“Rum, mama ngerti apa yang kamu rasakan saat ini. Maafkan Arga, ya. Berikan kesempatan untuk putra kami untuk memperbaiki rumah tangga kalian. Menebus kesalahannya selama ini. Kasihan cucu Mama kalau dia lahir tanpa sosok ayah.”Aku terkejut dengan apa yang Mama ucapkan. Tidak bisa kupungkiri, hati ini merasa senang mendengarnya. Apalagi, melihat beliau berubah lebih menyayangi Arum setelah istriku itu dikabarkan hamil. Ini memberikan angin segar ke dalam rumah tangga kami.Tidak ada jawaban apa pun dari Arum. Dia hanya diam membisu di tempat. “Ma, jangan paksa Arum. Mama tahu, kan? Apa kesalahan putra kita saat ini.” Ucapan Papa membuat Arum yang sedari tadi menunduk sambil Memilin ujung hijab miliknya kembali mendongak. Memandang dengan raut wajah penuh pertanyaan.Apa sebenarnya yang ada di dalam hati istriku? Namun, Mama terus saja mencoba membujuk Arum, meski tak ada jawaban apa pun darinya. Sampai, ucapan istriku membuat semua orang tercengang.“Aku sangat terharu Mama sekarang
Hingga semalaman, kuputuskan untuk mempertahankan Arum dan melepaskan Erika. Meski ada rasa tak rela meninggalkan istri mudaku itu. Dia masih wanita yang kucintai selain Arum.Pagi harinya saat sarapan, kucoba untuk berbicara pada Arum. Mengatakan keputusanku kali ini.“Sayang, ada hal yang mau Mas katakan,” Arum mendongak memandangku. Tatapan kami terkunci. Meski tanpa bicara dia tetap mendengarkan.“Mas sudah memikirkan segalanya. Dan memilih mempertahankan rumah tangga kita. Mas mau kita seperti dulu lagi,” ucapku mantap. Saat memandang wajah Arum, dia tersenyum samar. Akan tetapi, bukan senyuman yang biasa. Seolah dia tak percaya dengan ucapanku.“Mas yakin? Mas pikir semuanya akan kembali seperti semula?” Pertanyaan Arum seolah meremehkan tanpa rasa percaya.“Itu yang Mas harapkan.” Membuatnya menghela napas kasar, seolah merasa berat saat dia akan menjawabnya.“Baik, akan kuberikan kesempatan kalau memang itu sudah keputusan Mas Arga. Ini yang terakhir kalinya, bila Mas melangga
POV Arum.Aku merenung di sudut kamar, memikirkan keputusan yang kuberikan kepada Mas Arga. Apa yang kulakukan sudah tepat dengan memberinya kesempatan kedua? Lantas, benarkah suamiku itu akan rela melepaskan istri mudanya hanya untuk kembali bersamaku?Kupandangi langit malam ini yang terlihat gelap, tidak ada sinar rembulan ataupun bintang yang gemerlapan seperti biasanya. Hanya kegelapan yang dapat tertangkap oleh netra. Suara angin berembus menggoyangkan dedaunan di luar sana. Rintik hujan membasahi malam kota Solo ini.Semalaman ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak, menunggu janji Mas Arga yang akan memberi kabar jika sudah sampai di Jakarta. Namun, sudah hampir tengah malam, suamiku sama sekali belum menghubungi. Mungkinkah dia sedang bersama dengan istri mudanya itu? Melepaskan rindu seperti sebelumnya? Untunglah, Arum yang sekarang bukan yang dulu lagi. Diri ini sudah siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari Mas Arga.Tiba-tiba perasaan ragu bergelayut semakin berat d
Ah! Mengapa hati ini selalu dipenuhi rasa curiga kepada Mas Arga? Semoga saja kali ini dia takkan pernah menyia-nyiakan kesempatan dariku lagi.Tidak! Sekarang suamiku tidak pernah pulang larut atau terlambat kalau bukan karena ada panggilan darurat. Pun, tak pernah kulihat bermain ponsel seperti yang selalu dilakukannya dulu. Dia ada di rumah menemaniku seperti biasa. Bahkan, untuk menyiapkan segala keperluanku, dia yang atur termasuk makanan. Memiliki suami seorang dokter memang begini rasanya. Selalu sangat protektif dalam memilih apa saja yang akan kukomsumsi.Hubungan dengan mertua pun semakin hari kian membaik. Mama menerimaku, apalagi setelah mengetahui jika aku akan memberikan mereka cucu laki-laki. Ya, aku dan Mas Arga memang sudah mengetahui jenis kelamin janin yang kukandung. Beberapa hari yang lalu kami memeriksakan kondisi kehamilanku di Rumah Sakit. Saat ini aku merasakan hidup yang begitu sempurna.Malam Minggu, akan diadakan pengajian untuk syukuran tujuh bulan keh
“Mas ... nakal,” ucap seorang wanita di seberang sana. Apa ini? Kenapa ada suara wanita? Sedang di mana Mas Arga sekarang? Ah mungkin saja itu suara pasiennya atau siapa. Tadi, kan, suamiku bicara kalau ada pasien darurat.Terdengar suara wanita tertawa cekikikan selanjutnya suara pria yang kukenali. Dadaku mulai sesak. Hati ini semakin gelisah tak menentu. Berulang kali aku mencoba menormalkan detak jantung yang sudah mulai tidak berirama.Tidak! Mungkin aku salah dengar. Itu bukan dia. Suara pria itu bukan suamiku.“Mas Arga ....” wanita itu terdengar memekik tidak tahu karena apa. “Erika jangan menghindar, Sayang.” Apa? Erika? Mas Arga? Apa-apaan ini? Apa maksud semua yang kudengar? Selanjutnya terdengar suara des*han. Dadaku bergemuruh menahan sesak di dada. Bagai ada palu yang menghancurkan kaca di hati ini seketika. Tak sadar ponsel yang kupegang terjatuh. Aku hanya mematung tak percaya dengan yang terjadi barusan.Permainan apa ini? Peran apa yang sudah Mas Arga mainkan? Tega
Kuparkirkan mobil di teras rumah. Ternyata sudah ada Mama dan Papa di dalam, itu dapat kulihat karena mobil milik mereka sudah di depan. Akan tetapi, kenapa suasananya sepi? Bukankah kami telah mengundang para saudara untuk hadir dalam acara tujuh bulanan ini? Kulihat jam di tangan, aku belum terlambat. Ini masih jam enam sore lewat sepuluh menit. Sedangkan acaranya akan berlangsung selepas isya. Tiba-tiba hati ini mendadak tak tenang. Ada apa sebenarnya?“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam dan langsung dijawab oleh Papa. Dia memandangku tajam. Entah ada apa sebenarnya ini?“Dari mana kamu baru pulang jam segini?” tanya Papa membuatku mengerutkan dahi. “Apa Arum enggak ngasih tahu, Pa? Kalau aku tadi ada pasien dadakan,” jelasku. Namun, Papa hanya mendengus mendengar ucapan dariku. “Kenapa sepi sekali rumah ini, Pa? Ke mana semua orang? Apa belum ada yang datang kemari? Sementara acara segera dimulai.” Aku memang merasa heran dari tadi tidak terlihat siapa pun selain Papa dan
“Enggak ada lagi yang harus Mas Arga jelaskan. Sudah cukup! Sampai kapan Mas Arga akan menyakitiku seperti ini? Tak cukupkah selama ini telah kuberikan kesempatan kedua kali? Aku sudah menerima kesalahan Mas Arga dan memaafkannya. Tapi, untuk sekarang tidak sama sekali. Jadi, kumohon lepaskan aku, Mas.”Aku menggeleng tak setuju. “Jangan bicara seperti itu, Sayang. Mas enggak mau kita pisah. Kumohon maafkan Mas sekali lagi.”“Cintamu palsu, Mas! Aku takbisa lagi bertahan kali ini. Kumohon dengan sangat, Mas Arga untuk menceraikanku.” Berulang kali kulihat Arum mengusap air matanya yang terus saja mengalir tanpa henti.Aku bersimpuh di hadapannya, memohon maaf yang mungkin saja akan sulit kudapat kali ini.“Mas mohon jangan minta pisah, Sayang ....” Aku mendongak memandang wajahnya. Sesegera mungkin dia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Jika, Mas Arga tidak menalakku sekarang, biarkan aku pergi dari sini detik ini juga,” desisnya memberikan ancaman.“Jangan! Mau pergi ke mana kamu
Dengan gemuruh di dalam dada segera kuambil kunci mobil di kamar, pergi dari rumah dengan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Aku ingin segera sampai dan memarahi Erika yang telah dengan lancang berbuat seenaknya.Sekarang hidupku hancur. Gara-gara Erika aku terpaksa mengikuti rencana konyolnya, dan kini Arum pergi pasti ulah dari istri mudaku itu. Aku memang sengaja menyewa rumah untuknya tak jauh dari rumahku bersama Arum, membuatku tak membutuhkan waktu lama agar bisa sampai.Kuparkirkan mobil di pinggir jalan depan rumah yang ditempati Erika. Saat turun dan membuka gerbang dahiku mengernyit kala sebuah motor terparkir di teras rumah. Apa ada seseorang yang bertamu? Siapa yang datang malam-malam begini?Namun, yang membuatku heran sepertinya ini bukan milik wanita. Bahkan, helmnya pun khusus untuk laki-laki. Dengan langkah tergesa, aku segera masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Kucari istri mudaku itu, tetapi tak ada siapa pun di ruang tamu atau dapur. Lalu,