Aku terkejut melihat Arum terjatuh dengan posisi duduk. Dia meringis menahan sakit di perutnya.“Rum, kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanyaku panik. Dia menepis tanganku yang akan membantunya berdiri. Aku begitu kecewa atas penolakannya tersebut. Namun, diriku bisa apa? Semua ini terjadi karena keteledoranku juga.“Kamu tidak apa-apa, kan, Rum?” tanya pria yang baru saja kupukuli tadi. Aku mendelik memandangnya tak suka. Akan tetapi, orang itu seolah tidak peduli, tetap saja dia menempel kepada Arum.“Tidak apa-apa, Bang. Hanya sakit sedikit,” jawabnya, sontak aku mengepalkan tangan, hawa panas menjalar di seluruh tubuh. Rasa cemburu ini bergelayut dalam hati bagai racun yang mematikan, aku tidak suka ada laki-laki lain yang perhatian kepada Arum.Semua orang yang ada di sana datang tergopoh-gopoh menghampiri kami, termasuk Bu Rina pengurus yayasan. “Arum, kenapa kamu sampai jatuh begini, sih? Kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Bu Rina sambil membantu Arum berdiri, lalu memapahnya duduk di
Aku mengangguk tanda mengerti. Mungkin benar apa yang dikatakan Bu Rina. Arum saat ini butuh ketenangan. Namun, sampai kapan aku harus menunggu maaf darinya. Jujur, setelah perpisahan kami, hatiku begitu tak tenang. Setiap malam diri ini selalu mengingat dia dan putra kami.Apalagi, kerinduan ini semakin mengusik ketenanganku. Aku rindu sikap hangat Arum, belaian dan dekapannya serta mengelus bayi kami yang masih di dalam perut. Kegiatan yang setiap malam tak pernah absen kulakukan. Namun, tak bisa lagi kulakukan setelah aku dan dia berpisah.Tak lama setelah berbincang-bincang, aku pamit pulang karena ada panggilan dari pihak rumah sakit tempatku bekerja. Sebenarnya ada apa mereka? Apa ini ada hubungannya denganku yang selalu absen untuk bekerja tanpa izin dari atasan?**Bahuku terkulai lemas saat mengetahui pihak Rumah Sakit memberikan surat peringatan padaku karena terlalu sering cuti tanpa kabar. Kali ini, karirku terancam. Menghadapi masalah ini, mau tidak mau aku harus mempe
POV ArumSetelah kejadian sore itu, Mas Arga tidak pernah datang ke sini lagi. Hanya kebutuhan ibu hamil yang tak absen dikirimnya. Entah apa yang membuat dia berubah pikiran. Meski kami telah berpisah, mantan suamiku itu tetap melakukan hal seperti ini. Mungkin ingin memastikan kesehatan kandunganku. Bagaimanapun dia tetaplah ayah dari bayi yang ada di perutku..Proses perceraian telah bergulir di pengadilan. Atas persetujuan Mas Arga pula, segala prosesnya dipermudah. Kehamilanku kini sudah memasuki usia delapan bulan.Entah mengapa, setelah Bang Satria tahu aku telah berpisah dengan Mas Arga dia selalu sering datang mengunjungiku di panti dengan alasan ingin bertemu anak-anak. Siang ini Bang Satria datang kembali membawa berbagai makanan yang banyak sekali.“Terima kasih, Kak,” ucap salah satu anak panti di sini yang berusia enam tahun. Diikuti anggukan yang lainnya. Terlihat sekali, mereka sangat lahap ketika memakan apa yang dibawa Bang Satria. Terdapat binar bahagia di setiap wa
“Tapi ....” Aku tidak sempat mengatakan apa pun saat Mas Arga berlalu tanpa menunggu penjelasan dariku.“Bu, aku akan ikut bersama Bang Satria. Aku belum siap untuk satu mobil dengan Mas Arga lagi” jelasku dengan wajah sendu. Bu Rina mengusap lenganku lalu mengangguk tanda mengerti. Dia memberitahu mantan suamiku kalau sudah ada yang mengantar kami. Entah apa yang dikatakan Bu Rina sampai membuat Mas Arga menurut.Tidak lama Bu Rina datang menghampiri.”Nak Arga akan tetap mengantar kita. Dia menyusul dari belakang, Maafkan ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.” Aku menghela napas. Mas Arga memang susah kalau sudah keras kepala seperti ini. Biarlah dia mengikuti kami. Aku lelah kalau harus berdebat gara-gara masalah seperti ini. Tidak lama mobil Bang Satria berhenti di depanku. Bu Rina masuk terlebih dahulu di kursi belakang. Saat akan masuk, dapat kulihat dari kaca spion Mas Arga kalau dia memandangku dengan tatapan yang ... entahlah. Aku mencoba tak menghiraukannya. Toh
Aku memutar bola mata malas melihat pemandangan di depanku. Kini Erika dengan tak tahu malu bergelayut manja di lengan kekasihnya. Harga diriku sebagai seorang pria seakan terkoyak. Kurang aj*r memang mereka. Kukira dengan menceraikan wanita itu, dia akan sadar akan kesalahannya. Namun, apa yang kulihat? Menjijikkan. Sungguh tidak tahu adab.Setelah kemarin bapaknya memintaku untuk membantunya membebaskan Erika dari kantor polisi karena tuduhan asusila. Sekarang apa yang kulihat? Mereka tidak kapok sesudah istri pacarnya menggerebek dan melaporkan mereka ke pihak kepolisian. “Maaf, ya, Mas. Aku hanya meminta hakku. Mas Arga kan sudah janji mau memberikan kompensasi kalau sudah menceraikanku. Uangnya akan kami pakai untuk menikah lagi,” ujar Erika dengan tidak tahu malu.Apa katanya? Dia meminta dariku uang perpisahan dan akan dia pakai untuk menikah lagi dengan pacarnya? Apalagi belum habis masa iddah setelah perceraian kami. Inikah wajah asli Erika? Hanya wanita murahan yang tidak t
Setelah kejadian itu, hatiku selalu was-was setiap hari mengingat Arum. Kalau bukan permintaan Bu Rina waktu itu, yang meminta agar aku memberikan waktu untuk mantan istriku supaya menenangkan pikirannya. Aku pasti mustahil kuat untuk tidak datang ke sana di waktu senggang. Hampir satu bulan kurang, aku tidak ke Panti Asuhan. Hanya keperluan Arum dan nafkah lah yang selalu tidak absen kukirim. Membuatku dilanda kerinduan yang teramat besar. Siang ini, kuputuskan untuk datang menemui Arum, tidak peduli penolakan apa pun darinya. Rindu ini sudah menggebu dan tak bisa lagi kutahan.Namun, di luar prediksi pria yang bernama Satria itu sedang ada di sana. Bahkan, berniat mengantarkan mantan istriku dan Bu Rina. Yang membuatku kecewa, disaat Arum akan pergi berbelanja perlengkapan bayi kami, dia menolak ketika aku hendak mengantarnya. Mantan istriku itu lebih memilih satu mobil dengan pria itu. Aku memukul setir dengan keras. Menelungkupkan wajahku di sana. Sangat sulit mengambil hati Aru
POV Arum“Bagaimana mungkin Bang Satria masih ingat ini?” tanyaku saat membuka paper bag pemberian darinya yang berisi sebuah kotak musik. Di dalamnya terdapat sepasang boneka beruang dan bulir-bulir putih menyerupai salju. Aku masih ingat, saat itu Shofie dan Bang Satria mengajakku untuk pergi ke sebuah Mall. Ketika sedang menunggu temanku itu berbelanja. Aku tersenyum saat melihat seorang anak kecil yang sedang memainkan kotak musik tersebut bersama orang tuanya. Waktu itu, aku kembali mengenang masa-masa saat masih kecil. Masih teringat ketika Ayah masih menyayangi kami, sebelum perempuan itu datang menghancurkan segala segalanya. Awalnya, sikap Ayah baik seperti biasa. Masih menyayangiku dan Mama. Namun, suatu malam kudengar orang tuaku bertengkar hebat. Mulai saat itu, Ayah berubah menjadi lebih dingin, cuek, dan tidak pernah ada waktu untuk kami.“Yah, kenapa suka pulang malam?” tanyaku yang saat itu masih berusia delapan tahun. Bukannya menjawab, beliau hanya menimpaliku de
Waktu tak terasa cepat berlalu. Tinggal beberapa hari lagi aku di prediksi akan melahirkan. Mas Arga hampir setiap hari datang ke mari. Aku tidak bisa mencegahnya. Dia akan lebih keras kepala kalau aku menolak. Mantan mama mertua juga lebih sering menjengukku ke sini. Terkadang khawatir karena tidak bisa menemaniku setiap hari.Siang ini saat sedang berada di dalam kamar sambil merajut, aku dikejutkan dengan kedatangan Ivan.“Kak, ada sesuatu untuk kakak,” teriak Ivan sambil tergopoh-gopoh. “Ada apa, Van. Jangan berlari seperti itu nanti jatuh,” hardikku. Dia nyengir mendengar omelanku.“Ada surat yang diantarkan bapak tukang pos buat Kak Arum.” Aku segera menerima surat yang diberikan Ivan. Ternyata surat perceraianku dengan Mas Arga. Aku memandang nanar kertas yang ada ditangan.Rumah tangga kami telah berakhir. Mas Arga bukan lagi suamiku sekarang, baik secara agama ataupun negara. Statusku kini telah menjadi janda di umur yang masih muda.Ah! Mengingatnya kenapa hatiku begitu sak