“Baiklah, mohon tunggu sebentar,” ujar si istri. “Duduklah terlebih dahulu Datuk dan istri.”“Aah, maaf,” Talago harus menahan tawanya dengan wajah yang memerah.Begitu juga dengan Bungo yang terkesiap mendengar itu, ia langsung memalingkan mukanya yang merona.“Nona Bungo ini rekan seperjalanan saya,” kata Talago. “Bukan istri saya.”“Oh, maafkan kebodohan kami, Datuk,” si istri langsung membungkuk.Sang suami langsung mendekat. “Maafkan istri saya, Datuk.”“Tidak,” Talago tersenyum. “Tidak apa-apa.”Setelah itu, si pemilik warung dan istrinya segera berlalu demi mempersiapkan makanan dan minuman untuk Talago dan Bungo.Talago menemukan bahwa Bungo sedikit merasa canggung atas ucapan istri si pemilik warung barusan. Dia pun merasakan hal yang sama.Akan tetapi, Talago sendiri berpikiran bahwa tidak ada salahnya jika hal itu benar-benar terjadi, pikirnya.Siapa yang bisa menolak seorang gadis seperti Bungo? Kendatipun dia bisu, tapi dia seorang pendekar wanita yang sangat hebat, pikir
“Bagaimana dengan penginapan?”“Aah, sayang sekali, Datuk,” ujar si pemilik warung. “Memang, kampung kami ini kawasan persinggahan, tapi belum ada satu pun warga yang membuka usaha penginapan.”“Tapi kalau seandainya Datuk terus menyusuri ke arah utara,” ujar si istri pula. “Perkampungan pertama yang akan Datuk temukan lebih ramai daripada di sini.”“Begitu, ya?” Talago mengangguk-angguk.“Dekat dengan sebuah pasar rakyat.”“Aah, saya mengerti. Terima kasih.”Setelah mereka selesai makan, Talago mengeluarkan sekeping koin emas, ia memberikan koin itu pada si pemilik warung.Si pemilik warung membelalak, ia melirik pada istrinya yang juga dalam kondisi yang sama.Semua itu, menjadi perhatian khusus bagi Bungo sendiri.“Ermm, maaf, Datuk,” ujar si pemilik warung. “Ini terlalu besar bagi kami. Apakah Datuk tidak punya uang yang lebih kecil?”Talago tersenyum lebar. “Saya tidak mengatakan kalian harus memberikan kembalian kepada saya.”“Maksud Datuk?”“Kalian simpan saja,” ujar Talago. “
Cahaya sang fajar baru saja terlihat di ufuk timur, bahkan sang surya itu sendiri belum memperlihatkan wujudnya, masih malu-malu di bawah kaki langit. Namun, Talago dan Puti Bungo Satangkai telah melanjutkan perjalanan mereka.Mereka terus melangkah menyusuri jalan tanah yang sepertinya cukup sering digunakan oleh penduduk setempat. Dua jalur seperti bekas dilewati oleh kereta kuda dan sebagainya, tercetak jelas di permukaan tanah.Semakin jauh mereka melangkah ke utara, semakin mereka sering bertemu dengan para penduduk.Ketika sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya, barulah mereka tiba di satu perkampungan yang cukup ramai. Tidak berapa jauh dari perkampungan itu, ada sebuah pasar rakyat.Talago mengawasi keadaan di sekitar mereka sebelum memasuki kawasan pasar itu. Ia melihat sebuah gunung di arah barat laut.“Maaf, Apak,” ujarnya pada seorang pria yang sedang memanggul keranjang berisi umbi-umbian.“Ooh, Tuan Datuk,” ujar sang pria ketika mengenali bentuk pakaian Tal
“Maafkan saya bila berlaku lancang,” kata si pemilik dengan senyum lebar di wajahnya. “Akan tetapi, kampung kami ini sangat jarang dikunjungi oleh seorang Hulubalang Kerajaan, bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Datuk tentu paham, orang-orang seperti kami akan sangat berbangga bila Datuk bersedia singgah di tempat kami.”Talago tersenyum, “Aku bisa memahami perasaan Anda, Tuan Semang. Akan tetapi, ini adalah usaha Anda. Jadi, terima saja bayaran ini.”“Tapi Datuk—”Talago meletakkan sekeping koin emas ke telapak tangan si pemilik.“Oh iya,” ujar Talago kemudian. “Bisakah Tuan Semang menyediakan sarapan untuk kami berdua?”Sang pemilik tersenyum lebih lebar, tidak terbayang seperti apa rasa bangga dan senang di dalam hatinya kini.“Dengan senang hati, Datuk,” ujarnya seraya sedikit membungkuk. “Dengan senang hati.”Begitu Talago dan Puti Bungo Satangkai memasuki kamar itu, sang pemilik mengusap-usap wajah dan dadanya berulang kali sebagai pertanda syukurnya atas anugerah yang ia da
Itulah yang sebenarnya sedari tadi ditunggu oleh sang gadis. Sebuah permintaan. Bukan lantaran ia memandang bahwa ia satu-satunya yang akan mampu menolong sang datuk, namun lebih kepada tata krama.Bungo tersenyum dan bangkit dari kursinya. Lantas ia melangkah ke belakang Talago, duduk bersila menghadap punggungnya.Ia menyentuh punggung Talago sebagai sebuah isyarat bahwa ia akan memulai penyaluran tenaga dalamnya.Talago paham itu, ia lantas memusatkan pikiran dan energi di dalam tubuhnya agar tidak melawan energi dari Bungo yang akan memasuki tubuhnya.Baru sekejap saja sang gadis menyalurkan hawa panas ke dalam tubuh sang datuk muda, wajah sang datuk sendiri langsung memerah. Hawa panas seolah memuai, keluar dari setiap pori-pori di tubuhnya. Bahkan di bagian ubun-ubunnya mengeluarkan uap tipis.Hingga pas sang surya berada di titik tertingginya, barulah pengobatan lewat olah tenaga dalam itu selesai.Talago terengah-engah dengan wajah dan sekujur badan bermandikan keringat, dan i
“Kau berusaha menampik, ya?” si jangkung kembali tertawa-tawa. “Dengar kalian semua, hai, orang-orang pasar!” ujarnya sembari mengembangkan tangan sedemikian rupa. “Pria muda itu,” ia menunjuk Talago dengan kasar, “mengaku sebagai si Kumbang Janti, salah satu dari Tujuh Hulubalang Minanga. Tapi tidakkah kita semua tahu bahwa si Kumbang Janti belumlah menikah? Masih lajang? Sedangkan dia… kalian bisa lihat sendiri, dia keluar bersama seorang gadis dengan tubuh basah oleh keringat.”“Hentikan ucapanmu yang mengada-ada itu!” ucap Talago dengan wajah yang kian memerah. “Jika tidak ada bukti, jangan menuduh sembarangan!”Sesungguhnya, ucapan si pria jangkung itu juga memancing tanda tanya besar dari semua warga yang ada di pasar tersebut. Begitu juga terhadap si pemilik penginapan. Sebelumnya, ia tidak pernah tahu gelar Talago selain karena pakaiannya itu sendiri.Dan ya, semua orang mengetahui bahwa Hulubalang Kerajaan bergelar si Kumbang Janti memanglah masih lajang, dan ketampanannya te
Sementara itu, Puti Bungo Satangkai hanya berdiri berdiam diri saja sembari mengawasi si pria jangkung. Tatapannya tidak terlepas dari yang satu itu.‘Mulutnya lebih beracun daripada ular sekalipun!’Plekh!Bungo mengernyit, menggeram ketika seseorang melemparinya dengan sebongkah sayuran, dan sayuran itu mengenai kepalanya.Ia melihat si pelempar sayur itu, tapi ia menjadi ragu untuk bertindak, sebab si pelempar itu ternyata seorang rakyat biasa yang terhasut oleh ucapan si pria jangkung.“Pergi kau!” teriak si pelempar.“Benar!” sahut yang lain pula. “Pergi dari kampung kami!”“Kalian telah berbuat tak senonoh di sini!”“Kalian hanya akan mendatangkan bala pada kampung kami!”Lalu, satu per satu benda-benda melayang ke arah Bungo. Berbagai jenis sayuran, bahkan ada pula bongkahan tanah dan batu, juga patahan kayu.“Pergi dari sini!”‘Ini tidak baik,’ pikir Bungo. ‘Orang-orang telah terhasut.’Meskipun hanya beberapa saja dari mereka sekarang, namun lambat-laun, hasutan itu pasti aka
Saat di tengah kekacauan itu, Puti Bungo Satangkai tidak melihat lagi keberadaan si pria jangkung yang telah memfitnahnya.‘Ini tidak baik!’Ia segera merangkul Talago, dan belum sempat sang Datuk Hulubalang itu mengatakan sesuatu, Bungo telah membawanya menghilang dari hadapan semua orang.Tiga orang yang menyerang Talago dan Bungo secara bersamaan hanya mengenai tempat kosong.Semua orang memandang ke sana kemari.“Di mana mereka?!” teriak seorang di antara ketiganya.“Mereka pasti menggunakan semacam pukau untuk mengelabui mata kita semua!” sahut yang lainnya pula.Dengan kemampuannya dalam gerakan Kabut Kahyangan, Bungo membawa Talago kembali ke kamar mereka tanpa seorang pun yang menyadari.Lalu, sang gadis menunjuk ke arah kamar mandi. Meskipun Talago tidak terlalu memahami apa yang dimaksudkan oleh Bungo, namun ia menurut saja.Setelah menyambar kembali baju dan detanya, Talago mengikuti Bungo ke dalam kamar mandi itu.Brakk!Semua mata tertuju ke kamar besar di mana Bungo dan