“Mas ... nakal,” ucap seorang wanita di seberang sana. Apa ini? Kenapa ada suara wanita? Sedang di mana Mas Arga sekarang? Ah mungkin saja itu suara pasiennya atau siapa. Tadi, kan, suamiku bicara kalau ada pasien darurat.Terdengar suara wanita tertawa cekikikan selanjutnya suara pria yang kukenali. Dadaku mulai sesak. Hati ini semakin gelisah tak menentu. Berulang kali aku mencoba menormalkan detak jantung yang sudah mulai tidak berirama.Tidak! Mungkin aku salah dengar. Itu bukan dia. Suara pria itu bukan suamiku.“Mas Arga ....” wanita itu terdengar memekik tidak tahu karena apa. “Erika jangan menghindar, Sayang.” Apa? Erika? Mas Arga? Apa-apaan ini? Apa maksud semua yang kudengar? Selanjutnya terdengar suara des*han. Dadaku bergemuruh menahan sesak di dada. Bagai ada palu yang menghancurkan kaca di hati ini seketika. Tak sadar ponsel yang kupegang terjatuh. Aku hanya mematung tak percaya dengan yang terjadi barusan.Permainan apa ini? Peran apa yang sudah Mas Arga mainkan? Tega
Kuparkirkan mobil di teras rumah. Ternyata sudah ada Mama dan Papa di dalam, itu dapat kulihat karena mobil milik mereka sudah di depan. Akan tetapi, kenapa suasananya sepi? Bukankah kami telah mengundang para saudara untuk hadir dalam acara tujuh bulanan ini? Kulihat jam di tangan, aku belum terlambat. Ini masih jam enam sore lewat sepuluh menit. Sedangkan acaranya akan berlangsung selepas isya. Tiba-tiba hati ini mendadak tak tenang. Ada apa sebenarnya?“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam dan langsung dijawab oleh Papa. Dia memandangku tajam. Entah ada apa sebenarnya ini?“Dari mana kamu baru pulang jam segini?” tanya Papa membuatku mengerutkan dahi. “Apa Arum enggak ngasih tahu, Pa? Kalau aku tadi ada pasien dadakan,” jelasku. Namun, Papa hanya mendengus mendengar ucapan dariku. “Kenapa sepi sekali rumah ini, Pa? Ke mana semua orang? Apa belum ada yang datang kemari? Sementara acara segera dimulai.” Aku memang merasa heran dari tadi tidak terlihat siapa pun selain Papa dan
“Enggak ada lagi yang harus Mas Arga jelaskan. Sudah cukup! Sampai kapan Mas Arga akan menyakitiku seperti ini? Tak cukupkah selama ini telah kuberikan kesempatan kedua kali? Aku sudah menerima kesalahan Mas Arga dan memaafkannya. Tapi, untuk sekarang tidak sama sekali. Jadi, kumohon lepaskan aku, Mas.”Aku menggeleng tak setuju. “Jangan bicara seperti itu, Sayang. Mas enggak mau kita pisah. Kumohon maafkan Mas sekali lagi.”“Cintamu palsu, Mas! Aku takbisa lagi bertahan kali ini. Kumohon dengan sangat, Mas Arga untuk menceraikanku.” Berulang kali kulihat Arum mengusap air matanya yang terus saja mengalir tanpa henti.Aku bersimpuh di hadapannya, memohon maaf yang mungkin saja akan sulit kudapat kali ini.“Mas mohon jangan minta pisah, Sayang ....” Aku mendongak memandang wajahnya. Sesegera mungkin dia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Jika, Mas Arga tidak menalakku sekarang, biarkan aku pergi dari sini detik ini juga,” desisnya memberikan ancaman.“Jangan! Mau pergi ke mana kamu
Dengan gemuruh di dalam dada segera kuambil kunci mobil di kamar, pergi dari rumah dengan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Aku ingin segera sampai dan memarahi Erika yang telah dengan lancang berbuat seenaknya.Sekarang hidupku hancur. Gara-gara Erika aku terpaksa mengikuti rencana konyolnya, dan kini Arum pergi pasti ulah dari istri mudaku itu. Aku memang sengaja menyewa rumah untuknya tak jauh dari rumahku bersama Arum, membuatku tak membutuhkan waktu lama agar bisa sampai.Kuparkirkan mobil di pinggir jalan depan rumah yang ditempati Erika. Saat turun dan membuka gerbang dahiku mengernyit kala sebuah motor terparkir di teras rumah. Apa ada seseorang yang bertamu? Siapa yang datang malam-malam begini?Namun, yang membuatku heran sepertinya ini bukan milik wanita. Bahkan, helmnya pun khusus untuk laki-laki. Dengan langkah tergesa, aku segera masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Kucari istri mudaku itu, tetapi tak ada siapa pun di ruang tamu atau dapur. Lalu,
“Mas, cukup!” Erika mencegahku saat aku kembali akan menghampiri pria itu.“Kenapa? Masih ingin membelanya?” Aku menoleh kepada pria tersebut sambil menatap nyalang. “Dan kamu! Pergi dari sini atau kupanggilkan satpam. Kalau perlu akan kulaporkan kau ke polisi.” Pria itu tidak berkutik saat kuberikan ancaman. Dengan tergesa dia memakai pakaiannya dan pergi dengan wajah ketakutan. Kulihat Erika memandang pria itu dengan wajah penyesalan.“Sejak kapan kalian berselingkuh?” tanyaku mencoba meredam emosi. Aku masih waras untuk melakukan sesuatu yang tak diinginkan kepada istri keduaku ini.“Mas, aku minta maaf. Aku khilaf, Mas,” mohon Erika. Namun, aku tidak bergeming.Ucapan Erika membuatku tertawa. Khilaf? Setelah berbulan-bulan berselingkuh di belakangku dia bilang khilaf? Bahkan, mungkin uang yang kuberikan setiap minggunya dipakai untuk menyenangkan selingkuhannya ini. Selain mendapatkan kehangatan di ranjang pula.Inikah yang dirasakan Arum saat tahu aku membohongi dan berseling
POV ArumSebuah mobil berhenti tepat di hadapanku, hingga membuatku mengernyit heran. Apalagi, ketika seseorang turun dan menghampiri. Aku tertegun ketika mengenali pria tersebut. Kenapa dia bisa di sini?“Lho, sedang apa kamu di sini, Rum? Ke mana suami kamu? Kenapa di pasar sendirian. Apalagi dalam keadaan hamil besar seperti ini,” tanya pria itu penasaran.“Dari pasar, Bang,” jawabku.Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. Mau bagaimana lagi, tidak mungkin kukatakan kalau sudah bercerai dengan Mas Arga, dan statusku ini seorang janda.“Ya sudah. Biar aku antar kamu pulang!” ajaknya membuatku bingung antara menerima atau tidak. Pria itu membuka pintu depan mobilnya, mempersilahkanku masuk.“Kenapa masih bengong? Ayo naik! Cuacanya panas terik begini. Nanti kamu kelelahan dan dehidrasi. Kasihan dedek bayi di perutmu.” Kembali lelaki itu menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Dengan terpaksa aku pun menerima ajakannya.Setelah masuk, dapat kulihat dia menutup pintu dan berputa
“Tahu, lah, Kak. Bang Satria kan suka sering ke sini bawa makanan dan baju baru buat kami. Juga mainan yang keren-keren.” Ucapan anak yang lain membuatku menoleh memandang Bang Satria. Tidak menyangka meski sudah lama tak bertemu. Dia tetap selalu datang ke sini dan masih ingat dengan adik-adik angkatku di sini.“Jangan memandangku begitu, Rum. Nanti aku baper, kamu harus tanggung jawab,” candanya menggodaku. Aku terkikik geli mendengar guyonannya, pun secara tak sadar langsung memukul lengannya. Seketika itu pula dia ikut tertawa sepertiku.Bu Rina datang dan menyambut Bang Satria. Mengajaknya mengobrol, sedangkan aku ke belakang terlebih dahulu untuk menyimpan belanjaan yang tadi kubeli di pasar. Tak lama, aku menyusul ke ruang tamu sambil menyajikan teh hangat dan camilan untuk Bang Satria. Bagaimanapun dia tamu di sini.Kusajikan teh itu di atas meja tamu. Bang Satria pun menoleh memandangku.“Lho, jangan repot-repot, Rum. Kayak ke siapa aja,” ujarnya saat melihatku menyiapkan hal
Aku terkejut melihat Arum terjatuh dengan posisi duduk. Dia meringis menahan sakit di perutnya.“Rum, kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanyaku panik. Dia menepis tanganku yang akan membantunya berdiri. Aku begitu kecewa atas penolakannya tersebut. Namun, diriku bisa apa? Semua ini terjadi karena keteledoranku juga.“Kamu tidak apa-apa, kan, Rum?” tanya pria yang baru saja kupukuli tadi. Aku mendelik memandangnya tak suka. Akan tetapi, orang itu seolah tidak peduli, tetap saja dia menempel kepada Arum.“Tidak apa-apa, Bang. Hanya sakit sedikit,” jawabnya, sontak aku mengepalkan tangan, hawa panas menjalar di seluruh tubuh. Rasa cemburu ini bergelayut dalam hati bagai racun yang mematikan, aku tidak suka ada laki-laki lain yang perhatian kepada Arum.Semua orang yang ada di sana datang tergopoh-gopoh menghampiri kami, termasuk Bu Rina pengurus yayasan. “Arum, kenapa kamu sampai jatuh begini, sih? Kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Bu Rina sambil membantu Arum berdiri, lalu memapahnya duduk di