Suara dentuman musik memekak telinga. Draco duduk di depan kursi bartender. Dia keluar malam, di kala penat kepalanya menyerang. Pria itu memutuskan untuk pergi ke klub malam. Sejak di mana Mireya kembali muncul, Draco merasakan pusing. Tentu dia tidak pernah takut pada siapa pun. Hal yang membuatnya pusing adalah Mireya akan selalu mengusiknya.“Tuan, Anda hanya sendiri?” sang bartender berusaha mengajak bicara Draco.Draco menenggak vodkanya. “Asistenku nanti akan datang. Tapi ada pekerjaan yang harus dia lakukan.”Draco datang di klub malam itu hanya sendiri. Pria itu tidak ditemani Nigel, karena kebetulan memang ada pekerjaan yang harus Nigel selesaikan. Pekerjaan di mana yang Draco perintahkan. Menjadi asisten pribadi seorang Draco Riordan, harus siap bekerja pagi, siang, sore, dan malam. Pria itu tidak pernah sedikit pun mengenal kata lelah dalam bekerja. Sebab, jauh sebelum mengenal Luna—Draco hanya mencintai dan peduli pada pekerjaannya.“Tuan, ingin berdansa denganku?” Seora
Uap memenuhi kaca-kaca yang ada di kamar mandi. Dua insan tengah berendam di dalam jacuzzi mewah. Pagi menyapa Draco sudah mengajak Luna untuk berendam. Mereka seolah layaknya pasangan berbulan madu. Walaupun sifat Draco masih tetap dingin, tapi perlahan-lahan pria itu sudah menunjukkan sisi lembut. Tidak sekejam sebelumnya.“Draco,” panggil Luna pelan. Gadis itu tengah duduk di pangkuan Draco, sambil menenggelamkan wajahnya di leher pria itu.Draco mengusap punggung Luna. “Ada apa?”“Kalau hari ini kau tidak ke kantor bisa tidak?”“Kau ingin aku bekerja di rumah?”“Iya. Aku ingin kau bekerja di rumah. Tapi kalau kau keberatan tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu.” Draco menangkup kedua pipi Luna. Tidak biasanya gadis itu meminta hal seperti ini padanya. “Kenapa kau tiba-tiba memintaku bekerja di rumah?”Luna menggigit bibir bawahnya. “A-aku hanya ingin berada di dekatmu saja, Draco. T-tapi kalau kau tidak bisa, aku mengerti.”Luna merutuki dirinya yang berani meminta Draco bekerj
Draco berjalan menelusuri koridor rumah sakit, dengan raut wajah yang memendung kemarahan tertahan. Pria itu terbakar emosi karena memikirkan apa yang asistennya katakan. Jika benar, artinya Mireya sangatlah bodoh. Berani sekali wanita itu bertindak, tanpa memikirkan akal sehatnya dengan baik.“Tuan…” Nigel begitu sigap menyapa Draco yang baru saja datang. Dia tiba di rumah sakit sebelum tuannya itu datang. Draco menatap dingin Nigel. “Bagaimana keadaan Mireya?”“Dokter baru saja memeriksa Nona Mireya. Untungnya luka goresan di pergelangan tangan Nona Mireya tidaklah mengenai urat nadinya. Beliau bisa diselamatkan. Tapi saran dokter, mohon jangan bebani Nona Mireya dengan pikiran berat,” tutur Nigel memberi tahu.Draco sedikit berdecak dan meloloskan umpatan dalam hati. Pria itu kesal karena Mireya berani mengambil sebuah tindakan gila yang tak masuk akal sehat. Tindakan di mana wanita itu nyaris melukai diri sendiri.“Apa Mireya bisa ditemui?” tanya Draco dingin dan datar.Nigel me
Draco melangkah keluar ruang rawat Mireya, di kala wanita itu sudah berhasil tidur. Tampak raut wajah Draco menyimpan rasa kesal. Dia terpaksa tidak pulang, karena kegilaan Mireya yang bunuh diri. Sebenarnya, bisa saja hari ini Draco pulang, tetapi jika dia nekat pulang, Mireya melakukan kegilaan lagi. Terpaksa, Draco memilih untuk menginap di rumah sakit, demi Mireya tak melakukan tindakan konyol.“Tuan.” Nigel menunduk sopan pada Draco.Draco memejamkan mata singkat. “Minta orangku berjaga di sini. Siapkan juga pelayan yang selalu menemani Mireya. Aku tidak mau dia bertindak gila lagi.”Draco memutuskan untuk meminta Nigel menyiapkan pengawal dan pelayan. Jika tidak seperti ini, maka besar kemungkinan Mireya kembali melakukan hal nekat. Paling tidak, dia sudah berjaga-jaga sebelum hal yang tak diinginkan kembali terulang.Nigel mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”“Nigel, apa Luna sudah tidur?” tanya Draco seraya menatap Nigel. Dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh Luna. Hati dan pikira
Luna tidak bisa tenang. Matanya sudah sembab akibat tangis yang sejak tadi mendera. Air matanya memang sekarang sudah mengering, tapi hatinya tetaplah hancur berkeping-keping. Otaknya terngiang mengingat suara wanita yang memanggil Draco di kala dirinya tengah melakukan panggilan telepon pada Draco.Jika saja Luna bisa, dia ingin sekali menyusul Draco. Namun, itu adalah hal yang tak mungkin. Dia tidak bisa pergi ke luar rumah, tanpa izin dari Draco. Pelayan sudah pasti akan melarang Luna pergi.Luna menatap ke luar jendela, tatapannya kosong dengan raut wajah yang menunjukkan kesedihannya. Dia belum pernah merasakan sesakit ini. Sejak dulu, tidak pernah sedikitpun Luna dekat dengan seorang pria seperti dia dekat dengan Draco.Luna menyadari bahwa memang Draco membelinya di pelelangan. Bisa saja kalau suatu saat Draco bosan dan membuangnya. Tidak ada yang tidak mungkin. Dia menyadari tempat posisinya saat ini. Namun, tak memungkiri bahwa Luna memiliki harapan di mana dia berharap Draco
Hati Luna seperti tertikam belati tajam mendengar apa yang Draco katakan. Tenggorokannya seperti menelan ribuan jarum. Yang sakit bukan hanya hatinya saja! Tapi sekujur tubuh gadis itu. Mata sudah berembun penuh menyimpan air mata yang pastinya akan tumpah lagi dalam hitungan detik.Tubuh Luna terguncang akibat sakit yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Gadis itu ingin menjerit sekencang mungkin akibat rasa sakit yang dia dapatkan setelah mendengar pengakuan Draco. Luna belum pernah sama sekali merasakan luka seperti ini dalam hidupnya. Dia kerap ditampar oleh bibinya. Dia kerap menahan lapar di kala bibinya tak memberikannya makan.Akan tetapi rasa sakit penderitaan yang bibinya berikan padanya, tetap tidak sebanding dengan luka yang dia rasakan sekarang. Tubuhnya layaknya piring yang sudah hancur berkeping-keping. Kaki Luna melemah. Dia nyaris tersungkur. Untungnya sosok pria yang melukainya itu masih memegangnya. Jika tidak, sudah pasti dia akan terjatuh tersungkur di lan
“Di mana Draco?” Mireya baru bangun tidur, langsung menanyakan keberadaan Draco. Yang dia inginkan adalah selama berada di rumah sakit, Draco selalu ada di sisinya. Namun, malah apa yang dia inginkan tidaklah menjadi nyata. Tunangannya itu tidak ada di ruang rawatnya.“Tuan Draco sudah pulang, Nona. Beliau sedang istirahat. Selama Tuan Draco Riordan tidak ada, Anda akan dijaga oleh pengawal dan pelayan.” Nigel menjawab sopan. Dia masih berada di ruang rawat Mireya, karena menunggu sampai Mireya membuka mata.Mireya berdecak. “Beri tahu aku di mana alamat Draco tinggal dengan pelacur itu!”Draco memiliki banyak mansion dan penthouse. Mireya tidak tahu tinggal di mana tunangannya itu bersama dengan pelacur itu. Dia sudah tak bisa menahan diri. Dia ingin sekali menemui pelacur itu dan menghajarnya.“Nona, untuk hal itu Anda lebih baik bertanya langsung pada Tuan Draco Riordan. Saya tidak memiliki hak untuk menjawab pertanyaan Anda.” Nigel tak berani memberi tahu di mana tuannya itu tingg
Mata Luna mengerjap beberapa kali. Rasa sakit di kepalanya sedikit membuatnya kesulitan membuka mata—akibat dia meloloskan rintihan sakit. Gadis itu memijat pelipisnya demi mengurangi rasa sakit. Namun, detik di mana dia memijat keningnya—ada handuk terjatuh.Luna sedikit terkejut handuk kecil khusus kompresan demam ada di hadapannya. Raut wajahnya berubah menjadi bingung. Dia tak tahu ada apa dengan dirinya sampai dikompres. Apa dia sakit? Jika iya, kenapa dia tidak sadar?“Selamat pagi, Nona Luna.” Seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar sambil membawakan nampan yang berisikan soup dan juga obat.Luna menatap sang pelayan yang sudah ada di hadapannya, menatap sang pelayan mengantarkan semangkuk soup hangat dan juga obat. “Itu obat apa?” tanyanya pelan dan bingung.“Ini adalah obat untuk menguatkan stamina Anda yang sempat menurun.” Pelayan meletakan obat itu ke atas meja. “Namun sebelumnya, saya sarankan Anda untuk memakan soup lebih dulu, selagi soup masih hangat.” Luna mas