Share

Bab 11 Terjadi Sesuatu pada Bu Nadia

Kaki Nadia seperti terpaku di tempat.

'Ternyata pagi ini, Gio buru-buru keluar bukan karena marah padaku, tapi karena wanita di foto itu muncul di kantor.'

'Ya. Di mata Gio, aku hanyalah tempat untuk pelampiasannya, jadi nggak mungkin dia akan buang-buang tenaga marah padaku, 'kan?'

Nadia tersenyum pahit dan berjalan menuju kantor sambil membawa paketnya.

Sore hari. Setelah kerjaan di kantor selesai, Nadia pergi ke rumah sakit sambil membawa suplemen nutrisi yang dibelinya.

Di pertengahan jalan, ada panggilan dari nomor tak dikenal.

Begitu diangkat, terdengar suara teriakan ayahnya yang bisa membuat telinga sakit.

"Nadia! Selamatin ayah! Mereka mau potong jariku! Cepat datang selamatin ayah!"

Ekspresi Nadia langsung berubah. Sebelum dia dapat berbicara, terdengar suara orang lain berkata, "Nona Nadia, ya? Hari ini ayahmu kalah 200 juta di tempat judi kami. Karena dia nggak bisa bayar, kami terpaksa cari kamu."

"Aku nggak punya uang!" seru Nadia dengan marah.

"Oh, nggak ada uang, ya?" Pria itu tertawa kecil, lalu terdengar dia berkata, "Potong jarinya!"

Tidak lama kemudian, terdengar teriakan Wino, "Jariku! Jariku! Aaah!"

Sekujur tubuh Nadia seperti membeku dan wajahnya menjadi pucat.

Dia mengira orang itu hanya mengancam dan tidak akan berani melakukan hal itu.

"Gimana? Kamu bayar 200 juta itu atau nggak?" tanya pria itu lagi.

Nadia menjawabnya dengan gugup, "Aku nggak ada uang sebanyak itu! Bisakah beri aku ...."

Pria itu menyela ucapan Nadia dengan memberi perintah, "Potong jarinya!"

Suara kesakitan yang melengking dan menakutkan itu mengguncangkan hati Nadia.

Seketika, Nadia pun panik dan cepat-cepat berteriak, "Berhenti! Akan kubayar! Kirimkan aku alamat, aku akan pergi ke sana sekarang juga!"

Pria itu tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Oke, aku kirimkan sekarang alamatnya. Kalau kamu nggak datang, ayahmu akan jadi sampah nggak berguna tanpa tangan atau kaki."

Setelah panggilan terputus, Nadia mencengkeram ponselnya erat-erat sambil gemetar.

Meskipun ayahnya sangat berengsek, dia tidak bisa membiarkan ayahnya terbunuh begitu saja.

Setelah menerima alamat dari pria itu, Nadia melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa beberapa ratus ribu.

Setelah ragu-ragu beberapa saat, dia memutuskan menelepon Gio.

Pada saat bersamaan di Kasino Fezzo.

Di dalam ruang VIP termewah, ada beberapa pemuda duduk berjudi dan ditemani gadis-gadis cantik.

Gio duduk di kursi utama dan terlihat terhormat bagaikan seorang kaisar.

Di bawah lampu yang gemerlap, wajah Gio seakan-akan memancarkan cahaya keemasan. Hal itu membuat pesona yang terpancar darinya makin menakjubkan.

Di samping Gio, ada Yuvira memegang jasnya dengan patuh sambil menatap wajahnya.

Yuvira meletakkan tangannya di dadanya yang berdebar kecang. Setiap kali berdetak, dia makin jatuh cinta pada Gio.

Yuvira tahu betul bahwa selama dia berdiri di samping Gio yang bisa menjungkirbalikkan Kota Mesia hanya dengan menjentikkan jari, dia akan selalu terlindungi dan tidak ada yang berani mengganggunya.

Bagaimana mungkin Yuvira tidak tergoda untuk menikmati kekayaan dan kekuasaan yang tidak akan habis-habisnya ini?

Tidak peduli cara apa yang digunakan, dia harus menemukan cara untuk menjadi satu-satunya wanita di sekitar Gio.

Saat Yuvira hendak mengambil rokok untuk Gio, terasa getaran di saku jas Gio yang dia pegang itu.

Ketika ingin menyerahkan ponsel itu pada Gio, Yuvira melihat panggilan itu dari Nadia. Tangannya pun berhenti.

Sorot mata Yuvira terlihat dingin dan menolak panggilan itu tanpa ragu, lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam jas Gio seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Pada saat yang sama.

Nadia tercengang saat melihat panggilannya ditolak.

'Apa dia lagi sibuk?'

Sambil berharap Gio akan menghubunginya kembali, Nadia meminta sopir untuk mengubah tujuan perjalanan ke kasino.

Satu jam kemudian.

Nadia turun di pintu masuk kasino yang megah.

Setelah berjalan melewati lobi dan menanyakan arah, dia berjalan menuju ruang VIP 2 dan membuka pintunya dengan pelan.

Saat pintu terbuka, bau darah dan asap rokok menusuk hidungnya.

Ada beberapa pria berwajah garang duduk di dalam ruangan tersebut.

Sedangkan ayahnya yang tertunduk itu terlihat pucat dan dipaksa untuk berlutut.

Salah satu jarinya yang hilang dipotong itu dililitkan kain kasa secara sembarang untuk menghentikan pendarahan.

Mendengar suara pintu terbuka, Wino mengangkat kepalanya dengan susah payah.

Melihat kedatangan Nadia, keinginan kuat untuk bertahan hidup pun meledak keluar, "Nadia! Selamatin Ayah! Selamatin Ayah!"

Amarah Nadia dalam sekejap menghilang begitu melihat kondisi Wino.

Dia bergegas menghampiri Wino, tetapi diadang oleh seseorang.

"Nona Nadia, kenapa buru-buru begitu? Berikan uangnya dulu!" cibir seorang pria dengan bekas luka mengerikan di wajahnya.

Mata pria itu dipenuhi dengan nafsu dan terus menjelajahi tubuh Nadia. Hal ini membuat Nadia ketakutan dan gemetar.

Nadia menekan rasa takut dan amarahnya, lalu menoleh ke pria itu dan berkata, "Lepaskan ayahku dulu, baru aku berikan uangnya!"

Pria itu melambaikan tangannya, dua orang yang menahan Wino segera melepaskannya.

Pada saat yang sama, Wino segera berdiri dari lantai.

Dia berlari ke arah Nadia dengan penuh rasa terima kasih dan berkata, "Nadia! Ayah pergi dulu. Kamu ... kamu tinggal di sini dan bayar utangku!"

Setelah mengatakan itu, dia meninggalkan Nadia dan melarikan diri tanpa menoleh ke belakang.

"Nona Nadia, kamu sungguh punya ayah yang baik!" Semua orang tertawa.

Nadia menahan rasa sakit hatinya karena tindakan ayahnya itu, dia menoleh ke pria dengan bekas luka di wajah itu dan berkata, "Sekarang, aku nggak ada uang sebanyak itu. Bisakah beri aku waktu beberapa hari?"

Senyuman di wajah pria itu langsung menghilang. Detik berikutnya, dia membanting botol anggur ke meja dengan keras.

"Berengsek! Kamu datang tanpa bawa uang, tapi beraninya bernegosiasi denganku dan memintaku melepaskan ayahmu!"

"Hanya satu hari!" ujar Nadia dengan gemetar.

"Jangan mimpi!" teriak pria itu.

Pria itu tiba-tiba menyipitkan matanya, dia melihat Nadia dari kepala sampai kaki.

"Kalau nggak ada uang, kamu bisa bayar dengan tubuhmu!"

Wajah Nadia langsung pucat. Dia mundur selangkah sambil berkata, "Kalau kalian macam-macam, aku akan panggil polisi!"

"Panggil polisi?" Pria itu tertawa, lalu mengeluarkan melemparkan ponselnya ke atas meja dan berteriak, "Silakan! kalau aku takut polisi, hari ini aku akan memanggilmu sebagai bosku!"

Jantung Nadia berdetak sangat kencang.

Nadia tahu betul bahwa tidak ada gunanya memanggil polisi, tapi dia tidak boleh jatuh ke tangan mereka.

Kalau sampai hal itu terjadi, malam ini dia pasti akan jadi cacat atau mati di tangan mereka.

Nadia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan menekan tombol daya tiga kali berturut-turut sambil mundur secara perlahan.

Ketika orang-orang di ruangan itu tidak memperhatikan, Nadia berbalik dan hendak berlari keluar.

"Tangkap dia!"

Terdengar suara teriakan dari belakang ketika tangan Nadia menyentuh gagang pintu.

Namun, begitu pintu terbuka sedikit, rambutnya dijambak dengan kuat.

"Aah!" jerit Nadia kesakitan.

Kemudian, dia dibanting ke lantai yang ada genangan darah bekas penganiayaan ayahnya.

Rasa sakit dengan cepat menyebar ke sekujur tubuh dan tulang-tulang Nadia. Kepalanya terasa sangat pusing sampai membuat pandangannya menjadi gelap.

Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk bangkit sambil menatap dengan ketakutan pria yang memiliki bekas luka di wajah itu berjalan ke arahnya.

Sebelum dia bisa bangun, pria itu menamparnya dengan keras.

Denging kuat di telinga dan rasa sakit di pipinya membuat Nadia hampir kehilangan kesadaran.

Namun, sensasi kulit kepala yang tertarik-tarik muncul lagi sehingga membuat Nadia terpaksa mengangkat kepalanya.

"Ingin kabur? Nggak ada yang bisa kabur dari wilayahku! Malam ini, kalau aku nggak menyiksamu sampai mati, aku akan memanggilmu bos!"

Setelah mengatakan itu, dia langsung merobek pakaian Nadia.

Rasa dingin di dadanya membuat Nadia sadar kembali. Matanya terbuka lebar dan berteriak dengan suara putus asa, "Jangan ... jangan!"

Pada saat ini, di koridor.

Sambil membawa ponselnya, Yuda bergegas masuk ke ruang VIP di mana Gio berada.

Karena tindakannya terlihat lancang, orang-orang penting di dalam VIP itu mengernyit karena tidak senang.

Ekspresi Gio juga berubah menjadi masam.

Namun, dia tahu bahwa Yuda tidak akan pernah bertindak lancang seperti itu jika tidak ada yang mendesak.

Gio mengatur dasinya sambil berkata dengan dingin, "Ada masalah apa?"

Yuda terlihat sangat serius dan berkata, "Pak Gio, terjadi sesuatu pada Bu Nadia!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status