Setelah melihat kedua cucunya tenang. Bu Mei pergi dari kamar mereka. “Mamak masak dulu!” ujarnya segera pergi. Setelah percaya kalau anaknya baru saja mie belepot.“Mak masak lebih. Ayah dan pelayan sudah di Kuala Namu!” pinta Mahra.“Oh , sudah di Kuala Namu? Kok telat kali bilang Mamak nggak belanja tadi!” Bu Mei tercekat.“Nggak apa Mak! Mereka bertujuh sama ayah! Nggak usah repot-repot. Mungkin mereka langsung ke rumah yang di sana!” sahut Angga. Tujuannya agar para pelayan itu bisa istirahat dengan tenang. Karena di rumah mertuanya tidak akan cukup kamar.“Mereka makan apa kalau rumah di sana? Nggak apa. Mamak masak nanti Angga bawa ke sana pakek rantang!” Bu Mei segera pergi.Padahal Angga sedang mau jawab. Mereka bisa beli saja. Tapi, mertuanya selalu bersemangat kalau ada tamu. Entah dia nggak pernah capek. Angga mendekati istrinya, di pangkuannya masih ada Alifa.“Gimana enak nggak mie belepotnya, sayang?” canda Angga.“Apasih, Mas. Garing banget tahu candaannya!” Mahra men
Lira baru saja mendarat di Banda Sultan Iskandar Muda bersama putri kecilnya, Rea. Dia izin cuti dari kantor empat hari.“Pak izin cuti ya empat hari, boleh?!”pintanya pada peringgi perusahaan tempat dia bekerja.“Lamat amat cutinya?” Laki-laki itu menghentikan pulpennya.“Ada acara keluarga, Pak di Medan!” tambah Lira.“Baiklah! Tidak boleh lebih dari empat hari!” lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya.Lira segera bergegas untuk menuntaskan misinya. Tidak lupa membawa anak haramnya Rea. Bahkan kini anak balita itu sudah berumur dua tahun. Lira tidak melakukan tes DNA untuk mencari tahu siapa ayahnya. Karena kini harapannya menjadikan Rea alat untuk memuluskan niatnya.Begitu tiba di Banda dia bingung mau kemana. Karena tidak tahu alamat Angga dan Muhar. Akhirnya dia menghubungi mantan mertuanya langusng. Karena kalau hubungi Saleha yang ada nggak dikasih tahu.“Ayah, Lira di Banda mau jumpa Ayah!” seakan dia sudah begitu diharapkan kedatangannya oleh Pak Muhar.“Dimana kamu Na
Setelah turun dari mobil, Angga langsung membantu ayahnya turun lalu kembali naik kursi roda. Teras rumahnya sengaja di buat menurun tidak bertangga. Agar mudah mendorong ayahnya dengan kursi roda. Mereka baru saja meninjau pembangunan perusahaannya yang kini sudah rampung. Tinggal merencanakan grand openingnya. Setelah emoat jam bepergian. Angga berharap kedatangannya di sambut hangat oleh istri dan si kembarnya.Begitu memasuki ruang tamu dia menemukan mantan istri dan anak istrinya. Matanya langsung melotot raut wajahnya masam. Lira begitu menyadari Angga dan Pak Muhar dia cepat-cepat berdiri.“Hei kalian sudah pulang!” Lira mendekat. “Ayo sayang salim sama Eyang dan Papa Angga!”“Untuk pemberitahuan. Jangan ajarkan anakmu memanggilku Papa!” tegas Angga dengan mata menjulur amarah.“Em maaf Mas. Aku hanya….”“Dan siapa yang mengundangmu ke rumah ini?” potong Angga dengan cepat.Pak Muhar pun sangat kesal. Karena dia tahu Angga akan marah kalau Lira ke rumah.“Mas, semalam Rea menan
“Sayang!” Angga mendekati istrinya. Perasaan bersalahnya terhadap kedatangan Lira sangat besar. Mahra memutar badannya kea rah sang suami. “Kenapa Mas?”“Maafin Mas ya!” Angga kembali mengucapkan kalimat itu. “Untuk yang tadi! Kalau seandainya Mas nggak baikin Lira kemarin. Dia nggak akan senekat ini muncul di depan kita”“Memangnya abang kasih dia apa?” tanya Mahra penasaran.Angga menghembus napas kasar. Sangat besar penyesalannya menganggap Lira sebagai kerabat. “Menjelang pernikahan kita, Mas ketemu Lira di Jakarta. Dia jadi sopir taksi online. Anaknya di tarok dalam box di samping. Rupanya dia kabur dari rumah karena orang tuanya memerasnya habis-habisan setelah mereka bangkrut. Dan disitu pula dia tahu, kalau sebenarnya itu bukan orang tua kandung.” Angga mulai bercerita.“Ribet ya Mas!” sahut Mahra.“Terus Mas bincang sama Ayah. Ayah bercerita tentang orang tua Lira yang sudah meninggal, yang merawat dia selama ini, pamannya. Lalu kami menghubunginya. Ayah bercerita banyak hal
Lira berjalan kaki cukup jauh. Sesekali dia mengumpat kesal. Namun, apapun terjadi dia harus menemukan keramaian. Setelah keluar dari jalan sepi. Dia melihat ada becak di sana. Walaupun gengsi dia harus naik becak. Apa boleh buat. Karena ketika memesan ojek taksi online tidak ada yang bisa ditemukan.“Setelah ini lihat saja, kalian akan menyesal sudah membuat aku seperti ini!” geram Lira.Anaknya merengek karena gerah dan lapar. “Sabar ya nak, kita harus berjuang agar bisa membalas dendam pada mereka!” Lira memeluk anaknya. Kini sudah lengkap. Pak Muharpun tak peduli padanya. Hanya Rea yang dia miliki sebagai senjata untuk menghancurkan Mahra dan Angga.Dia dan anaknya naik becak menuju sebuah hotel. “Hotel ini boleh Bu?” tanya tukang becak.“Boleh, Pak!” Lira langsung turun melihat hotel yang lumayan megah menurutnya. Setelah membayar dia langsung chek in. Untuk istirahat karena kacapean dan kecewa. Jauh-jauh hanya untuk diusir. Namun, bukannya menjadi pelajaran. Malah level dendam
Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.“Apakabar di kantor, A
“Sudah waktunya makan siang?” gumannya seorang diri.Mahra langsung fokus pada Refans yang keluar dengan terburu-buru. Lalu menancap gas mobilnya keluar dari perkarangan kantor. Berselang beberapa saat, dua buah mobil jep dan ssatu mobil Hammer seakan mengekori sang suami. Mahra segera mengekori mereka dengan perasaan cemas.“Ya Tuhan lindungilah suamiku!” ucapnya berkali-kali.Mobil Refans terus melaju. Bukan ke rumah makan yang biasa di datanginya tapi jauh ke arah jalan lain. Mobil terus melaju di bawah rinai hujan bulan Desember.“Apakah Bang Refans nggak sadar kalau ada yang ngikutin dia?” pikir Mahra.Mahra berada di paling belakang. Setelah setengah jam, Refans masuk ke sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis. “Itu rumah siapa?” Pikir Mahra. “Kok Bang Refans punya kuncinya juga?” Sembilan laki-laki kekar keluar dari mobil mereka. Seorang lelaki dengan postur cukup tinggi. Kulitnya nampak mencolok dari kedelapan pengawalnya. Dia mengenakan kemeja putih lengannya digulung samp
Setelah subuh Mahra, memasak nasi goreng kesukaan Refans. Memasak untuk terakhir kalinya.“Semoga Bang Refans mau makan masakanku ini!” ujarnya. Dia sudah tidak menangis lagi. Hatinya sudah ikhlas menerima perpisahan dengan Refans.Perempuan yang baru saja genap 29 tahun usianya september lalu, mengemaskan semua barang-barangnya. Di kamar megah Refans dia tidak meninggalkan sepotong bajupun. Karena sudah bukan lagi suami istri. Mahra tidur di kamar belakang yang kosong. Dia tidak menanti lagi kepulangan Refans.Jam tujuh dini hari rumah sudah rapi. Baju-baju kotor Refans sudah dicuci. Sarapan sudah tersedia di atasa meja. Mahra hanya meneguk segelas susu dan memakan sepotong roti. Dia tidak nafsu makan. Entah karena hatinya yang masih terasa pilu. Semalaman dia bersimbah dia atas mihrab. Mengadukan nasipnya yang malang pada Tuhan. Setelah memesan taksi online dia hendak membawa kopernya ke depan rumah. Sengaja tidak pamit lagi pada Refans. Perasaannya yang kini tercabik-cabik. Akan b