Bahaya, senjata dan takut. Tiga kata ini sudah lebih dari cukup untuk Matteo lepas dari fokusnya. Padahal, saat ini Matteo tengah bersama kolega kerjanya, mereka tengah mendiskusikan mega proyek bernilai triliunan rupiah.Sebenarnya, Matteo pada awalnya tidak ingin menerima panggilan dari siapapun termasuk Falisha. Biar bagaimanapun, proyek ini merupakan salah satu prioritasnya.Namun, Falisha yang menelpon nomor ponsel pribadinya di jam kerja ini adalah kejadian pertama kali. Biasanya Falisha hanya akan menelpon di luar jam kerja atau hanya mengirimkannya pesan singkat untuk komunikasi mereka.Oleh sebab itulah, perasaan ganjil yang mendorong Matteo menjeda sebentar rapat penting ini hanya untuk menerima panggilan telepon dari Falisha dengan berbagai pertimbangan yang diputuskannya cepat.Apa yang baru saja disampaikan Falisha membuat Matteo bereaksi cepat. Untuk kesekian kalinya, Falisha melesat menjadi prioritas utama dibandingkan dengan pekerjaan juga hal-hal lainnya yang tengah i
Ada kelegaan yang merebak dalam hati Falisha meskipun ketakutan masih bercokol kuat, tapi rasa itu memudar sedikit dengan kalimat-kalimat yang baru saja Matteo ucapkan kepadanya.Rasa percaya Falisha terhadap Matteo memberikan wanita itu keberanian lebih juga mempertebal keyakinan bahwa calon suaminya ini akan menepati kata-katanya.Tidak membuang waktu lebih banyak lagi, begitu panggilan telepon mereka terputus, Falisha sudah bertekad bulat melaksanakan apa yang dikatakan Matteo.Falisha tidak ingin munafik, dia jelas mengkhawatirkan kondisi Mang Eko tapi tentu keselamatan diri sendiri terlebih Ameera merupakan prioritas di atas prioritas.Falisha melirik sekilas keberadaan Mang Eko dari tempatnya berdiri sekarang, aksi saling dorong telah berlalu dan berubah jadi aksi pengeroyokan, yang mana membuat ia tegang seketika.Apa yang tengah terjadi bukan hanya menarik perhatian Falisha tapi juga beberapa orang pengunjung juga pengguna jalan yang tengah melintasi area tersebut. Namun, tida
Efek langsung dari tabrakan yang jelas-jelas disengaja itu adalah tubuh keempat penumpang mobil nyaris terjungkal ke depan jika saja tidak ada seatbelt yang membelit.Teriakan kaget merupakan refleks pertama yang keluar dari mulut keempat perempuan tersebut, Riana yang berada di posisi kemudi juga kontan menginjak rem sedalam-dalamnya agar mobil tidak melaju dan membahayakan pengguna jalan lainnya.Tidak hanya Falisha, Ameera, Lina dan Riana yang diliputi oleh ketegangan dan keterkejutan tapi juga dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka.Para pemilik kendaraan yang tengah melintas, pejalan kaki yang berada di lokasi area juga atau pengunjung kafe dan toko yang ada di tempat itu langsung memusatkan perhatian kepada ‘kecelakaan’ yang tidak terduga ini.Setelah Riana yang mengerem kuat, Falisha lah yang lebih dulu bereaksi keluar dari keterkejutannya daripada yang lain.“Jangan ada yang keluar! Rin, kunci pintunya!” seru Falisha memerintahkan dengan penuh ketegasan. Lantas, dia men
Riana yang berada dibalik kemudi langsung berniat menginjak pedal gas tanpa banyak berpikir lagi begitu mendengar perkataan Lina.Walau ada keraguan, Riana tidak ingin lagi ambil pusing. Keselamatan adalah yang utama sekarang, ini yang terpenting.Akan tetapi, niat Riana untuk menabrak jatuh orang-orang yang tengah mengepung mobilnya itu tidak pernah terealisasikan sebab pergerakan dari lawan telah menciutkan nyalinya lebih dulu.Bug!Satu pukulan keras mendarat di jendela bagian pengemudi tepat di saat kaki Riana akan berpindah posisi menginjak pedal gas. Akibat dari pukulan itu, bukan hanya menggagalkan niat Riana tapi juga menyebabkan keretakan di bagian kaca.“Kyaa!!” pekik refleks Riana yang hampir berbarengan dengan dua temannya yang lain.“Buka!”“Heh, Gendut! Turun!” “Keluar Kau sekarang!”“Jangan cari mati disini, Kau!”Bening menggenang tidak terbendung lagi di rongga mata Falisha, dia semakin takut juga gugup dengan apa yang terjadi. Kedua sahabatnya dan Ameera meringkuk k
Mengebut menjadi satu-satunya pilihan jika ingin menyelamatkan diri. Jadi, inilah yang tengah dilakukan Riana.Riana tidak pernah melajukan mobilnya melebihi batas seperti sekarang ini. Adrenalin dan rasa takut lah mendorongnya bertindak hingga menekan pedal gas dalam-dalam.“Sha, Kita mau kemana ini?” tanya Riana setengah berteriak, yang tanpa dia sendiri sadari jika suaranya terlontar lebih besar.Belum Falisha merespon pertanyaan sahabatnya itu, dering ponsel sudah lebih dulu menyela mereka.Tanpa Falisha melihat nama yang muncul di layar ponselnya, di dalam pikiran wanita itu sudah muncul satu nama dan terbukti kalau dugaannya benar. Matteo menelpon balik karena tidak kunjung menerima panggilan berkala dari Falisha sesuai janji mereka pada panggilan yang lalu.Alih-alih menjawab pertanyaan sang Sahabat yang tetap mengebut karena masih dalam pengejaran musuh, Falisha lebih memilih menerima panggilan telepon dari calon suaminya itu."Ya, Mat?" sapa Falisha dengan sebelah tangan mele
Si Gendut - Bab 94 ReuniSenyum tipis Falisha pasang di wajah sebagai bentuk kelegaan yang teramat dalam di hatinya. Berangsur-angsur dalam tempo singkat, panik beserta ketakutan yang sebelumnya sempat merongrong kini pudar sudah. Semua karena keberadaan Matteo yang lagi-lagi menjadi penyelamat mereka."Aku nggak apa … kami semua nggak apa kok," jawab Falisha sejujurnya tanpa melunturkan senyum, dibiarkannya Ameera berada di gendongan pria itu.Falisha kemudian ikut turun dari mobil di susul dengan Lina dan Riana dari sisi yang berbeda.Bukan hanya karena keberadaan Matteo saja Falisha merasa aman tapi juga karena lingkungannya sekarang.Hotel West tempat mereka berdiri sekarang adalah properti milik keluarga Tirta. Di tempat ini jugalah Falisha berjanji temu via panggilan telepon tadi dengan sang Ibunda.Dengan sebelah tangannya yang masih menggendong Ameera, tidak menghalangi Matteo untuk maju dan memeluk Falisha sekilas. Hal yang sejak awal ingin ia lakukan tapi terhalang karena Am
Bergetar tubuh Falisha diterjang kerinduan menggebu, akhirnya dia bisa melihat lagi sosok kedua orang tua kandungnya. Dalam nyata, bukan mimpi apalagi delusi. Mereka ada dihadapannya sekarang, setelah sekian lama terpisah jarak dan waktu.Falisha mengerjapkan kelopak beberapa kali untuk menghalau bening agar memperjelas penglihatan, tapi tetap saja cairan itu kembali dan kembali berkumpul di rongga matanya.Dalam haru yang mengumpul tanpa bisa dicegah, Falisha bisa melihat jelas kelembutan yang ditampilkan Miranda dan ketegasan Teddy.“Ma … Pa …,” panggil Falisha sekali lagi karena Miranda dan Teddy yang tetap bergeming di tempatnya.Entah kenapa Falisha yakin, kedua orang tuanya bukan sengaja melakukan hal ini. Tapi, lebih karena keterkejutan sebab Falisha sangat menyadari perubahan bentuk tubuhnya. Walau wajah tidak terlalu banyak berubah, tapi bobot tubuh jelas tidak bisa menutupi kenyataan yang ada.Falisha maju selangkah dengan ragu-ragu, bayang-bayang penolakan yang ada di masa
Tanpa menjauh dari sang Ibunda, Falisha menyapu sisa air matanya asal agar bisa fokus menatap ayahnya.Falisha sama sekali tidak menyangka jika setelah sekian tahun seorang Teddy Tirta masih sama seperti yang ada di ingatannya. Baik dulu maupun sekarang sang Ayah tetap sama, Teddy yang tegas dan dingin, yang hanya mementingkan nama baik keluarga di atas segala-galanya.Falisha bukannya ingin dibilang anak durhaka atau pribadi yang egois tapi ia benar-benar merasakan bagaimana kejamnya Teddy delapan tahun lalu. Membuang putri kecilnya hanya untuk menjaga nama baik keluarga, bukan merangkul sang Anak atas kesalahan yang sebenarnya tidak ia perbuat dengan sengaja.Tapi, ini pemikiran dari sudut pandang Falisha, yang tidak pernah menerima penjelasan langsung dari Teddy atau Miranda atas pengusiran dan pemutusan hubungan kala itu.Segenap keberanian yang tersisa dalam dirinya Falisha himpun, biar bagaimanapun ia ingin menyatakan pendapatnya agar imbas dari semua yang terjadi saat ini tidak