Sudah beberapa saat, sejak Arga menunggu seseorang di sana, namun seseorang yang ditunggu itu belum juga memunculkan batang hidungnya, 'Kenapa Tuan Putri belum juga kembali?', batin Arga bertanya-tanya. Dia pun beranjak untuk bergegas mencari keberadaan sang tuan putri.
Lalu Sebuah cahaya yang berkerlap-kelip di sudut jalan menarik perhatian Arga. Pemuda itu berjalan menghampiri, lantad dipungut nya sebuah rantai dengan bandul berbentuk matahari yang memancarkan cahaya kuning terang.
Setelah itu Arga menyadari, suasana di sekitarnya sangat hening, berbeda jauh dengan keadaan di dalam istana yang masih tampak ramai dengan hiruk pikuk. Terlihat tidak ada orang lain sama sekali selain dirinya di taman tersebut.
"Apa dia sudah pergi?."
◇❖❖◇
RING! RING! RING!
Kali ini bukanlah suara denting bel yang berasal dari jam menara, melainkan Suara nyaring sirena yang terdengar memenuhi ruangan pesta, sehingga ikut menarik intensitas dari para rakyat dan
"AAAAAKKH!." Tiba-tiba saja Syrenka menjerit dan berguling-guling kesakitan, lalu tampaklah garis-garis berwarna keperakan yang sedikit demi sedikit menjalari leher hingga pangkal tenggorokannya, mulai bercabang dan mengakar hingga akhirnya saling terhubung menjadi saraf-saraf yang bertaut."Syrenka!." Pekik Alhena kaget. Sedangkan Sang Raja tak bereaksi, wajahnya tanpa ekspresi. "Syrenka kenapa, ayah?." Alhena berusaha menyadarkan ayahnya agar segera bertindak."AAkh!...aa!..aa!." Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Bahkan sampai Syrenka tak dapat berteriak lagi. Suaranya tercekat, dadanya terasa sesak. Dengan bengisnya Syrenka mencakar-cakar lantai guna meluapkan segala kesakitannya."Hari ini tepat hari ke-100, semenjak Syrenka menggunakan kekuatannya untuk mengabulkan permohonan manusia itu. Kini Kutukannya sudah terwujud.""Kutukan?, apa maksudnya ayah?!." Desak Alhena semakin kebingunan."Kutukan pengendali jiwa.
Di atas sana Matahari mulai memuncak, Langit menampakkan sinaran biru cerah, awan tampak sangat ramah, dihiasi dengan kicauan burung-burung merdu dari setiap rumah.Setelah pesta perayaan yang menjelang pagi, di susul dengan kabar duka yang tiba-tiba mendatangi. Kini para penduduk di kerajaan Maheswara sudah kembali berkutik pada rutinitas keseharian mereka.Ruangan Ballroom Istana juga sudah mulai di bersihkan oleh para dayang dan beberapa pekerja. Dekorasi-dekorasi yang semulanya indah terhias pada ruangan itu mulai di lepasi dan di bongkar guna menampilkan suasana aslinya.Sementara di tepi teras di atas sebuah balkon tampak seorang pemuda tengah berbincang dengan guru pembimbingnya. "Bukankah tak terlalu gegabah mengadakan rapat dadakan seperti ini?." Tanya Wirya."Menurut saya, juga karena Raja telah mendapat banyak desakan dari para bawahannya." Balas Arga, sembari berdiri melihat pemandangan dari balik balkon. seperti biasa di bah
Terdengar ketukan pintu singkat, disusul dengan suara lembut yang mengalun dari balik pintu, "Kak Mahrez..." Panggil seseorang.Setelahnya Mahrez membuka pintu kamarnya, dan mendapati adik perempuannya sedang berdiri menunggunya, "Sudahku bilang berapa kali, jika kau ada perlu cukup katakan pada pelayan saja, dengan begitu aku biaa segera menemuimu, Zea."Tutur Mahrez merasa tak tega, pemuda itu tak habis pikir dengan kebiasaan sang adik yang selalu rutin menemuinya setiap hari, padahal jarak istana mereka terbilang sangatlah jauh.Zea lantas memamerkan senyuman lima jari. Gadis itu tahu, jika setiap kali dirinya berkunjung pasti akan jadi seperti ini, maka kali ini Zea sudah membawa sebuah bingkisan sebagai antisipasi, "Tak apa Kak Mahrez, Zea kesini juga sekalian membawakan kue untuk cemilan, ini bikinan Zea sendiri lo, ayo cepat di cicipi mumpung masih hangat."Lagi-lagi sang kakak pun berhasil diluluhkan, Mahrez pun membi
Dalam kamarnya, Arga tampak tengah sibuk mengemasi barang perlengkapannya. Jika semuanya sesuai, Arga akan berangkat siang ini. Suasana disana tampak sunyi hanya suara nafas teratur, juga sesekali bunyi perlengkapan yang berbenturan yang terdengar. "Apa anda benar-benar yakin akan keputusan ini guru?." Tanya Wirya yang sedari tadi termenung memandangi gerak-garik sang guru dari pojok ruangan."Jika begitu, anggap saja keberangkatan kali ini sebagai liburan khusus untuk saya." Sembari menggaruk pipinya, sang pangeran bersuara, "Bukan begitu guru, hanya saja Wirya sedikit... Khawatir." Ungkap Wirya jujur, walau agak gengsi. "Lagipula, dengan sesekali mengabulkan keinginan sederhana saya ini, pangeran takkan keberatan bukan?." Timpal Arga tanpa mengalihkan pandangannya. Arga sengaja mempercepat agenda keberangkatan nya karena alasan lain. |Flashback On| Kemarin, seusai acara penobatan... "Senang rasanya, saya tak sa
Saat mereka tiba di lantai ketiga, langkah Mahrez terhenti di depan suatu ruangan yang terletak tidak jauh dari ujung tangga. Seakan mengerti, dayang-dayang segera beranjak, lalu membukakan pintu ganda tersebut untuk tuan mereka. Arga mengikuti jejak Mahrez yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan. Di dalamnya, dinding di dominasi warna hitam pekat, begitupun dengan furnitur-furniturnya kentara dengan aksen gelap yang elegan, suasana terasa kontras dengan keadaan di luar. Setelah di persilahkan Arga pun mengambil tempat duduk di seberang Mahrez, dengan di tengahi oleh meja luas berbentuk persegi. "Permainan apa yang kau bisa, Tuan Arga?." Tanya sang pangeran sembari mempersiapkan meja untuk pertandingan mereka. "Hmm, saya belum terpikirkan." jawab Arga seadanya. Sebenarnya niat awal Arga hanya ingin mencoba permainan disini, sebab rumor yang beredar mengatakan, selain dari ekspor alamnya, pencaharian kerajaan Glaciem juga bersumber da
"...Putri Allea sangat khawatir dengan keselamatan anda." Arga telah menyampaikan semua kisah yang di ketahuinya selama ini mengenai si putri kecil. "Saya memang tak merasakan rasa sakit seperti yang anda rasakan sekarang. Oleh karenanya, jika anda memang tak mau pulang kembali, saya tak akan memaksa." Timpal Arga kemudian, berusaha menghargai keputusan apapun yang akan Rahardian ambil. Tetapi di sebelahnya Rahardian masih memasang ekspresi datar, membuat Arga tak bisa membaca emosi apa pun dalam diri sang pangeran. seketika ruangan menjadi sangat hening. Untuk sesaat hanya suara helaan napas mereka yang terdengar, "Allea pasti sangat menderita, aku telah gagal menjadi sosok kakak untuknya." Sesal Rahardian, sembari mengacak-acak rambutnya frustasi. Rahardian tahu, bahwa tak sepatutnya terlalu mempercayai orang tak di kenal, apalagi orang yang baru di jumpainya dalam keadaan lemah seperti ini. Namun kalau hal itu menyangkut tentang adi
Keesokan Harinya... Setelah malamnya, Arga merundingkan bersama dengan Mahrez mengenai niatannya dalam mencari Pusaka kerajaan Glaciem. Walau awalnya sempat mendapatkan kencaman keras dari pihak yang bersangkutan, Sebab mereka beranggapan keputusan Arga yang terlalu cepat ini sangat disayangkan, mengingat belum keringnya pusaran makan Pangeran Raynar, semenjak kerajaan Maheswara bersedih akan kepergiannya. Namun alasan-alasan tersebut tetap tak cukup, jika di hadapkan dengan tekad kuat Arga yang memang sangat susah sekali untuk digoyahkan. Dan mau tak mau, Kerajaan Glaciem hanya bisa menyetujui kesepakatan yang mungkin lagi-lagi hanya akan mendatangkan kerugian sepihak semacam ini. "jika ada suatu hal apapun itu, Jangan ragu untuk langsung mengabari kami." Tukas Mahrez. "Tenanglah pangeran Mahrez, Jangan terlalu khawatir." Balas Arga berusaha menenangkan sang pangeran sembari menepuk pundaknya pelan. Seolah alasan dari kecemasan Mahrez bukan karena dirinya, Padahal sebenarnya k
"Semuanya putar haluan, kita akan kembali ke posisi berkemah semalam." Himbau Arga, seraya memutar arah kudanya. "Ada apa tuan?, bagaimana dengan tujuan kita semula untuk memasuki hutan terlarang?." Tanya seorang Jendral yang bertugas sebagai pemandu jalan. Sayup-sayup di belakang mereka, mulai terdengar bisikan-bisikan kebingungan dari para prajurit. Namun tidak ada yang berani bertanya lebih, mereka akhirnya hanya mengikuti perintah dan segera kembali ke tempat perkemahan. ◇❖❖◇ |Skip Time| Srek srek. Tiga orang prajurit terlatih tampak Sedang aktif menyelinap, merayap, hingga berguling-guling melalui semak-semak belukar. Seolah menemukan target baru, mata mereka terus mengintai tanpa berkedip sedetikpun. Tak lama setelahnya, seseorang dari mereka baru menyadari, jika ada keuntungan lebih, memilih mengenakan seragam hijau kemeliteran, mereka seperti hantu tak kasat mata. Lantaran warna hijaunya berkamuflase dengan rerumputan di sekitar. Jleb! Karena keasikan mengagumi kek