Waktu tak terasa cepat berlalu. Tinggal beberapa hari lagi aku di prediksi akan melahirkan. Mas Arga hampir setiap hari datang ke mari. Aku tidak bisa mencegahnya. Dia akan lebih keras kepala kalau aku menolak. Mantan mama mertua juga lebih sering menjengukku ke sini. Terkadang khawatir karena tidak bisa menemaniku setiap hari.Siang ini saat sedang berada di dalam kamar sambil merajut, aku dikejutkan dengan kedatangan Ivan.“Kak, ada sesuatu untuk kakak,” teriak Ivan sambil tergopoh-gopoh. “Ada apa, Van. Jangan berlari seperti itu nanti jatuh,” hardikku. Dia nyengir mendengar omelanku.“Ada surat yang diantarkan bapak tukang pos buat Kak Arum.” Aku segera menerima surat yang diberikan Ivan. Ternyata surat perceraianku dengan Mas Arga. Aku memandang nanar kertas yang ada ditangan.Rumah tangga kami telah berakhir. Mas Arga bukan lagi suamiku sekarang, baik secara agama ataupun negara. Statusku kini telah menjadi janda di umur yang masih muda.Ah! Mengingatnya kenapa hatiku begitu sak
“Apa? Arum kecelakaan?” Lututku lemas kala Bu Rina mengabari kalau Arum kecelakaan. Beliau bilang jika mantan istriku itu sudah dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Pun kondisinya sekarang sedang kritis. Cobaan apa lagi yang menimpa kami Ya Allah? Bagaimana bisa Arum kecelakaan?Gegas aku mengabari asistenku untuk mengalihkan pasien yang datang mengantre hari ini supaya pindah dokter. Aku tidak bisa menundanya lagi. Tidak mungkin menunggu semua pasien kuperiksa dalam keadaan genting seperti ini. Untunglah, tidak terlalu banyak pasien yang masih menunggu, sebab jam sudah mendekati waktu pulang. Kuharap mereka akan mengerti.Dengan secepat kilat kuambil kunci mobil. Di perjalanan, kendaraan ini melaju dengan kecepatan tinggi, sama sekali tak peduli dengan keselamatanku saat ini. Yang ada di dalam benak ini hanya terpikir bagaimana caranya agar cepat sampai tujuan. Aku harus melihat kondisi Arum. Tidak boleh terjadi sesuatu terhadapnya dan bayi kami. Setelah sampai di Rumah Sakit tempat dita
Setelah menyelesaikan segala administrasinya, teringat dengan Mama dan Papa yang belum kukabari. Kucari nomor ponsel beliau dan menghubunginya. Terdengar suara salam dari seberang sana lalu aku menjawabnya. Kuberitahu kalau Arum mengalami kecelakaan. Dia korban tabrak lari orang yang tidak bertanggung jawab. Mama terdengar syok dan terus saja mencecarku dengan segala pertanyaan. Sehingga, kuminta saja Mama dan Papa menyusul ke Rumah Sakit.Karena sudah terlalu lama menunggu dan memang ada keperluan pribadi masing-masing. Pak RT dan warga lainnya berpamitan untuk pulang. Tidak lama orang tuaku datang dengan tergesa. Mama datang langsung memelukku dan menangis dengan tersedu. Sedangkan Papa diam menunggu meski dapat kulihat raut panik dari wajah beliau. Papa memang pintar menyembunyikan isi hati. Terlihat kuat, tetapi sebenarnya aku tahu beliau rapuh. Beliau memang begitu, terkesan selalu dingin, tetapi hatinya begitu hangat. Papa pah yang pertama selalu membela Arum saat Mama sering
Aku termenung di samping pusara putraku. Mengusap-usap nisan yang bertuliskan namanya di sana. Dia pergi sebelum sempat kuberikan nama. Gaishan Raffasya Hafis itulah nama yang kuberikan untuk putra Kami. Nama yang sudah lama kupersiapkan bersama Arum ketika kami masih menjadi suami istri dulu. Setelah dokter mengatakan jenis kelamin putraku laki-laki, dengan antusias kucari nama bagus. Arum mengiyakan dengan senyum merekah saat kuberitahukan nama tersebut. Dia langsung setuju atas usulku tersebut, katanya namanya begitu bagus dan indah.Kembali Papa berjongkok di sebelahku, dia menepuk pundak beberapa kali.“Sebaiknya kita pulang, Ga. Ikhlaskan putramu. Insya Allah dia akan menolong kamu dan Arum agar masuk ke surga di akhirat kelak. Berikan doa di setiap salatmu. Terpenting sekarang ialah bagaimana cara menyampaikan berita duka ini kepada Arum. Dia pasti terguncang saat mendengarnya,” ujar Papa.Aku mengangguk mengiyakan, meski hubunganku dengan Arum telah berakhir, namun mantan ist
“Jangan gegabah kamu, Rum. Jahitan bekas operasi masih basah. Nanti saja kamu pikirkan kondisi bayimu. Yang terpenting kamu harus sembuh dulu,” jelas Bu Rina mencoba menenangkan. Namun, reaksi Arum di luar dugaan, dia tak menghiraukan ucapan kami. “Rum, jangan nekat. Lukamu masih belum sembuh. Nanti malah akan robek kembali,” cegahku sambil memegang pundaknya. Namun, Arum menepis dengan kasar tanganku.“Aku hanya mau bayiku, Mas. Aku mau lihat dia dan memastikan kalau putraku baik-baik saja,” Mantan Istriku itu memberontak. Terus menanyakan keberadaan putra kami. Hati ini bagai tersayat benda tajam, pedih melihat keadaan Arum saat ini. Dia meronta-ronta, begitu susah dikendalikan. Karena melihatnya belum pulih dan masih lemah, dengan segala cara mencoba meyakinkan mantan istriku itu untuk tetap tenang.Tidak lama, Dokter datang dan terpaksa memberikan obat tidur kembali untuk Arum. Sebagai seseorang yang masih mencintai Arum, aku sungguh hancur melihat kondisi dia sekarang. Bagaima
Aku bernapas lega ketika Satria tiba-tiba datang menjenguk Arum sebelum menjawab pertanyaan mantan istriku itu. Entah kenapa, ini pertama kalinya diriku bersyukur pria itu datang ditengah-tengah kami. Biasanya, dia datang di saat yang tidak tepat. Selalu menjadi penghalang usahaku untuk kembali mengambil hati Arum.Sengaja aku keluar dari ruangan rawat Arum dengan alasan ingin ke kantor polisi mencari tahu perkembangan kasusnya. Sekaligus bertemu Erika dan mendesak dia agar cepat mengaku.Baru sampai di kantor polisi tidak sengaja kulihat sesosok orang yang kukenal. Aku masih ingat dengan jelas kalau itu pacar Erika. “Bukankah dia Andra? Pacar Erika? Sedang apa laki-laki itu di sana?” Andra berdiri di pinggir jalan lalu mengobrol bersama seseorang di dalam sebuah mobil mewah. Dapat kulihat pula laki-laki itu bukan orang sembarangan. Pria dengan setelan jas dan kacamata hitam membuka kaca mobilnya. Laki-laki yang sangat dingin dimataku.Pacar Erika yang kutahu bernama Andra tersebut
Di hadapanku kini duduklah Erika yang terlihat lebih melunak. Tidak seangkuh saat dia kemarin masih memeras mantan suaminya ini. Mungkin dia tertekan berada di penjara ini. Lalu, aku bisa apa? Itulah hukuman segala keburukan yang telah dia lakukan. “Aku mohon jangan mempersulit penyidikan kasus ini. Perbuatanmu terhadap Arum dan putra kami tidak bisa kumaafkan,” geramku sebab dari tadi dia hanya menyangkal segala pertanyaan Polisi.“Mas, aku mohon percayalah. Aku sama sekali tidak mencoba membunuh Arum,” jelasnya kembali. Membuatku berdecap kesal. Bagaimana mungkin wanita ini terus saja berpura-pura tidak tahu apa pun walau kenyataannya dia bersalah. “Cukup. Kamu jangan berpura-pura lagi. Lantas kalau bukan kamu yang sudah merencanakan ini semua, siapa lagi? Arum dan Aku sama sekali tidak punya musuh kecuali kamu yang dengan jelas sudah berani mengancam sebelumnya.” Erika menggeleng tanda tidak terima atas apa yang telah kuucapkan. Dia terus saja membela diri serta berkata kalau d
“Kamu tega, Mas sudah membohongiku. Gara-gara Mas Arga bayiku meninggal. Kamu sudah membunuh putra kita!” teriak Arum. Tangganya gemetar dengan tatapan tajam menusuk saat memandangku.Aku diam mematung di tempat saat ini sambil berdiri. Terkejut dengan keberadaan Arum yang sudah berada di belakangku dengan menduduki kursi roda. Entah ke mana Bi Surmi meninggalkan Arum di sini.“Kamu mau ke mana, Rum?” tanyaku berharap obrolan kami teralihkan.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas. Kenapa kamu tega sekali membohongiku? Aku benci sama kamu, Mas,” ucapnya sambil berusaha membalikkan kursi roda. Namun, kutahan dengan tanganku agar dia tidak pergi. Aku berlutut di hadapannya berharap Arum akan luluh dengan yang kulakukan.“Rum, Maafkan, Mas. Kamu tahu, kan. Mas enggak mungkin mau membiarkan anak kita meninggal. Mas juga sayang sama putra kita,” jelasku berharap Arum akan mengerti.Arum memandangku dengan tatapan kecewa, sendu dan amarah bercampur.“Aku tahu, Mas enggak pernah melakukan apa