana?” “Pergi sejauh mungkin kalian bisa!” Sadam memutar tulang lehernya dan menggenggam jemari hingga tulang belulangnya berbunyi. “Tapi, Sadam!” Mita takut anaknya kenapa-kenapa. “Ini urusan sesama jantan, pergi selamatkan diri, Ma.” Tak lama kemudian Sadam mengubah wujudnya menjadi seekor harimau besar. Suara aumannya membuat air di dalam danau bergetar. “Ayo cepet, lari, lari, l
Arya membuka matanya. Sudah hampir tiga purnama ia berada di dalam Hutan Larangan. Rindu keluarga sudah pasti. Tapi, memang Andra sebaiknya ia temani. “Apakah mereka baik-baik saja?” gumam Arya di atas pohon. Di sana ia kerap memandang langit dan bulan ketika rindu dengan keluarganya. Suasana Hutan Larangan sepi. Gurunya lebih sering menyendiri dari dulu. Guru yang ia sangka baik sekali, nyatanya berwajah dua. “Seharusnya latihan Andra sudah selesai. Apa yang dia kerjakan di dalam sana. Kalau dia tak juga kembali aku terpaksa pulang duluan.” Sang pangeran melompat dan memperhatikan rerumputan yang begitu luas. Di sana terakhir ia melihat anak sahabatnya. “Sebentar lagi dia juga akan selesai.” Pawana datang tiba-tiba. “Di mana anak itu?” “Di bagian terdalam Himalaya. Tidak pernah ada manusia yang sampai ke sana. Kalau ada ya sudah jadi bangkai dan dimakan.” “Aku penasaran dengan kekuatan jenis apa yang akan dia dapatkan.” “Tergantung kebutuhan. Yang ia butuhkan sekarang mengha
“Tolong, tolong, tolong, ini gimana?” Agni mendekati Nay. Panik anak kedelapan Arya. Ia memang bisa menyembuhkan orang sakit. Tapi berurusan dengan ibu hamil baru kali ini. “Tenang dulu, tenang jangan panik.” Mita datang mendekat. Basah baju Mita karena barusan tercebur ke dalam air. Dua orang perempuan beda generasi itu sebenarnya sama-sama bingung harus apa. Dulu saat Mita lahiran, yang membantunya ya Arya sendirian. “Alan, tolong mereka. Biar Mas yang jaga-jaga di sini.” Sadam, meski ia kalah dengan Sora, tapi ia tak mau menyerah. Pantang bagi pejantan sepertinya mengemis kemenangan dari musuh. Alana meragu, tapi terlihat Agni serta Mita kepayahan menangani Nay yang terus menggeliat karena kesakitan. Bersusah payah anak ketujuh Arya itu menghilangkan taring dan cakarnya. Ia pun mendekat. Sadam berjaga di baris depan, sama seperti fungsinya saat menjadi tentara dalam kehidupan manusia. Sora menegakkan kepala dan membuka mulutnya lebar-lebar. Si sulung kembali mengubah wujud me