Darah di dalam tubuh Nay memanas berkali-kali lipat hingga serupa api yang berkobar. Hal demikian berakibat pada kulitnya yang mengering mendadak. Cipratan air dari danau tak mampu meredam panas. Alhasil pemetik bunga itu berganti kulit secara spontan. “Agh!” gumam Nay sambil memegang perutnya. Cakar di dalam sana semakin menjadi-jadi dan jabang bayi mendesak ingin keluar. “Mama gimana ini, Nay mau melahirkan.” Agni panik, dia takut melihat seekor ular beracun di depannya. “Sekarang?” tanya Mita yang juga ikutan panik. “Kenapa harus sekarang, sih!” Alana tambah menjadi takutnya. “Aduh, ini harus gimana?” “Pergi sejauh mungkin kalian bisa!” Sadam memutar tulang lehernya dan menggenggam jemari hingga tulang belulangnya berbunyi. “Tapi, Sadam!” Mita takut anaknya kenapa-kenapa. “Ini urusan sesama jantan, pergi selamatkan diri, Ma.” Tak lama kemudian Sadam mengubah wujudnya menjadi seekor harimau besar. Suara aumannya membuat air di dalam danau bergetar. “Ayo cepet, lari, lari, l
Arya membuka matanya. Sudah hampir tiga purnama ia berada di dalam Hutan Larangan. Rindu keluarga sudah pasti. Tapi, memang Andra sebaiknya ia temani. “Apakah mereka baik-baik saja?” gumam Arya di atas pohon. Di sana ia kerap memandang langit dan bulan ketika rindu dengan keluarganya. Suasana Hutan Larangan sepi. Gurunya lebih sering menyendiri dari dulu. Guru yang ia sangka baik sekali, nyatanya berwajah dua. “Seharusnya latihan Andra sudah selesai. Apa yang dia kerjakan di dalam sana. Kalau dia tak juga kembali aku terpaksa pulang duluan.” Sang pangeran melompat dan memperhatikan rerumputan yang begitu luas. Di sana terakhir ia melihat anak sahabatnya. “Sebentar lagi dia juga akan selesai.” Pawana datang tiba-tiba. “Di mana anak itu?” “Di bagian terdalam Himalaya. Tidak pernah ada manusia yang sampai ke sana. Kalau ada ya sudah jadi bangkai dan dimakan.” “Aku penasaran dengan kekuatan jenis apa yang akan dia dapatkan.” “Tergantung kebutuhan. Yang ia butuhkan sekarang mengha
“Tolong, tolong, tolong, ini gimana?” Agni mendekati Nay. Panik anak kedelapan Arya. Ia memang bisa menyembuhkan orang sakit. Tapi berurusan dengan ibu hamil baru kali ini. “Tenang dulu, tenang jangan panik.” Mita datang mendekat. Basah baju Mita karena barusan tercebur ke dalam air. Dua orang perempuan beda generasi itu sebenarnya sama-sama bingung harus apa. Dulu saat Mita lahiran, yang membantunya ya Arya sendirian. “Alan, tolong mereka. Biar Mas yang jaga-jaga di sini.” Sadam, meski ia kalah dengan Sora, tapi ia tak mau menyerah. Pantang bagi pejantan sepertinya mengemis kemenangan dari musuh. Alana meragu, tapi terlihat Agni serta Mita kepayahan menangani Nay yang terus menggeliat karena kesakitan. Bersusah payah anak ketujuh Arya itu menghilangkan taring dan cakarnya. Ia pun mendekat. Sadam berjaga di baris depan, sama seperti fungsinya saat menjadi tentara dalam kehidupan manusia. Sora menegakkan kepala dan membuka mulutnya lebar-lebar. Si sulung kembali mengubah wujud me
Mita membawa Nay berbaring di atas lantai kayu rumah mereka. Selanjutnya ia menyerahkan semuanya pada Agni. Ia sendiri mempersiapkan air hangat, kain bersih, dan baju bayi yang anggap saja diperlukan. Untung saja semua benda itu disimpan dalam plastik bening dan tak basah dihantam air. “Mah, tolongin, ini gimana?” Agni panik dibuatnya. “Kalau kamu nggak tahu, apalagi Mama. Tapi dulu Mama nggak sampai dirobek gini perutnya.” Mita menelan ludah melihat jemari bayi dalam perut Nay keluar lebih cepat. Hingga dua harimau betina itu tak tahu harus melakukan apa. Mita memegang handuk bersih dan Agni hanya diam saja. Ditolong juga terlambat, dibiarkan saja tidak mungkin. Robekan di perut Nay semakin menjadi dan membesar. Darah yang mengalir tak lagi berwarna merah, melainkan campuran tujuh warna yang membuat keduanya keheranan. “Ada, ya, darah kayak gini,” ucap Agni sambil menahan napas. Ia takut tergoda dengan darah segar. “Mama dulu pernah jumpa sama yang warnanya hitam dan baunya k
“Anakku hebat sekali, kecil-kecil sudah bisa mempengaruhi isi kepala orang.” Bagus kembali menutup dua mata Batari yang sangat berbahaya. Dia tahu tadi ada pertarungan dahsyat di atas gunung. Kalau dengan cara seperti itu saja Sora tak mati, maka ia memilih menggunakan Batari sebagai senjata terakhir. Bagus kemudian berjalan kaki sambil menggendong Batari. Ia tahu Andra, Nay, dan yang lain ada di sana. Namun, Ana ia tinggal sebentar sendirian. Ia memutuskan kembali dan masih bisa ke sana suatu hari nanti. “Jadi itu maksud kamu, nggak mungkin tentang Sora tadi?” Sadam dan Alan mengawasi Bagus dan Batari dari tadi. Mereka lihat bagaimana ular berumur ribuan tahun tak berdaya menatap mata seorang bayi. “Iya, gitu kurang lebihnya. Itu kemampuan berbahaya, bayangin kita mandang mata dia terus disuruh makan daging sendiri. Pantas matanya ditutup kain,” ucap Alan dari kejauhan. “Ya, gitu deh, hidup di dunia ini. Banyak yang aneh-aneh. Ayo kita balik ke rumah, mereka pasti udah di sana s
Ana bangun mendengar suara berisik di sebelahnya. Luka di leher telah mengering sepenuhnya. Hanya saja menyisakan bekas bahwa ia pernah terluka dua kali di sana. “Dari mana?” tanya Ana pada lelaki yang menggendong putrinya. “Wilayah kekuasaan Arya.” “Ngapain?” “Jalan-jalan dengan Batari.” “Kenapa aku nggak diajak?” “Ya, kau sedang tidur. Untuk apa diganggu.” “Padahal aku kangen dunia luar. Pengen ke sana sebentar. Rumah orang tuaku gimana, galeri lukisanku juga. Terus rumah di Bukit Buas, puluhan tahun aku di sana.” “Cucumu sudah lahir,” ucap Bagus yang paham kalau Ana rindu kehidupannya sebagai manusia biasa. “Anak Andra? Kapan hamilnya?” “Bukan Andra, tapi Nay.” “Iya, aku tahu, Gus, nggak mungkin anak kita yang hamil. Pasti hamilin anak orang, kan?” “Ya, terus masalahnya apa, Ana? Anak pertama kita sudah besar sekali. Aku saja tak pernah merawatnya dari dulu. Padahal dulu anak pertamaku juga lelaki yang hilang. Sepertinya takdirku tak baik kalau berurusan dengan anak le
Terlalu banyak bicara, Andra kemudian memasukkan sesendok lontong sayur dalam mulut Nay. Jelaslah ular itu memuntahkannya kembali. Dulu saat jadi manusia rasa makanan tersebut memang enak, tapi sekarang terasa getir seperti besi karatan. “Huuueeks!” Muntah-muntah pemetik bunga itu dibuatnya seperti saat hamil. Andra santai aja sambil makan sayur di depan matanya. Makanan di zaman modern sudah enak tidak seperti masa lalu yang ia datangi dan tinggal selama beberapa bulan. “Enak?” tanya Andra.“Enak matamu!” jawab Nay agak ketus. Rasa micin membuat lidahnya nyaris mati rasa. Ana mendengar keributan dua orang itu sampai tutup telinga. Tak berubah rasanya sejak lima tahun bertemu seperti itu saja. Sedangkan ia sekarang lebih banyak bersama cucunya, disambil melukis. Jika ada orang yang ia rindukan untuk betemu, jawabannya adalah Mita. Sudah lama sekali, terakhir berjumpa belasan tahun lalu dan semua hidup dengan jalannya masing-masing. “Jadi kangen waktu kita buka galeri sama-sama.
Seekor ular tujuh warna naik dari dalam telaga. Dengan ukuran tubuh sebesar dahan pohon dan panjang empat meter lebih, ia melata di sebuah batang pohon, membentuk lingkaran kemudian meletakkan kepaalanya dengan nyaman. Candramaya—begitu ia dipanggil atau tepatnya berganti nama setelah tujuh makhluk lain menghuni tubuh aslinya. Kepala ular tujuh warna itu tegak sempurna. Telinganya menangkap sesuatu. Bukan suara musuh atau sesuatu yang berbahaya, melainkan suara bualan dua orang makhluk yang sedang bergelut manja penuh cinta kasih. Andra dan Nay, begitulah sepasang kekasih itu membuat seekor ular menjadi iri luar biasa. Lidah cabang tujuhnya terulur. Biasanya Candra tak pernah memusingkan kisah cinta manusia biasa di sekitar desa yang ia dengar. Namun, kehadiran Nay memang cukup mengusik hatinya. “Bagaimana mungkin anak ingusan sepertimu bisa mendapatkan teman hidup begitu cepat. Padahal wajahku jauh lebih cantik daripada kau,” gumamnya setelah mengubah wujud menjadi manusia. Kali