"Sudah lah Intan, jangan menangis lagi! Tak perlu kamu tangisi lelaki seperti itu. Sebaiknya sekarang kamu obati dulu lukamu itu!" Mas Yoga menyerahkan kota P3K yang selalu tersedia di dalam mobilku. Kini kami berada di pinggir taman. Setelah perkelahian tadi, aku dan Mas Yoga pergi dari rumah itu dengan hati yang sulit untuk di gambarkan. Sedangkan pakaianku, aku mengambil pakaian yang masih ada di lemari kamarku."Aku hanya tak menyangka saja, Mas Dika akan berbuat begini padaku. Waktu sungguh membuktikan bahwa keadaan dapat mengubah seseorang." ucapku lirih. Aku terdiam sejenak menatap langit terang dari balik jendela. Angin yang berhembus dari pohon akasi menerpa wajahku. Di taman itu banyak anak-anak yang sedang bermain riang. Hari mulai sore. Aku menatap anak-anak yang bermain ayunan dan plosotan dengan riang. Sedangkan kedua orang tuanya duduk santai di kursi panjang sambil mengobrol.Membuat hatiku itu melihatnya. Sebenarnya tak banyak yang aku inginkan. Pernikahan yang tena
"Cerita apalagi, tentu saja kenyataan kalau kamu lebih memilih untuk bersama selingkuhanmu itu. Sampai-sampai kamu tega menyuruh selingkuhan kamu untuk memukul anak saya! Jika kamu sudah tak mau lagi dengan Dika. Silahkan kamu pergi saja dari hidupnya, tapi jangan bawa-bawa Ammar. Biar cucu saya, saya yang merawatnya. Saya nggak mau cucu saya kena pengaruh buruk dari Ibunya yang tak tahu berterima kasih," hina Mama. Tanganku terkepal erat. Nini yang datang membawa nampan minuman dan cemilan seakan mengintrupsi ucapan Mama. Membuat wanita tua ini diam sejenak. Aku tahu dari tatapan matanya yang tak suka melihat kedatangan Neneng, sebabnya masih banyak kata-kata pedas lagi yang ingin ia sampaikan."Silahkan di minum air-nya, Bu!" ucap Nini. "Nggak usah saya ke sini bukan untuk numpang minum!" Nini terkejut. Matanya membulat mendengar ucapan Mama yang menyinggung perasaannya. Tanpa pamit Nini langsung pergi meninggalkan kami. Aku melihat ke arah Nini sekilas, lalu kembali ke pada Mama
"Sekarang coba Mama beritahu aku, aku harus menyelesaikan masalahnya seperti apa? Bagaimana jika Mama yang berada di posisi aku. Apa Mama akan menerima begitu saja saat aman diduakan oleh Papa. Semudah Mama mengatakannya padaku saat ini!" Aku membalikkan ucapannya.Kuteguk ludah ini. Enak sekali ia berkata seperti itu dengan mudahnya. Memintaku menerima dengan ikhlas apa yang dilakukan putranya dengan lapang dada. Memangnya ia pikir hatiku ini terbuat dari apa? "Intan! Jaga bicaramu. Tak pantas kamu berbicara pada orang tua seperti itu. Apa kamu lupa, aku ini masih mertuamu!" "Kenapa Ma?! Bukannya apa yang aku katakan itu benar. Mama nggak usah sok menasehati aku tentang kata ikhlas. Jika Mama saja masih merasakan cemburu saat Papa digoda wanita lain di luaran sana. Tak ada satu pun wanita di dunia ini mau untuk dimadu. Begitu pun dengan Mama. Mama bisa santai mengatakan itu saat ini padaku, karena yang melakukan itu adalah putra Mama!" jawabku. Aku atur napas yang bergemuruh hebat
POV. DikaSepanjang hari aku selalu gelisah. Jiwaku meronta-ronta. Hatiku perih dan gersang. Luka di wajahku ini tak seberapa di banding sesak di dadaku. Sejak kejadian malam itu, aku mengajukan cuti selama satu Minggu untuk memulihkan luka akibat pukulan pria yang bersama Intan. Selain wajah yang lebam, tulang rusukku pun bagian bawah mengalami cidera retak satu.Lelaki itu memukulku dengan membabi-buta. Siapa dia yang berani-beraninya ikut campur urusanku. Aku ingin melaporkanya pada polisi. Namun setelah mengetahui identitasnya yang seorang pengacara, ditambah lagi luka yang aku tinggalkan di wajah Intan waktu itu bisa ia jadikan bukti yang berbalik pada diriku sendiri.Melihat kedekatan pria itu bersama Intan. Aku yakin, lelaki itu juga menaruh rasa pada istriku itu. Aku tak mau ia pergi meninggalkanku. Saat akalku mulai buntu dengan segala ide, akhirnya aku menelpon Mama. Memintanya untuk merawatku sekaligus membantu aku meyakinkan Intan untuk membatalkan gugatan cerainya padaku
Hingga selesai makan malam aku kembali ke kamar. Ponselku yang aku tinggalkan, berada di atas nakas sebelah ranjangku ini pun masih berdering. Dari pagi sampai sore, Sukma tak henti-henti menelponku. Aku yang mulai bosan akhirnya mengangkat telponnya. "Mas! Kamu kemana saja sih, dari tadi ditelpon nggak diangkat, di sms nggak juga di balas?" ucapnya begitu cepat saat sambungan telponnya aku angkat. "Aku lagi istirahat. Apa kamu lupa, aku ini masih sakit?! Memangnya ada hal penting apa, hingga kamu menelponku?" tanyaku tak bersemangat."Kirimkan aku uang, Mas. Uang yang kamu kirim kemarin habis. Apa lagi skincare aku juga udah pada habis semua," pintanya. Aku yang sedang pusing karena masalah Intan, kini menjadi semakin meradang mendengar ucapan Sukma. Jatah bulanan 20 juta yang baru dua hari yang lalu aku kirimkan kini sudah habis tak bersisa. Apa dia pikir aku ini ATM berjalan apa."Nggak ada! Baru kemarin aku kirim kenapa sudah habis. Kamu beli apa saja? Kamu boros banget sih!" g
"Pa ... aku mau pulang ke rumah Oma, aku kangen sama Mama. Nanti pulang sekolah, Papa antar aku keruang Oma, ya!" pinta Ammar. Di tengah acara sarapan kami. Aku yang sedang meminum kopiku pun menoleh. Sudah beberapa hari tak bertemu dengan Ibunya. Anakku ini mulai kangen."Loh ... di sini juga ada Eyang. Kenapa Ammar justru mau pulang ke rumah Oma. Ammar tak sayang sama Eyang Uti, ya?" balas Mama cepat. Ammar menggeleng. Ia memakan nasi goreng yang ada di hadapannya malas. Sejak tadi nasi goreng itu masih banyak yang tersisa. "Bukan gitu enyang. Aku rindu masakan Mama. Masakan Bibi tak enak!" jawab Ammar polos."Kalau masalah makanan, nanti sepulang dari sekolah, Eyang ajak Ammar makan di restoran yang paling mahal dan pastinya paling enak dari masakan Mamamu itu. Ammar mau kan? Yang penting Ammar di sini, bersama Eyang!" rayu Mama. Namun rasa rindu seorang anak pada ibunya tak dapat di tahan seperti mata air yang mengalir tak dapat di bendung."Tidak Eyang. Ammar mau pulang, jika P
POV. SukmaAku menggenggam ponselku dengan erat. Mas Dika benar-benar kelewatan ia benar-benar berubah. Biasanya Iskan langsung menuruti keinginanku. Saat aku meminta sesuatu padanya. Baik itu uang, perhiasan atau apa pun itu. Sekarang, bayangkan! Aku meminta uang tambahan padanya saja ia tak mau memberi. Kartu kreditku pun juga sudah ia tarik. Bikin aku sudah saja. Jika begini, untuk apa aku menikah dengannya. Sampai-sampai aku rela jadi istri ke-dua. "Sukma! Ngapain kamu bengong di sudut itu. Katanya mau belanja? Sini ... pilih baju yang mau kamu beli. Kami sudah selsai dan mau bayar ini," teriak Tiara padaku. Aku melirik hamparan baju yang terpajang cantik di butik ini. Aku menelan ludah, semua baju di sini cantik-cantik dan mahal. Bayar pakai apa aku jika aku mengambilnya? Uang yang aku miliki sudah habis tak bersisa. Lagi pula aku tak mungkin mengetakan pada mereka jika aku tak memiliki uang, bisa malu tujuh turunan aku. Kalau tahu begini, mending aku tak usah ikut ajakan mere
"Kamu kenapa sih Sukma, dari tadi sikap kamu aneh banget? Biasanya paling usia kalau dia Jak belanja, apalagi belanja perhiasan seperti ini?" tanya Tiara menyelidik. "Ho ... oh, aneh banget. Seperti ada sesuatu yang di sembunyikan gitu?" ujarnya menyelidik. Aku berusaha untuk tetap tenang agar mereka tidak curiga."Aku ... menyembunyikan apa? Ah ... itu hanya perasaan kalian saja lah! Sekarang tu udah malam, lihat jam di tangan sudah nunjukin pukul sepuluh malam. Apa kalian nggak ingat keluarga di rumah. Jadi belanja perhiasannya besok saja lah," dalihku. Aku bisa malu jika harus masuk kedalam toko sana. Baru beberapa waktu yang lalu aku jual perhiasan. Eh ... kini justru ke sana lagi untuk pura-pura beli. Aku takut pelayan disana keceplosan pada mereka dan membuat harga diriku terinjak-injak."Apa yang dikatakan Sukma ada benarnya juga. Besok aja belinya, sekarang udah malam. Nanti suami-suami kita pada nyariin. Kalian Mas enak suaminya jarang di rumah, lah aku ...," Dwi menunjuk w