Terlalu banyak bicara, Andra kemudian memasukkan sesendok lontong sayur dalam mulut Nay. Jelaslah ular itu memuntahkannya kembali. Dulu saat jadi manusia rasa makanan tersebut memang enak, tapi sekarang terasa getir seperti besi karatan. “Huuueeks!” Muntah-muntah pemetik bunga itu dibuatnya seperti saat hamil. Andra santai aja sambil makan sayur di depan matanya. Makanan di zaman modern sudah enak tidak seperti masa lalu yang ia datangi dan tinggal selama beberapa bulan. “Enak?” tanya Andra.“Enak matamu!” jawab Nay agak ketus. Rasa micin membuat lidahnya nyaris mati rasa. Ana mendengar keributan dua orang itu sampai tutup telinga. Tak berubah rasanya sejak lima tahun bertemu seperti itu saja. Sedangkan ia sekarang lebih banyak bersama cucunya, disambil melukis. Jika ada orang yang ia rindukan untuk betemu, jawabannya adalah Mita. Sudah lama sekali, terakhir berjumpa belasan tahun lalu dan semua hidup dengan jalannya masing-masing. “Jadi kangen waktu kita buka galeri sama-sama.
Seekor ular tujuh warna naik dari dalam telaga. Dengan ukuran tubuh sebesar dahan pohon dan panjang empat meter lebih, ia melata di sebuah batang pohon, membentuk lingkaran kemudian meletakkan kepaalanya dengan nyaman. Candramaya—begitu ia dipanggil atau tepatnya berganti nama setelah tujuh makhluk lain menghuni tubuh aslinya. Kepala ular tujuh warna itu tegak sempurna. Telinganya menangkap sesuatu. Bukan suara musuh atau sesuatu yang berbahaya, melainkan suara bualan dua orang makhluk yang sedang bergelut manja penuh cinta kasih. Andra dan Nay, begitulah sepasang kekasih itu membuat seekor ular menjadi iri luar biasa. Lidah cabang tujuhnya terulur. Biasanya Candra tak pernah memusingkan kisah cinta manusia biasa di sekitar desa yang ia dengar. Namun, kehadiran Nay memang cukup mengusik hatinya. “Bagaimana mungkin anak ingusan sepertimu bisa mendapatkan teman hidup begitu cepat. Padahal wajahku jauh lebih cantik daripada kau,” gumamnya setelah mengubah wujud menjadi manusia. Kali
Seekor harimau putih turun dari puncak bukit. Ia menuju telaga dan meminum air tempat di mana Candra tinggal. Sedikit licik, tapi begitulah tabiat ular. Candramaya melepaskan racunnya dari sisi dirinya yang berbeda. Racun itu tidak mematikan, melainkan bisa membuat pria mabuk kepayang dibuatnya. Damar yang selesai minum, memainkan air di dalam telaga dengan dua tangan berkuku tajam miliknya. Mata biru itu melihat seekor ular di dalam air jernih dan sedang tertidur.Sebenarnya jauh dari lubuk hati, ia turun karena penasaran mengapa Candra tak merendahkan diri lagi padanya. Ia tahu ular memang suka tempat dingin, tapi bukankah di atas bukit juga sama. Yang dinanti tak kunjung datang, yang ditunggu tak kunjung keluar. Harimau itu kembali berjalan ke puncak, dan duduk bermalas-malasan sesuai dengan tabiatnya. “Biarkan racunku bekerja sendiri di kepalamu, Tuan. Kau terlalu sulit untuk ditaklukkan. Kali ini biar aku main kasar sedikit,” gumam Candra yang baru saja keluar dari telaga. K
Tubuh Candra menggelepar di udara. Ia tak bisa menghirup napas bahkan lidah ularnya telah menjulur keluar. Rasanya mati lebih baik daripada jujur. Lalu ular betina itu memejamkan mata. Merasa kasihan, dan mempertimbangkan pengabdian sang penjaga telaga selama hampir ribuan tahun, Damar melepaskan cengkeraman tangannya. Ia menyesal, tapi salah Candra juga tak mau bicara. Terlalu banyak lidah ular itu berkelit. Wanita itu terjatuh di tanah dan tak sadarkan diri. Sang harimau putih menghela napas panjang. Ia angkat tubuh Candra dan membawanya jauh ke dalam hutan. Luka di punggung tertutup perlahan-lahan seiring dengan berjalannya waktu. Candra membuka kedua matanya dan melihat seorang lelaki berambut putih dan bermata biru menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Kau baik-baik saja?” tanya Damar. “Baik, lukaku sudah sembuh.” Candra berdiri. Hilang selera, begitu perasaannya sekarang, tapi tidak dengan rasa yang lain. Ia pun bingung dengan dirinya sendiri. “Kau mau ke mana?” “Pulang.”
Weni yang masih berusia belia—sekitar 17 tahun dan belum menikah, sedang memandang langit biru di mana pelangi turun dengan lengkungan yang amat sangat indah. Warna-warnanya membuat gadis itu terkesima. “Andai aku bisa secantik pelangi,” gumam Weni sambil termenung. Anak bungsu kepala desa itu hanya duduk termenung menanti lamaran datang padanya. Entah apa hal yang membuatnya tak laku juga, dan hampir menginjak usia perawan tua. “Padahal wajahnya tidak jelek-jelek amat. Apa gerangan yang membuat putriku tidak laku, ya?” Ayah Weni memegang dua pipi anaknya. Diperhatikan, tidak ada cacat sama sekali. Bahkan lelaki itu telah menyodorkan putrinya pada yang lain, tapi tidak ada yang menggubris. “Mungkin dia harus diruwat dulu untuk buang sial, Kang Mas,” jawab ibunya Weni. “Lakukan saja, kalau masih tidak laku juga terpaksa aku harus membuat sayembara. Terserah lelaki mana saja yang mau jadi suaminya. Bikin malu saja.” Kepala desa itu mempercayakan Weni pada istrinya. Segera saja ga
Berangkatlah Damar memacu kudanya lebih kencang menuju desa yang dimaksud orang-orang tadi. Agak dua hari dua malam ia baru sampai di bagian hulu.Malam harinya orang kepercayaan demang itu beristirahat di pinggiran desa bersama kuda yang mengantarnya. Di pagi hari ia langsung menuju tempat sayembara diadakan. Orang-orang berkerumun, kebanyakan lelaki yang ingin menang cuma-cuma mendapatkan gadis belia yang kurang beruntung. “Seperti apa wajahnya?” Damar berdesakan di antara lelaki yang datang. Terlihat olehnya kepala desa mulai naik ke atas panggung mengumumkan jenis perlombaan. “Saudara-saudaraku semuanya, hari ini aku melakukan sayembara. Siapa pun yang berhasil memanah dengan tepat sasaran maka putriku akan menjadi miliknya,” ucap kepala desa sambil tertawa. Lepas sudah beban anak terakhirnya dan ia bisa hidup bebas lagi seperti dulu. Tak lama setelah itu seorang gadis dibawa dengan menggunakan penutup wajah. Weni tidak terlalu tinggi, tapi bentuk tubuhnya idaman para lelaki
Damar beristirahat di tepi sungai. Tak terkejar ia harus ke tengah pemukiman. Lelaki itu menghidupkan api unggun guna mencegah serangan binatang buas. “Paman, aku la—” Belum selesai Weni bicara, dia sudah diberikan perbekalan terlebih dahulu. Semakin besar rasa di dalam hati gadis tengil itu. Ia tersenyum malu-malu. Setelah kenyang makan, Weni merebahkan diri di dalam pedati. “Aku tak sabar menjadi selirnya. Namanya istri muda pasti selalu diperhatikan dari yang paling tua,” gumam gadis berkuling kuning langsat itu percaya diri. Damar tengah memijit bahunya yang nyeri. Lelah perjalanan mencari selir baru tuannya sampai kulitnya semakin gelap dan kapalan karena memegang kendali kuda. Malam semakin gelap. Nyamuk semakin besar yang datang, suara kodok terdengar memanggil hujan. Pedati berguncang karena ada penghuninya. Damar hanya bisa menghela napas menahan kantuk. Lalu ia pun jalan kaki sebentar ke arah sungai, untuk mencuci mukanya agar tak tertidur. Namun, rasa-rasanya Damar se
“Murti, Nduk, sepertinya aku ingin meminta tolong padamu.” Kinanti merasa pengobatan yang ia jalani sia-sia belaka. Tak ada harapan untuk sembuh. Batuknya semakin menyesakkan dada. “Mencarikan istri untuk Kanda Damar,” tebak gadis itu sambil menyantap kangkung rebus dicampur sambal. “Hmm, akhir-akhir ini aku tak bisa melayaninya. Aku tahu kau belum menikah ta—” “Aku paham apa yang kau rasakan. Yang jadi masalah, aku saja belum menikah, Kakak suruh aku carikan Kanda istri kedua lagi. Ya, lebih baik aku mencari jodohku saja.” Murti menyantap ikan bakar yang ada di depannya sampai habis. “Apa gerangan yang membuatmu sulit menemukan jodoh? Kau itu cantik, jangankan orang biasa, adipati saja mau meminangmu. Jangan terlalu pilih-pilih, Nduk, tak baik, ada yang mau dengan kita saja sudah syukur.” “Aku tak banyak memilih, aku hanya memilih dia.” Maksud gadis pendekar itu si Pawana. “Dianya mau tidak denganmu?” tanya Kinanti. Murti hanya menggeleng saja. Sulit mendekati Pawana. Sepertin