Seperti biasa, Raynar akan bangun saat para pelayan mulai berdatangan ke kamarnya, lalu dia dilayani oleh puluhan pelayan untuk mempersiapkan diri setiap harinya, sesudahnya Raynar dalam tampilan rapihnya, beranjak pergi ke istana ibunda untuk memberikan salam sebagai rutinitas paginya
permaisuri dalam balutan busana megahnya duduk di atas singgasana, dikipasi dan disuguhi buah-buahan oleh para dayang, "Salam kepada rembulan kerajaan, ibu."
"Kemarilah, nak. " panggilnya dengan melambai kepada anak tunggalnya, gerakan itu menghasilkan bunyi gemericik dari perhiasan-perhiasan emas yang dikenakannya.
"kenapa ibu terlihat lesu, apa ibu sedang sakit?." Raynar meletakkan telapak tangannya di atas kening sang bunda, memeriksa suhu badannya. "Tidak nak, ibu hanya kurang enak badan." sanggah permaisuri, tak ingin membuat anaknya khawatir.
Setelah para dayang pergi meninggalkan mereka berdua, Permaisuri menggengam tangan Raynar lantas bertanya, "Jadi bagaiman
"Kakak, kenapa kau lama sekali..." Seorang gadis tengah duduk menyadar ke sebuah pohon besar yang tersembunyi, dirinya terlihat kesal lantaran sudah cukup lama menunggu sang kakak.Seharusnya acara perundingan itu sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu, tapi batang hidung orang yang ditunggunya masih belum terlihat juga.Gaun sutra berwarna krem dan sepatu senada yang dikenakannya terlihat basah juga kotor, akibat terkena cipratan lumpur dari hentakan kakinya, begitupun tangannya juga terlumuri noda kecoklatan tanah yang sedari tadi di main-mainkannya untuk mengusir kebosanan.Terdengar suara langkah kaki mendekat, karena kondisi khusus yang dimiliki Zea, dia tidak bisa bertemu dengan sembarangan orang. Lantas segera menyembunyikan diri di balik pepohonan besar.Sinar matahari yang tertutupi oleh pepohonan rindang di sekitar menghasilkan cahaya teduh remang-remang sehingga membuat penglihatan putri Zea tidak terlalu terfokus. Dari kejauh
"Ada apa guru?," Wirya memandang bingung tingkah Arga, sang guru sedang mengendus telapak tangannya yang terkena air minum tadi. "Ada racun."Pekerjaan para pelayan terhenti ketika mendengar pernyataan yang di ucapkan Arga. Mereka berbisik-bisik kepada satu sama lain, memperdebatkan kebenaran informasi tersebut, membuat ruangan menjadi gaduh.Wirya segera mengusir mereka dari kamar, menghindari keributan yang akan menganggu waktu istirahat sang bunda. Lalu hanya menyisakan dirinya, Arga dan putri Clamire."Apa anda ingat pangeran dari mana air itu berasal?." lanjut Arga masih memperhatikan liquid tadi. "Wirya kurang tahu guru, karena air itu sudah ada dari pagi tadi." Pangeran Ke-7 itu mendekati Arga melihat hal yang sama. Namun dia tidak merasakan sesuatu yang salah dari air itu, semuanya tampak terlihat normal. "Jika dugaanku benar, ini ada sangkut pautnya dengan semakin parahnya penyakit putri Clamire." Arga mengeluarkan serbet dari saku, la
"Apakah anda yakin?." Tanya Arga memastikan.Tanpa ragu Clamire mengangguk, "Mengingat kondisi saat ini, waktu saya tidak tersisa banyak. Saya memberitahukan semua ini kepada tuan agar nantinya Wirya tidak bersedih saat kepergian saya. Penilaian saya tidak pernah keliru, saya tidak pernah seyakin ini dan semantap ini dengan keputusan saya." Teguh Clamire, matanya memancarkan keyakinan mendalam.Setelah Arga mendengarkan cerita sang putri sejenak, Sekarang semuanya menjadi jelas dan masuk akal, sedikit demi sedikit semua kejadian ini berhubungan, tiap-tiap benang petunjuk yang sudah di temukan, berakhir membawa Arga ke sebuah kesimpulan.Pemuda itu mengusap dagunya, "Berarti ini semua memanglah sudah di rencanakan." Gumamnya.•Dari arah pintu, Wirya tergesa-gesa memasuki ruangan "kalian tahu apa yang baru saja Wirya dapatkan." Tutur si pangeran.Sebelum melanjutkan, tak lupa Wirya terlebih d
Plakk, Plakkk "Argh!!." Suara erangan dan cambukan terdengar bersahut-sahutan dalam ruang interogasi yang berada di bawah tanah, tempat berlapisi besi itu sudah menjadi saksi bisu akan banyaknya penyiksaan yang telah di lakukan disana, itulah sebabnya ruangan ini terkesan gelap dan suram. Dua orang pria berpakaian serba hitam tengah terbelenggu dalam jeratan rantai dan borgol. Wajah mereka pucat, karena terus menerus memuntahkan darah akibat pukulan cambuk yang di terima. "Baiklah Jika kalian masih bersikeras tak ingin mengatakannya, maka aku terpaksa untuk mengeluarkan alat lainnya." Mahavir menghampiri lemari kayu di sudut ruangan, dia mengeluarkan tongkat bergerigi tajam, kemudian memanaskannya ke perapian. "Tenang saja, aku hanya akan mencetakkan ini ke bagian-bagian yang tertutupi baju, agar para tetua tidak menyadarinya." Tukas Mahavir, Seringai bengis menghiasi wajahnya yang tampan, Membuat para penyusup itu meneguk ludah,
Tak lama kemudian, ruangan di sebelah menjadi sunyi, suara wanita-wanita tadi sudah tak terdengar, mungkin mereka sudah meninggalkan ruangan.Matahari mulai meninggi, hari semakin siang, namun siluet Kastara belum juga terlihat. Arga mengetuk-ngetukkan jari ke meja, dia mulai khawatir.Tepukan di bahu menyadarkan Arga, segala pemikiran negatif yang sempat terlintas di benaknya telah sirna, lantaran orang yang sedari tadi di tunggu, sudah ada di depan mata."Maaf ya, tadi sempat tersesat...hehehe" Tawa Kastara canggung. Setelah pemuda itu mendudukan diri, dia kembali berbicara, "sebenarnya kedatanganku kemari ada hubungannya dengan racun antibiotik yang pernah kau suruh untuk diteliti." Kastara mengeluarkan botol kaca kecil, lalu menyodorkannya kepada Arga."Efek yang di hasilkan obat penawar itu belum maksimal, Kastara masih membutuhkan beberapa komposisi untuk membuatnya rampung, namun sangat sulit untuk membuat penawar itu dengan keter
Lalu hari-hari di istana berlalu dengan damai, hingga beberapa hari kemudian, "Arga!," Kastara berjalan melambai sembari mendekati Arga. "Terima kasih banyak Arga, berkat bantuanmu, Kastara berhasil di terima kerja di istana juga dalam bidang yang sesuai dengan keinginan Kastara, bagaimana menurutmu?," Ucapnya sembari berputar-putar memamerkan setelan jas laboratoriumnya. Sekarang Kastara sudah diterima menjadi bagian dari tim ilmuwan Kerajaan."Yah itu terlihat cocok untukmu, tapi jangan lupakan tujuan awal kita Kastara." Balas Arga mengingatkan.Kastara spontan mengangguk "tentu saja sobat."Tapi sesaat kemudian Kastara menjauhi Arga, dia menutup hidung, sembari mengipas, "kau habis dari mana Arga?, kenapa baumu sangat menyengat?." karena Kastara dan Arga adalah bagian Orang Darat yang memiliki ketajaman indra layaknya binatang, jadi hanya mereka yang bisa mencium bebauan itu. Sangat berbeda dengan Orang Negeri yang jika di hadapkan dengan ba
"Dia menjadi seperti ini, mungkin karena respons vasovagal yang di hasilkan, sehingga memicu penurunan detak jantung dan tekanan darah." Duga Kastara, mereka sekarang tengah berada di kamar Zea.Arga dengan perlahan menurunkan sang putri ke atas ranjangnya, "Namun kenapa dia menjadi pucat dan gemeteran, padahal luka yang di alaminya tidak cukup parah." Tanya pemuda itu."Jika dengan semua gejala yang di alaminya tadi, diagnosaku mengatakan, Putri Zea menderita tekanan mental yang berakibat pada kelainan syaraf." Tukas Kastara, sambil dengan telaten membaluti luka sang putri.Dalam tidurnya, Putri Glaciem itu bergerak-gerak gelisah, dahinya mengerut, serta alisnya menekuk dalam. "Sepertinya, Zea sedang bermimpi buruk."|Flashback On|Enam tahun yang lalu.Di dalam sebuah kamar paling cantik di Istana Glaciem, seorang gadis kecil berusia sembilan tahun sedang duduk di depan jendela ka
Zea mendadak terbangun dari mimpi mengerikan itu, dahinya mengucurkan keringat dingin. Padahal kejadian itu sudah enam tahun berlalu, tapi entah kenapa sangat berbekas diingatannya.Matanya beralih ke lehernya, disana tersemat kalung berbandul sisik pemberian Hans. Di pandanginya kalung berbentuk bunga oval yang kini berkilat begitu indah. Inilah yang tersisa dari semua kenangan yang dia miliki dulu.Suatu benda cantik yang menjadi ganti atas nyawa sahabatnya, ingin rasanya Zea membuang jauh-jauh, dan mengubur dalam-dalam benda mematikan itu. Namun di satu sisi benda itu juga menjadi kenangan terakhir dari Hans. Wujud dari suatu memori termanis juga terburuk dalam hidupnya.Lantas Zea mengedarkan pandangan berusaha mengenali sekitar, Pemandangan pertama yang terlihat oleh sepasang mata hijau itu adalah langit-langit plafon yang terukir dengan sulur-sulur memanjang berwarna keperakan, ini adalah kamarnya. Dan hal yang gadis itu rasakan pertama kali ad