Sunyi, senyap mencekam. Raut wajah, Dokter Farida pun berubah tak seperti biasanya. Sulit untuk aku artikan. Aku duduk di hadapannya bagaikan orang yang sedang menunggu sidang hukuman atas kesalahan. Entah kesalahan yang mana yang aku perbuat."Dok, apa saya ada salah? Kenapa Dokter menatap saya. Seperti itu?" tanyaku canggung. Wajah Dokter Farida tak seramah saat kami bertemu. Seperti ada raut jengkel dari dirinya untukku. "Tidak ada, ini untukmu!" ujarnya sambil menyodorkan sebuah amplop yang semakin membuatku bingung."Apa ini Dok?" tanyaku lagi."Buka saja, bukannya kamu ingin tahu siapa orang yang mendonorkan hatinya untuk putramu bukan?" jelas Dokter Farida yang terasa ganjal di telingaku. 'Kamu?' bukannya selama ini Dokter Farida memanggilku dengan sangat formal. Kenapa hari ini berubah? Namun nada suaranya? Ah, sudahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku yang masih diliputi kebingungan mencoba untuk santai dan menerima surat itu. Membukanya dengan perlahan namun belum
"Aku sudah baca suratmu. Terima kasih, terima kasih atas pengorbanan yang kamu lakukan padaku. Kamu boleh kok, memanggilku sayang. Sepuas apa pun yang kamu mau," kataku.Salah satu tanganku mengusap wajahnya yang tampak tirus. Rambut-rambut halus tumbuh di sana. Rasa-rasanya baru dua minggu kami tak bertemu, namun ia pun tampak sama berantakannya denganku. "Kenapa, kenapa kamu melakukan semua ini. Hatimu terbuat dari apa? Saat Ayah kandungnya saja mengabaikan, lalu kenapa kamu menjadi pahlawan. Bukankah dia bukan darah dagingmu?" kataku terus bercerita. Walau tak mendapat respons darinya. "Kamu tahu, sikap kamu seperti ini membuatku menjadi orang yang jahat, Langit. Kenapa kamu mengambil keputusan yang beresiko ini tanpa memberi tahu aku terlebih dahulu, kenapa? Kamu mau orang-orang menganggapku jahat padamu. Hmm!" ujarku lagi. Berbicara sendiri."Bangun Langit! Bangun ... dan jelaskan semuanya padaku. Aku mohon jangan pergi, jangan tutup matamu lama-lama. Aku tak sanggup melihatmu
"Mbak sudah! Tahan emosimu, Mbak. Kita bicarakan semua dengan kepala dingin! Ini rumah sakit Mbak!" ujar Dokter Farida. Ia sedang mencoba menenangkan induk singa yang sedang mengamuk karena anaknya terluka. Naasnya, aku lah yang menjadi bulanan kemarahan induk singa tersebut. Andai ada lobang di sini. Aku ingin sekali membenamkan tubuhku ke dalam lobang tersebut. Aku merasa tubuhku kecil di kelilingi para raksasa yang memaki-maki diriku dan siap menerkamku.Bisikan para penonton bagai suara nyamuk yang berdenging di telinga. Berisik dan menyakitkan hati. Mereka berkomentar seolah mereka tahu segalanya. "Diam kamu Farida. Rumah sakitmu ini bisa aku tuntut!" Telunjuk Bu Dahlia menunjuk ke arah Dokter Farida. Lalu secepat membalikkan telapak tangan beralih padaku. Tatapn mata itu semakin tajam. Hilang sudah image lemah lembut yang selaam ini aku ketahui tentangnya. Ternyata orang yang lembut saat marah jauh lebih mengerikan dari yang bisa aku banyangkan. "Dan kamu! Mana lelaki yang be
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem