Tanpa menjauh dari sang Ibunda, Falisha menyapu sisa air matanya asal agar bisa fokus menatap ayahnya.Falisha sama sekali tidak menyangka jika setelah sekian tahun seorang Teddy Tirta masih sama seperti yang ada di ingatannya. Baik dulu maupun sekarang sang Ayah tetap sama, Teddy yang tegas dan dingin, yang hanya mementingkan nama baik keluarga di atas segala-galanya.Falisha bukannya ingin dibilang anak durhaka atau pribadi yang egois tapi ia benar-benar merasakan bagaimana kejamnya Teddy delapan tahun lalu. Membuang putri kecilnya hanya untuk menjaga nama baik keluarga, bukan merangkul sang Anak atas kesalahan yang sebenarnya tidak ia perbuat dengan sengaja.Tapi, ini pemikiran dari sudut pandang Falisha, yang tidak pernah menerima penjelasan langsung dari Teddy atau Miranda atas pengusiran dan pemutusan hubungan kala itu.Segenap keberanian yang tersisa dalam dirinya Falisha himpun, biar bagaimanapun ia ingin menyatakan pendapatnya agar imbas dari semua yang terjadi saat ini tidak
Entah sudah berapa kali Falisha memandang ke arah balkon kamar hotel dengan perasaan gundah yang berlarut kecemasan, wanita itu seakan tidak merasa bosan melakukannya.Sebenarnya bukan tanpa alasan tapi karena keberadaan Matteo yang tengah melangsungkan panggilan telepon.Usai ultimatum yang diberikan oleh sang Ayah, Falisha dan yang lainnya menuruti keinginan Matteo untuk beristirahat di salah satu kamar president suite hotel West ini.Tidak ada yang berani menyinggung peristiwa yang baru saja terjadi, baik Falisha dan kedua kawannya memilih topik di luar penyerangan untuk menjadi bahan perbincangan mereka. Selepas menyantap makanan yang disajikan oleh pihak hotel, Lina juga Riana pun pulang dan meninggalkan calon pasangan yang akan menikah dalam waktu beberapa minggu kedepan itu.Ketika itulah, sepeninggal keduanya dan hanya menyisakan mereka, ponsel Matteo berdering dan pria itu tidak hentinya menerima beberapa panggilan di area balkon sejak lebih dari lima belas menit yang lalu.T
"No need!" putus Matteo langsung, "Kamu nggak perlu minta maaf, Sha! Ini semua bukan salahmu!"Tercekat di ujung lidah kalimat Falisha selanjutnya karena kata-kata Matteo yang diikuti dengan tatapan mata tajam pria itu. Akan tetapi, rasa bersalah yang ada dalam diri Falisha membuatnya melawan ketegasan yang tengah ditampilkan Matteo.Namun, baru Falisha akan membuka mulutnya guna meluncurkan bantahan, tangan Matteo sudah lebih dulu terangkat dan mengacungkan jari telunjuk mengkodenya untuk diam."Bentar Micin! Kamu diam sebentar, dengerin Aku dulu," ujar Matteo cepat meminta kesempatan tanpa melunturkan ekspresi tegasnya dan dia baru menurunkan jari setelah menerima anggukan kepala Falisha.Senyum tipis nan hangat Matteo ulas karena Falisha yang penurut serta memberikannya kesempatan."Yang pertama dan yang paling penting, Kamu nggak perlu merasa bersalah dan minta maaf! Karena apa? Karena semua ini jelas ada sangkut pautnya dengan Aku juga. Asalnya bukan dari Kamu tapi dari Aku. Disi
Terkesiap ringan Falisha detik itu juga dengan jantung yang mendadak berdebar kencang. Tidak hanya ini saja, pikiran Falisha pun ikut kosong sebagai respon tubuhnya.Apalagi alasannya jika bukan karena pelukan Matteo yang tiba-tiba tersebut.Perubahan ini terasa sangat cepat bagi Falisha. Padahal baru beberapa detik lalu mereka berdua masih berbicara dengan begitu seriusnya tapi sekarang telah ada dekapan yang menyusup di tengah-tengah. Falisha tidak habis pikir apa yang mendasari tindakan Matteo ini.Terlebih, Falisha sedikit risih bersentuhan dengan Matteo seperti ini.Di detik-detik saat Falisha masih berkutat dan bingung akan pikirannya sendiri, Matteo pun buka suara.“Makasih Micin! You are the best! Kamu nggak perlu ngelakuin apa-apa, Kamu duduk diam dan tetap di sampingku aja itu sudah sangat membantu. Keberadaan Kamu ini sudah merupakan support sistem untuk Aku!”Tertegun Falisha akan kata-kata tidak terduga Matteo dan entah mengapa hatinya langsung menghangat. Kesan kalau dir
Di saat Falisha masih berada di kamar Hotel West bersama Matteo dan melakukan percakapan serius, hal yang berbeda justru terjadi pada Bramantyo.Di ruang tamu berdebu rumah satu-satunya milik Bramantyo ini, pria itu duduk setengah termenung menatap seorang pria asing yang datang sekitar setengah jam lalu tersebut.Tamu pria yang mengenakan kemeja marun lengan pendek tengah berkutat dengan berkas-berkasnya di hadapan Bramantyo yang tengah melamun. Tidak ada percakapan yang terjadi di lima menit terakhir, hanya suara gesekan kertas yang terdengar mendominasi.Di halaman rumah, tempat mobil putih kebanggaan Bramantyo diparkirkan, terdapat dua orang pria lainnya yang berputar-putar mengelilingi kendaraan tersebut. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuh mereka jika keduanya tengah memeriksa fisik kendaraan."Baik, Pak Bramantyo …," tegur pria berkemeja marun itu memecah keheningan, "berkas dan suratnya lengkap, tidak ada masalah lain kecuali pembayaran yang tertunda. Jadi, sesuai dengan k
Sudah lebih dari satu jam Bramantyo duduk termenung di teras rumahnya. Posisi dan pandangan mata pria itu masih sama seperti awal ia duduk di tempat tersebut.Tidak ada satupun orang yang mengusik Bramantyo sehingga pria itu semakin larut dengan pikirannya. Teguran tetangga yang lewat, tatapan-tatapan mata heran yang melayang melalui pintu pagar yang terbuka lebar sama sekali tidak Bramantyo gubris karena dia sibuk dengan pikirannya sendiri.Mungkin Bramantyo akan bertahan di teras depan beberapa jam lagi andai tidak ada yang mengganggunya. Tapi, pria itu tidak bisa lagi tenggelam dalam prestasinya lebih lama karena kedatangan orang yang jelas-jelas akan membawakannya masalah yang lain.Di saat Bramantyo masih larut dengan lamunannya, di bagian luar rumahnya telah berhenti sebuah mobil berwarna hitam dan dengan tergesa-gesa sang Adik, Candrawati atau yang akrab dipanggil dengan nama Wati."Kak Bram!" panggil Wati keras dengan setengah berlari memasuki gerbang rumah cepat dan seruannya
Bramantyo mengerutkan alisnya dalam diam tapi wajahnya jelas mengarah ke arah Wati yang tengah menyetir cukup ngebut itu.Terus terang saja Bramantyo juga sama penasarannya tapi lebih memilih menutup mulut dan membiarkan Reni saja yang memulai percakapan.Nyatanya, Wati tidak langsung menjawab pertanyaan dari ibu kandungnya itu. Dia malah memilih diam dengan pandangan mata terpaku pada kepadatan jalan raya.Wati bukan hanya berkonsentrasi mengemudi tapi dia juga bingung harus memulai dari mana pembicaraan yang sangat penting ini."Ck!" decak Reni tidak sabaran karena sang Anak yang hanya membisu, "kalau Kamu nggak mau ngomong sekarang lebih baik Kamu antar Mama pulang! Mama ini sibuk, mau siap-siap masak buat lauk untuk jenguk Papamu besok!" sergah Reni menyambung kalimatnya diiringi dengan dengusan dingin.Kalimat terakhir tadi juga sengaja Reni tekankan sebagai kode secara tidak langsung kepada anak-anaknya. Selama ini baik Bramantyo maupun Wati jarang sekali mengunjungi Benny di pe
Insting seorang istri tentang suaminya biasanya selalu tepat, ini pepatah lama yang selalu dikatakan oleh orang-orang di luar sana. Dulu, Wati merasa kalimat itu biasa saja tapi kini ia justru merasa ada benarnya.Wati merasakan sendiri jika Bayu-nya berubah. Berubah dalam artian cenderung ke arah negatif. Hal ini bukan sekedar pemikiran sepihak saja tapi sungguh Wati rasakan.Bukan Wati tidak setuju dengan kata-kata Reni tapi ia bahkan telah memikirkannya selama beberapa hari belakangan dan menemukan beberapa bukti konkret mengenai kecurigaannya ini."Ini bukan cuma dugaan, Ma! Wati juga nggak asal nuduh … Mas Bayu beneran selingkuh, Ma … Aku tahu, Aku bisa rasa …," ucap Wati mendebat sang Ibunda dengan terbata dan mata yang mulai memanas. Wati juga mencengkeram lebih erat setir mobil sebagai pelampiasan rasa.Bramantyo yang tadinya hanya ingin diam saja tanpa banyak bicara atau melakukan apapun hingga sampai ke tempat tujuan akhirnya membatalkan niatnya itu.Sederhana saja alasan Br