“Jangan gegabah kamu, Rum. Jahitan bekas operasi masih basah. Nanti saja kamu pikirkan kondisi bayimu. Yang terpenting kamu harus sembuh dulu,” jelas Bu Rina mencoba menenangkan. Namun, reaksi Arum di luar dugaan, dia tak menghiraukan ucapan kami. “Rum, jangan nekat. Lukamu masih belum sembuh. Nanti malah akan robek kembali,” cegahku sambil memegang pundaknya. Namun, Arum menepis dengan kasar tanganku.“Aku hanya mau bayiku, Mas. Aku mau lihat dia dan memastikan kalau putraku baik-baik saja,” Mantan Istriku itu memberontak. Terus menanyakan keberadaan putra kami. Hati ini bagai tersayat benda tajam, pedih melihat keadaan Arum saat ini. Dia meronta-ronta, begitu susah dikendalikan. Karena melihatnya belum pulih dan masih lemah, dengan segala cara mencoba meyakinkan mantan istriku itu untuk tetap tenang.Tidak lama, Dokter datang dan terpaksa memberikan obat tidur kembali untuk Arum. Sebagai seseorang yang masih mencintai Arum, aku sungguh hancur melihat kondisi dia sekarang. Bagaima
Aku bernapas lega ketika Satria tiba-tiba datang menjenguk Arum sebelum menjawab pertanyaan mantan istriku itu. Entah kenapa, ini pertama kalinya diriku bersyukur pria itu datang ditengah-tengah kami. Biasanya, dia datang di saat yang tidak tepat. Selalu menjadi penghalang usahaku untuk kembali mengambil hati Arum.Sengaja aku keluar dari ruangan rawat Arum dengan alasan ingin ke kantor polisi mencari tahu perkembangan kasusnya. Sekaligus bertemu Erika dan mendesak dia agar cepat mengaku.Baru sampai di kantor polisi tidak sengaja kulihat sesosok orang yang kukenal. Aku masih ingat dengan jelas kalau itu pacar Erika. “Bukankah dia Andra? Pacar Erika? Sedang apa laki-laki itu di sana?” Andra berdiri di pinggir jalan lalu mengobrol bersama seseorang di dalam sebuah mobil mewah. Dapat kulihat pula laki-laki itu bukan orang sembarangan. Pria dengan setelan jas dan kacamata hitam membuka kaca mobilnya. Laki-laki yang sangat dingin dimataku.Pacar Erika yang kutahu bernama Andra tersebut
Di hadapanku kini duduklah Erika yang terlihat lebih melunak. Tidak seangkuh saat dia kemarin masih memeras mantan suaminya ini. Mungkin dia tertekan berada di penjara ini. Lalu, aku bisa apa? Itulah hukuman segala keburukan yang telah dia lakukan. “Aku mohon jangan mempersulit penyidikan kasus ini. Perbuatanmu terhadap Arum dan putra kami tidak bisa kumaafkan,” geramku sebab dari tadi dia hanya menyangkal segala pertanyaan Polisi.“Mas, aku mohon percayalah. Aku sama sekali tidak mencoba membunuh Arum,” jelasnya kembali. Membuatku berdecap kesal. Bagaimana mungkin wanita ini terus saja berpura-pura tidak tahu apa pun walau kenyataannya dia bersalah. “Cukup. Kamu jangan berpura-pura lagi. Lantas kalau bukan kamu yang sudah merencanakan ini semua, siapa lagi? Arum dan Aku sama sekali tidak punya musuh kecuali kamu yang dengan jelas sudah berani mengancam sebelumnya.” Erika menggeleng tanda tidak terima atas apa yang telah kuucapkan. Dia terus saja membela diri serta berkata kalau d
“Kamu tega, Mas sudah membohongiku. Gara-gara Mas Arga bayiku meninggal. Kamu sudah membunuh putra kita!” teriak Arum. Tangganya gemetar dengan tatapan tajam menusuk saat memandangku.Aku diam mematung di tempat saat ini sambil berdiri. Terkejut dengan keberadaan Arum yang sudah berada di belakangku dengan menduduki kursi roda. Entah ke mana Bi Surmi meninggalkan Arum di sini.“Kamu mau ke mana, Rum?” tanyaku berharap obrolan kami teralihkan.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas. Kenapa kamu tega sekali membohongiku? Aku benci sama kamu, Mas,” ucapnya sambil berusaha membalikkan kursi roda. Namun, kutahan dengan tanganku agar dia tidak pergi. Aku berlutut di hadapannya berharap Arum akan luluh dengan yang kulakukan.“Rum, Maafkan, Mas. Kamu tahu, kan. Mas enggak mungkin mau membiarkan anak kita meninggal. Mas juga sayang sama putra kita,” jelasku berharap Arum akan mengerti.Arum memandangku dengan tatapan kecewa, sendu dan amarah bercampur.“Aku tahu, Mas enggak pernah melakukan apa
Berulang kali kutengadahkan kepala dan menyandarkan punggungku ke Jok mobil sambil menutup mata. Namun, ucapan Arum terus saja berkelebat di pikiran.“Aku benci kamu Mas. Mas Arga sudah membunuh anakku dan membuatku celaka,” kata-kata ini terus saja terngiang di dalam pikiran. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sudah tidak ada lagi harapanku untuk kembali padanya. Saat ini aku sudah kehilangan Arum selamanya.Kuhidupkan mesin mobil, jalan satu-satunya aku harus mencari ketenangan di luar sana. Akan tetapi, kulihat motor Andra melintas masuk ke tempat parkir motor di Rumah Sakit ini. Ada keperluan apa dia di sini?Mengapa tiba-tiba rasa curiga bergelayut dalam hati. Pun hati ini mulai tidak tenang dan gelisah. Apalagi baru tadi siang kupergoki pria itu melakukan hal-hal yang mencurigakan. Aku tidak tahu mengapa diriku merasa kalau akan ada sesuatu yang tidak baik dilakukan olehnya.Dengan mengendap-endap, aku turun. Sebelumnya, aku telah mengambil jaket, masker dan kacamata sepert
POV Arum“Di mana ini? Gelap sekali!” Aku menggeleng merasakan kepala yang teramat pusing. Apa yang terjadi denganku?Bagaimana mungkin aku bisa berada di tempat ini? Sepertinya ini sebuah gudang yang cukup tua. Kardus-kardus kosong berdebu mendominasi tempat ini. Pun, segala benda-benda yang sepertinya sudah tidak terpakai berserakan. Badanku pun tidak bisa digerakkan. Aku meronta mencoba melepaskan ikatan di tubuh. Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di sini dengan keadaan terikat? Pertanyaan itu terus saja terngiang di kepala. Tega sekali orang yang sudah menculik, mengurung serta mengikatku di tempat seperti ini. Ketakutanku terus menjadi kala lampu di dalam ruangan ini tiba-tiba mati. Tubuh ini gemetar dengan keringat sebesar biji jagung mengalir deras di dahi. Sungguh, saat ini aku dilanda ketakutan yang luar biasa. Rasa trauma terhadap kegelapan membuatku merasa semakin lama semakin sesak. Segala pikiran yang tidak mengenakan sekelebat terus saja menghantui.“Tolong!” t
“Maksud Anda?” tanyaku masih mencoba melepaskan ikatan tangan di belakang tubuh.“Aku hanya butuh tanda tanganmu kalau tidak kauharus menggantinya dengan nyawa.”Ucapan pria itu membuatku terkejut, sebenarnya apa yang membuatku harus berurusan dengan laki-laki kejam ini. Apa yang dikatakannya tadi? Tanda tangan? Memangnya siapa aku dan untuk apa tanda tanganku sehingga orang ini sampai menculik diriku?“Tanda tangan? Untuk apa itu semua? Saya bukan siapa-siapa, dan juga tidak kenal pada Anda sedikit pun,” bentakku mulai kesal.“Kasihan! Kau ternyata tidak tahu apa pun selama ini. Syukurlah kakek tua itu tidak bisa menemukanmu sebelum saya,” kekehnya yang kudengar bukanlah hal yang menyenangkan. Justru yang terlihat malah mengerikan. Tersirat kemarahan di matanya. Entahlah itu apa?“Maksud Anda apa? Saya sama sekali tidak mengerti?” Dahiku mengernyit mencoba mengartikan apa yang pria ini katakan.“Saya mau kamu mengalihkan segala harta milikmu menjadi atas namaku.” “Harta apa yang And
POV ArumPria itu semakin mendekat dan aku terus meronta mencoba menggerakkan badan agar bisa bebas dari ikatan ini. Sambil memundurkan kursi karena pria di hadapanku terus saja mendekat dengan senyumnya yang membuatku seketika ketakutan. Orang ini memang sudah gil*, bisa-bisanya memanfaatkan ketidakberdayaan seorang wanita yang sedang disekap. “Anda mau apa? Jangan mendekat. Jika tidak ... kau akan menyesal,” ancamku yang malah membuat pria itu tertawa terbahak-bahak. “Memangnya apa yang berani kamu lakukan, heh? Kau tidak bisa apa pun dengan keadaan terikat seperti ini. Jadi, terima saja apa yang akan kulakukan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu dari sini.”Pria tersebut semakin menghampiri dan mencoba menciumiku, namun kutampar wajahnya dengan tangan ini yang memang tidak terikat, hingga membuatnya memegang pipi yang sudah memerah karena ulahku. Dia mengepalkan tangan sambil menatapku penuh dengan kilat kemarahan. Lalu, memegang lengan ini serta mengikatnya kembal