“Hei!” teriak si tangan kanan sembari menodongkan senjatanya ke arah Puti Bungo Satangkai. “Cepat beri tahu kami, siapa nama dan gelarmu agar mudah bagi kami membuatkan nama di nisanmu!”Bungo menyeringai halus. ‘Baik sekali kalian, sampai-sampai akan membuatkan nisan untukku!’Tapi tetap saja, Bungo tidak akan menggubris berbagai pertanyaan dari orang-orang tersebut. Dan ya, ia berhasil memancing emosi mereka.“Keparat!” si tangan kanan kembali bergerak, menyerang Bungo. “Meskipun kau seorang wanita, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu!”Ia melompat tinggi, berputar sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlihat seperti sebuah gasing. Tentu saja, bukan sembarang gasing, sebab ia memegang sebilah pedang lebar yang sewaktu-waktu dapat mencacah tubuh lawannya.Hanya saja, yang di lawan si tangan kanan itu bukanl pula seorang gadis biasa. Meskipun pengalamannya belumlah banyak dalam hal bertarung yang sesungguhnya, namun dengan sikap tenangnya itu, Bungo mampu memanfaatkan keadaan de
Sebab yang satu itu terlihat sudah ketakutan, Bungo pun bergerak cepat untuk menjatuhkan tiga lainnya.“B—Bunian!” tiba-tiba si pria yang terkencing di dalam celana itu berteriak, ia bangkit duduk dengan cepat. Bola matanya membesar, lalu melirik kepada pimpinannya. “Si—Sibunian! Dialah yang telah menghajar kami pagi tadi, Anta!”Sang pimpinan mengernyit, tatapannya tertuju kepada anak buahnya itu, lalu kepada Puti Bungo Satangkai yang lagi-lagi telah berhasil membuat dua anak buahnya yang lain terkapar dengan mudahnya.“Sibunian?” ulang sang pimpinan yang bernama asli Antaguna.“Benar!” ujar si pria yang masih menjeplok di tanah. “Dialah yang telah menggagalkan aksi kami pagi tadi!”Bungo menyeringai. ‘Jadi kau salah satu dari empat penjahat yang pagi tadi memperkosa Sarah? Begitu, ya?’Ini kesempatan yang baik untuk memberikan satu pelajaran berharga lainnya kepada pria tersebut. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh Bungo. Padahal, pagi tadi ia sengaja tidak membunuhnya, tentu sa
Dua tinju yang dilepas oleh Puti Bungo Satangkai beradu dengan dua telapak Antaguna. Dua energi berlainan saling bertemu dan menekan, membuat keduanya mengambang untuk sesaat di udara.Swoosh…!Dua energi yang berbenturan pecah dan menciptakan pusaran angin, sekejapan saja, lalu pusaran angin juga pecah dan membias ke segala arah.Splasssh!Antaguna dan Bungo saling bersalto ke belakang, berputar-putar sebelum menjejak ke tanah.Tapi Bungo tak hendak memberi hati, begitu kakinya mencecah permukaan tanah, dengan memanfaatkan kesaktian Kabut Kahyangan, ia telah melesat kembali untuk menyerang Antaguna.Dalam banyak hal yang pernah diajarkan oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih kepadanya, tidak meremehkan lawan adalah salah satu di antaranya. Itu sebab Bungo langsung menyerang kembali.Antaguna berbadan besar dan tinggi. Orang seperti itu pasti memiliki tenaga yang berkali lipat lebihb besar daripada orang lainnya, seperti kesembilan anak buahnya yang tadi. Ditambah pula dengan kemampuan si
Setelah mengatur napasnya sedemikian rupa, Puti Bungo Satangkai mengalirkan energi panas ke seluruh tubuhnya dalam gerakan kuda-kudanya di hadapan Antaguna.Antaguna terkekeh. “Dunia memang aneh!” ujarnya seolah dapat membaca pikiran sang gadis. “Untuk takaran gadis sebaik dirimu, kau seharusnya telah miliki satu jabatan penting di kepemerintahan. Tapi tidak, di sinilah kau kini, mengajakku bertarung secara kesatria. Aku suka itu!”Selesai berbicara, Antaguna pun mengalirkan energinya ke seluruh tubuhnya dalam gerakan kuda-kudanya. Bagaimanapun, ia cukup memahami bahwa gadis bercaping dan berjubah itu dengan sengaja memperlihatkan aura dalam gerakannya, memberitahukan kepadanya bahwa kali ini ia menginginkan pertarungan saling berhadapan.Lagi pula, dengan apa yang telah terjadi kepada kesembilan anak buahnya yang hanya dalam tempo yang sangat singkat dijatuhkan oleh si gadis, maka Antaguna juga tidak memandang remeh kemampuan gadis tersebut.Dari jurus telapak, kini Antaguna mengubah
Para penduduk yang berjumlah tak lebih dari sepuluh orang itu sama berteriak kaget, dentuman kencang itu seolah mampu menggetarkan tanah di bawah kaki mereka masing-masing.Puti Bungo Satangkai terpental ke belakang, ia berjumpalitan sedemikian rupa, dan menjejak tanah dengan posisi setengah berlutut. Ia tersenyum dengan sorot mata di bawah bayangan caping itu begitu tajam kepada Antaguna.Sedangkan Antaguna sendiri tersurut beberapa langkah, terdesak oleh gelombang ledakan dua tenaga dalam yang pecah barusan.Begitu terhenti, Antaguna melenguh pendek, tersedak namun ia masih mampu menahan itu. Lalu, terlihat lelehan darah muncul dari salah satu sudut bibirnya.“Katakan padaku,” ujar Antaguna dengan sorot mata menegang di balik kain pengikat. “Aku pernah mengenal seorang wanita sakti yang sudah sangat sepuh, di Bukik Siriah.”Bungo menyipitkan pandangannya terhadap Antaguna. ‘Apa maksudnya itu?’“Dan pernah sekali dua mendapat ‘pelajaran’ dari beliau,” kata Antaguna. “Apakah kau punya
Dengan terperangkapnya Puti Bungo Satangkai di dalam jaring merah, senjata dari Antaguna itu, maka para penduduk kembali dilanda ketakutan yang besar. Satu-satunya harapan yang sempat membersit di dalam hati mereka kini hilang musah entah ke mana.Sementara itu, Antaguna sendiri yang telah merasa mendapatkan ‘tangkapan besar’ tertawa-tawa. Ia bisa membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan ia lakukan pada gadis tersebut.“Kau tidak akan bisa menghindari Jaring Jerat Nagaku ini,” ujarnya.Lalu, ia mengangkat sang gadis, memanggulnya di bahu kanan. Ia melirik ke arah kudanya, dan sekali lompatan saja, ia telah berada di punggung kudanya dengan membawa serta sang gadis.Husni dan para penduduk lainnya kembali berlutut dengan kepala tertunduk kepada Antaguna. Gemetar pada tubuh mereka tak dapat mereka sembunyikan sebagai rasa takut pada apa yang akan diperbuat si pimpinan Kawanan Berbaju Hitam itu kepada mereka, juga terhadap gadis bercaping dan berjubah di bahunya itu.“Dengar!” ucap An
Selama di perjalanan itu, dalam panggulan Antaguna, Puti Bungo Satangkai selalu mencoba untuk bisa bebas dari belitan benang-benang halus berwarna merah itu. Tapi sebelum itu, ia harus bisa melepaskan pengaruh totokan pada tubuhnya terlebih dahulu.Meskipun ia menyesal karena sempat menganggap enteng senjata berupa jaring merah itu sebelumnya, namun hal itu sudah tidak berguna lagi. Bungo tetap memantapkan tekadnya untuk bisa lepas dari cengkeraman Antaguna.Sudah sedari beberapa saat yang lalu, ketika kuda hitam tunggangan Antaguna meninggalkan kawasan hutan di belakang, lalu berbelok memasuki kawasan ke arah barat. Bungo tidak lagi mendengar suara tawa pria berbada besar tersebut.Sang gadis semakin yakin bahwa Antaguna memang membawanya ke arah barat sebab dari posisi mereka itu, ia sudah bisa mendengar deburan ombak memecah di tepian, atau aroma garam yang terbawa embusan angin malam ke daratan.Sekian lama ia berada di bahu kanan Antaguna dengan kuda hitam besar yang menerabas se
Tatapan Puti Bungo Satangkai pada pria berbadan besar dan berotot itu semakin tajam laksana mata pedang yang terasah dengan sempurna. Tapi pria tersebut menanggapi tatapannya dengan tawa halus.“Sudah kukatakan, bukan?” ujar Antaguna. “Aku tidak ingin melihatmu mati kehausan.”Antaguna membuang daun talas begitu saja setelah air di dalamnya habis. Ia duduk begitu saja di tanah, menghadap ke arah sungai dengan dua lutut bertekuk ke atas. Untuk sesaat, ia memejamkan matanya demi meresapi embusan angin yang sepoi-sepoi.“Ke arah hilir sungai ini,” ia membuka matanya, melirik pada Bungo, lalu memandang ke arah kiri, arah hilir sungai. “Ada sebuah kawasan yang berdekatan dengan pantai. Cukup tersembunyi.”Antaguna kembali memandang pada gadis di atas gundukan tanah, ia tersenyum lagi, dan menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.“Sungguh,” ujarnya. “Jika menurutkan keinginanku, aku akan memperkosamu di sini, saat ini, sekarang juga.”Bungo menyipitkan pandangannya, laksana sepasang pedang kemb