Zhia meminta Nola untuk mencari tahu tentang kondisi keluarganya. Sayangnya, wanita itu sedang berada di Singapore untuk perjalanan bisnisnya."Sorry, yah. Atau gue coba tanya Ega. Setidaknya infor dari dia lebih valid, Zhia.""Duh, gak ada lagi yang lain, La?""Sementara gak ada, gue pusing. Video Lo viral di grup komunitas kita, tapi gak masalah. Itu gak terlalu penting juga untuk dibahasa. Wina memang gila, jadi Lo harus hadapi dia dengan cara gila juga.""Sampai kayak gitu, ya?""Zhia, kita ada prioritas utama dalam hidup, bukan? Yang perlu Lo prioritaskan adalah hidup Lo dan keluarga Lo dulu. Persetan dengan yang lain, yang bisa bantu Lo ya cuma diri Lo sendiri. Paham?" Nola sejujurnya iba kepada sahabatnya, namun kali ini ia memilih lebih tegas kepada Zhia agar tidak semakin direndahkan oleh teman-temannya."Iya, gue paham. Makasih, La." Zhia sedikit bernafas lega setelah berbagai kegelisahannya dengan Nola. Satu-satunya teman yang tersisa diantara banyaknya teman Zhia yang hedo
Danu dan Ega bertemu dengan perwakilan Irwan. Pria kaya itu mengirimkan orang kepercayaannya untuk bertemu dengan keduanya. Mereka mengadakan pertemuan di room tertutup untuk menjaga privacy. Hal yang sering Irwan lakukan ketika mengadakan jamuan bisnis, walaupun ia hanya mengirim perwakilan saja."Selamat malam semua, mohon maaf kami sedikit terlambat." Perwakilan Irwan tersebut mempersilahkan Ega dan Danu duduk kembali."Malam, Bu. Bagaimana kabarnya? Saya dengar baru saja pulang dari Maldives," ucap Danu berbasa-basi."Ah iya, Bapak bisa saja. Memang saya sudah lama tidak ambil cuti. Kebetulan, Pak Irwan masih berada di New York, jadi saya mewakili beliau untuk menemui kalian."Pembicaraan basa-basi diantara mereka terjadi sampai makan malam selesai. Ega yang merasa mendapatkan celah untuk berbicara pada intinya, tidak menyia-nyiakan kesempatan."Mohon maaf, Bu. Mengenai email saya beberapa hari lalu bagaimana keputusan Pak Irwan. Seharusnya, Pak Abdullah ikut bersama kami. Sayan
Zhia menatap map coklat yang ia letakkan di meja. Setelah pertemuannya dengan Ega beberapa hari yang lalu, ia belum membuka map tersebut."Bener kata Nola, gue emang cantik dan pintar tapi salah pilih suami. Nasib! Andai saja akta cerai itu bisa kujual, aku lebih memilih seperti itu." Zhia meraih map itu dan membukanya. Selembar kertas yang menunjukan identitas terbarunya. Status sebagai seorang janda, yang tidak pernah ada dalam pikiran seorang Zhia."Huft, Lo dah resmi jadi janda. Usia dua puluh tiga tahun udah janda. Oke, tidak masalah. Lo harus kerja yang rajin biar tetap bisa makan, gak usah mikir yang lainnya apalagi laki-laki, Zhia." Wanita itu menyemangati diri sendiri.Zhia melanjutkan merias wajahnya, setelah mengeringkan rambut. Berangkat ke Dvia tepat pukul lima sore, Zhia tidak tau tipe pelanggan seperti apa lagi yang akan ia hadapi."Setiap hari dengan orang yang berbeda, semoga hari ini mereka baik-baik dan tidak pelit," gumam Zhia sambil membuka aplikasinya ojek online
Angga dan Zhia berbincang hingga menjelang pagi. Pria itu benar-benar menepati janjinya untuk tidak Mita dilayani. Timbul rasa iba Zhia kepada dokter muda itu. Hujan deras yang melanda Surabaya menjelang pagi itu membuat Zhia enggan keluar dari selimut. Terlebih, tangan Angga memeluknya dari samping."Astaga, jam berapa ini!" Angga kelabakan mencari ponselnya. Pria itu panik karena siang ini ada jadwal praktek."Jam delapan pagi, apa ada kerjaan?" Zhia ikut bangun karena tidak enak hati.Angga masih terdiam, berusaha mencerna keadaan di sekitarnya. Ia menatap Zhia dalam-dalam lalu menjambak rambut dengan kedua tangannya."Astaga! Sorry, aku tidak ngapa-ngapain, kan?" Angga begitu panik melihat Zhia sudah berganti pakaian tidur. Karena seingatnya, Zhia datang ke hotel mengenakan dress berwarna hitam seperti permintaannya."Hehehe, tidak. Dokter tidak ingkar janji kok. Kayaknya, dokter perlu mandi. Setidaknya, kita butuh sarapan. Perut saya sudah bergejolak ini," ucap Zhia terkekeh."Ah
Zhia memberitahu Nola jika sudah berada di Juanda. Hatinya bergetar membayangkan akan menginjakkan kaki di ibukota lagi. Kota yang ia tinggalkan beberapa bulan yang lalu dengan membawa luka hati."Zhia datang hanya sementara, bukan untuk kembali yang sesungguhnya."Wanita itu menyeret koper kabin yang ia bawa, entah sampai berapa lama ia berada di Jakarta, yang jelas ia tidak mau dianggap durhaka. Menggunakan taksi bandara, Zhia langsung menuju rumah sakit dimana Abdullah berada. Matanya kembali basah melihat keadaan lalu lintas ibukota yang padat seperti biasa. Hal yang merupakan pemandangan umum ketika ia keluar rumah.Zhia tak lupa memberi kabar kepada Nola, temannya itu masih setia menunggu kedatangan Zhia seperti permintaannya. "Makasih, La. Gue udah dekat, Putri ada, kan?""Putri masih kuliah, nyokap Lo sama gue lagi gue ajak makan. Lo kesini aja, gu baru duduk di kantin."Setelah membayar ongkos taksinya, Zhia bergegas menuju kantin rumah sakit untuk menemui Nola dan ibunya. Ha
Di salah satu cafe tak jauh dari rumah sakit tempat Abdullah dirawat, Zhia dan Ega akhirnya bertemu. Romansa keduanya boleh saja berakhir di pengadilan agama, tapi urusan keduanya tidak benar-benar selesai."Sorry kalau ganggu waktu Mas Ega, tapi kita harus bicara," ucap Zhia memulai pembicaraan."Ada apa? Sepertinya serius," jawab Ega santai. Is terlihat menikmati kopi latte dinginnya."Mas bisa jelaskan ke saya, Gravity sedang tidak baik-baik saja. Saya tau itu, seharusnya tidak ada yang ditutupi dariku." Ucapan Zhia membuat Ega terkejut, dari mana Zhia tahu."Gak usah kayak gitu juga mukanya, Mas gak perlu tanya dari mana saya tahu. Yang penting sekarang, atasi kekacauan di Gravity. Sepertinya itu lebih tepat kalau Mas dan Pak Danu masih menganggap ayah saya partner.""Bukan seperti itu, Zhia. Apa tidak sebaiknya menunggu Pak Abdullah sembuh. Kamu tidak perlu repot-repot seperti ini," jawab Ega menghindari pertanyaan seputar kerjasama mereka dengan Abdullah."Menunggu sampai kapan?
Mau tidak mau, Zhia meminta bantuan Fia. Wanita itulah yang menjadi kunci yang sebenarnya atas masalah Gravity dan perusahaan milik Irwan."Ada apa, Ay?""Mami apa masih di Jakarta? Aya ada perlu," jawab Zhia kepada wanita itu."Kalau soal Gravity, lebih baik kamu hubungi langsung anak buah Irwan. Sebut saja namaku, dia sudah tau.""Baik, Mami. Terima kasih," jawab Zhia lagi."Malam ini, temui saya di hotel. Tempatnya nanti mami kirim." Fia mau tidak mau harus memastikan jika Zhia akan kembali ke Surabaya. Beberapa klien Dvia pun banyak yang mencari keberadaan dirinya. Bisnis tetaplah bisnis, Fia tidak memungkiri jika Zhia berhasil mendongkrak keuangan Dvia dengan baik.Zhia tidak menyiakan kesempatan ini, ia langsung menghubungi yang bersangkutan setelah Fia mengirim kontaknya. "Silahkan Bu Zhia, kami membuka diskusi dengan Gravity. Dan yang saya tahu, Pak Danu dan Pak Ega sudah membuat kesepakatan dengan perwakilan kami di Surabaya. Apa Ibu sudah pegang file nya?""Belum, Pak. Boleh
Zhia dan Fia terlibat pembicaraan serius namun dibalut dengan suasana santai. Dari awal pertemuannya dengan Zhia, ia yakin dengan kemampuannya. Fia kali ini melihat sendiri kepiawaian Zhia bernegosiasi dengan dirinya mengenai pekerjaannya."Saya pastikan Ayah kamu mendapatkan pengobatan yang layak. Selain biar beliau juga paham jika partner bisnisnya sudah tidak layak untuk dipertahankan, Pak Abdullah harus tahu kualitas anaknya.""Terima kasih, Mami. Semakin saya yakin akan kembali ke Surabaya jika saya memiliki Mami disana. Bukan berarti saya membenci Ayah saya, tidak. Saya memaklumi tindakan beliau." Zhia menjeda ucapannya ketika melihat seseorang yang begitu ia kenal melihatnya."Ada apa, Zhia?" Fia yang semula biasa saja, mengerutkan alisnya penasaran. Ada apa hingga Zhia berubah menjadi tidak ramah."Hhmm, Mami. Maaf, saya boleh izin temui mantan suami saya. Rasanya kalau dia duduk disini dengan kita, saya takut emosional.""Oh, silahkan." Fia akhirnya melihat drama sepasang man