"Nah, kenalin … ini namanya Mutia. Dia yang biasanya bantu-bantu Bapak di kasir." Pak Salim memperkenalkan Mutia pada Laras. Setelah tiga hari tak diberi kesempatan untuk membantu keluarga Embun, akhirnya hari ini Laras mendapatkan keinginannya. Dia diterima oleh Pak Salim untuk bantu-bantu di toko sembako miliknya. Laras melakukan ini karena merasa tak enak harus numpang hidup dan berdiam diri saja di rumah. Pagi tadi, saat Laras izin ke luar rumah mencari kerja, Embun lantas menahannya. Pada akhirnya gadis itu diperkenankan untuk ikut membantu mereka. "Hai, Mutia. Namaku Laras." Laras mengulurkan tangannya, berharap Mutia akan menyambut baik keramah-tamahannya."Dia ini calon istri Bastian. Tolong dibantu, ya, Mut!" Pak Salim kembali menambahkan informasi yang semakin membuat Mutia kesal. Karena merasa tak enak hati pada sang bos, Mutia pun terpaksa menjabat tangan Laras."Namaku Mutia," ucapnya singkat diikuti dengan senyuman tipis yang sedikit dipaksakan."Kalau gitu, Bapak tin
"Tak apa, Nak. Yang penting kamu senang. Ini dimakan dulu bekalnya."Pak Salim tak terpengaruh dengan aduan Mutia. Dia tak memarahi Laras seperti perkiraan Mutia. Dan memang kenyataannya Laras tak bersalah. Justru dia yang bekerja dengan keras hari ini. Sedangkan Mutia hanya fokus dengan ponselnya."Eh … Pak. Maaf, saya baru selesai beli makan." Anton datang dan bertegur sapa dengan sang bos. Pak Salim pun tersenyum dan menepuk bahu anak buahnya itu."Ras … ini aku belikan makanan buat kamu. Kamu belum makan, 'kan?"Laras lantas menatap bekal yang baru saja diberikan oleh Pak Salim. Melihat bekal yang ada di tangannya, Anton pun mengerti."Ooh … kamu sudah bawa bekal?" tanya Anton."Iya. Saya yang membawakannya. Tapi makasi ya, Ton. Kamu sudah perhatian dengan calon menantu saya," ucap Pak Salim.Anton terkejut. Calon menantu? Bukankah Laras ini pegawai baru di toko ini?"Ca … calon menantu? Bukankah kata Mutia …."Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Mutia langsung berlari mengha
TokTokTok"Permisi Bu Nadine … Permisi Pak Salim."Terdengar suara ketukan dan orang yang memanggil-manggil nama pemilik rumah.Embun dan yang lainnya menoleh ke arah pintu. Merasa heran dengan tamu yang datang berkunjung malam-malam begini. Sudah jam 9 malam."Biar aku aja yang buka pintunya, Mbak," ucap Laras. Dia berinisiatif untuk bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke depan pintu untuk melihat tamu yang datang.Semua orang di ruangan itu membiarkan Laras menemui tamu di depan.Ceklek"Loh … Laras? Kamu bener-bener tinggal di sini?" tanya Mutia.Laras terkejut dengan kedatangan Mutia bersama seorang wanita paruh baya di sampingnya. Dia adalah Bu Idah, Ibunda Mutia."Siapa dia, Mut?" bisik Bu Idah pada anaknya. Tapi Laras masih bisa mendengarnya."Dia orangnya, Bu. Gadis kampung yang berhasil memikat keluarga Bastian dengan peletnya," ucap Mutia dengan sinis."Ooh … jadi ini orangnya? Lebih cantikan kamu, Mut. Sepertinya bener kalau dia ini pakai pelet. Kalau gak, mana mungkin
"Heh, kamu … sini!"Mutia mendekati mobil yang terparkir di bahu jalan. Seorang wanita cantik memanggilnya untuk datang."Siapa itu, Mut?" tanya Bu Idah pada anaknya."Masa Ibu gak ngenalin? Dia itu Valerie, mantannya Bastian.""Oalah. Lebih cantik aslinya ya ketimbang di TV. Kalah jauh tuh si gadis desa."Mutia dan Bu Idah lantas mendekati Valerie. Mereka tak sengaja bertemu saat Mutia sedang membeli makan di warung tepi jalan. Tempatnya masih dekat dengan toko dan rumah keluarga Embun."Iya, Kak. Ada apa?"Mereka bertiga berbicara di pinggir jalan. Valerie masih anteng duduk di dalam mobil, sedangkan Mutia dan ibunya berdiri di samping mobil mewah itu. Mereka hanya terhalang kaca mobil yang belum sepenuhnya terbuka."Kamu pegawai toko Pak Salim, 'kan? Siapa namamu? Aku lupa." Valerie bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Tapi Mutia tak merasa tersinggung sama sekali."Aku sudah gak kerja di sana lagi, Kak. Aku sudah dipecat," ucap Mutia."Permisi, Mbak. Apa gak sebaiknya kita ngo
Dua bulan berlaluBesok adalah hari istimewa bagi Laras dan Bastian. Mereka telah setuju untuk bersatu dan hubungannya akan diresmikan esok hari. Acaranya terbilang sederhana. Tak perlu menyewa gedung untuk pesta pernikahan. Semua ini atas keinginan Laras dan Bastian. Mereka ingin menikah di rumah dengan mengundang kerabat dekat serta para pegawai toko. Para supir angkot serta penghuni kos dekat rumah mereka juga dipersilahkan untuk datang dan memeriahkan acara."Biar aku aja yang belanja, Mbak," usul Laras.Sebenarnya keluarga Embun telah memesan catering untuk acara esok, tapi mereka ingin membuat masakan tambahan untuk lauk pelengkap. Hanya satu macam lauk yaitu ayam betutu khas Bali. Kebetulan Embun dan Laras lagi senang-senangnya memasak makanan itu. "Loh, jangan kamu lah yang belanja. Kamu diam saja di rumah! Calon pengantin gak boleh kemana-mana." Embun menolak tawaran Laras."Nanti biar Mbak sendiri yang belanja. Atau Mbak minta tolong Bi Darmi buat belanja," ucap Embun pada
"Gara-gara kamu nih, kita jadi nyasar sampai sini. Bentar lagi gelap, nih. Yuk pulang! Di sini seram!" Anton menaruh kucingnya di keranjang depan. Dia lantas mengayuh sepedanya meninggalkan komplek perumahan kosong itu.Jalanan di komplek ini terasa mencekam. Hanya ada dua pemulung yang sempat berpapasan dengan Anton. Selebihnya, semuanya terlihat sepi. Senyap. Menyeramkan."Tolong!! Tolong!!!"Di sisi lain, Laras terus berusaha mempertahankan kesuciannya dari manusia kotor seperti Sapto. Pakaiannya telah koyak. Rambutnya berantakan karena terus dijambak oleh Sapto. "Tolong!!! Tolong!!!"Teriakannya mulai melemah. Tenaganya habis terkuras. Sekuat apapun dia mencoba melarikan diri, Sapto masih bisa mengejarnya. Dan kini, Laras sudah berada dalam dekapannya."Ha ha ha. Akhirnya kamu menyerah juga, Sayang. Capek kan dari tadi main lari-larian? Sini! Sekarang tidur bersamaku!""Tolong jangan sakiti aku! Jangan renggut kesucianku!" Laras memohon sambil berlinangan air mata. Hari sudah mul
"Nah … ini Sapto.""Darimana saja kamu, To? Kepalamu kenapa diperban gitu? Trus Laras mana?"Embun terus menembakkan banyak pertanyaan pada sosok Sapto yang kepalanya tengah diperban.Setelah kepergian Laras dan Anton, Sapto ditolong oleh dua orang pemulung yang lewat di komplek sepi itu. Mereka membantu Sapto dan membawa pria itu ke klinik terdekat. Setelah kepalanya mendapat tiga jahitan, tanpa memikirkan rasa sakitnya, Sapto lantas pergi ke rumah Embun. Awalnya dia hanya ingin tahu perkembangan kasusnya. Apakah Laras sudah pulang dan melaporkannya ke polisi? Kenyataannya, Laras justru belum pulang ke rumahnya hingga Embun dan keluarganya panik mencari-cari keberadaan gadis itu."Ma … maaf, Bu. Laras kabur bersama pria lain. Luka di kepalaku ini akibat pukulan pria itu," ucap Sapto, tak sepenuhnya berkata jujur."Apa?" Semua orang terlihat tegang. Mereka tak bisa sepenuhnya percaya akan perkataan Sapto. Tapi mereka mencoba mengulik kesaksian lagi dari mantan pegawainya itu."Memangn
Pesta pernikahan tetap digelar. Namun pengantinnya bukanlah Bastian dan Laras, melainkan Iwan dan kekasihnya. Ini merupakan usulan dari Bastian sendiri."Tetap laksanakan, Mbak," ucap Bastian tadi malam. Pria itu sama sekali tak bersedih apalagi menangis saat dirinya tahu kalau Laras tak ingin menjadi pasangannya. "Lalu, kamu mau menikah dengan siapa, Bas? Pernikahan itu bukan mainan. Kamu gak bisa seenaknya mengambil anak gadis orang lain hanya untuk dijadikan pengganti Laras," ucap Bu Nadine."Bukankah Mama dan Mbak Embun juga seenaknya menjodohkanku dengan Laras tanpa mau mendengar pendapatku?"Embun dan Bu Nadine seketika terdiam. Selama ini mereka begitu kekeuh menjodohkan Laras dengan Bastian. Setiap hari mereka terus mencekoki Bastian dengan pujian tentang Laras.Sebenarnya, Bastian belum siap untuk menikah. Apalagi setelah hubungannya dengan Valerie kandas dengan cara yang tidak baik. Enggan rasanya bagi Bastian untuk memulai hidup baru secepat ini. Dia selalu dibayangi ketak