SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
Jalan tidak akan mungkin selalu lurus dan datar. Begitupun dengan perjalanan hidup. Zona nyaman tidaklah bisa berlama-lama kutapaki. Saatnya untuk kembali berpikir keras mencari jalan keluar untuk permasalahan satu ini.Memindahkan anak-anak ke sekolah yang dekat dengan tempat kerjaku, masuk ke dalam daftar calon solusi. Kucoba pikirkan lagi, agak berat juga memindahkan anak-anak secara mendadak. Aku tidak bisa sembarangan memasukkan anak-anak ke lingkungan yang baru. Belum tentu juga nanti mereka akan nyaman.Jika aku yang mengantar, tentu ada pilihan kemungkinan. Mereka yang kepagian atau aku yang akan kesiangan.Sempat juga terlintas untuk fokus saja mengurus anak-anak di rumah dari pada memaksakan bekerja dengan penghasilan yang tidak seberapa. Namun, terpikir juga olehku bagaimana jika suatu waktu Hendi lalai dari tanggung jawab nafkah untuk anak-anak. Bagaimana kelanjutan masa depan mereka?SeteSINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPart 15Hampir satu bulan sejak Hendi terakhir mentransfer uang untuk anak-anak. Jumlah yang separuh nya lagi belum juga kunjung digenapi. Sekarang sudah berganti bulan.Ini adalah salah satu hal yang aku khawatirkan dulu makanya aku mencoba bertahan. Setelah berpisah, jarak antara kami akan semakin terbentang. Tidak akan ada lagi keleluasaan dalam hal apapun. Akan tetapi, mau diapakan lagi. Setiap pilihan pasti ada resikonya.Sejak dahulu, aku sudah terbiasa hemat dan hidup sederhana dan masih kuterapkan hingga saat ini. Walaupun berhemat, aku tidak mau anak-anak menjadi kekurangan. Sedapat mungkin segala yang dibutuhkan bisa secepatnya dipenuhi. Mau tidak mau, uang tabungan harus dikorbankan. Aku mencoba menghubungi Hendi. Hanya semata-mata untuk mengingatkan dia akan kewajibannya. Akan tetapi, sudah tiga kali aku teleponku masuk, tidak ada respons darinya. Kutaruh kembali HP. Tak lama berselang, la
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASetelah pertemuan tak sengaja waktu itu, Hendi menepati janjinya. Ia datang ke rumah Ibu untuk mengunjungi anak-anak.Pelan-pelan Rara mulai mamahami keadaan kami. Dia sudah bisa mengerti bahwa papa dan mamanya tidak lagi tinggal di rumah yang sama sehingga tidak setiap waktu bisa berkumpul seperti dulu lagi.Sedangkan Khalif sudah sepenuhnya mengerti kalau kedua orang tuanya sudah tidak lagi terikat dalam pernikahan. Sehingga tidak boleh lagi tinggal bersama. Kuakui, sulit bagiku menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padanya. Beruntung Khalif termasuk anak yang tidak egois. "Kakak nggak apa-apa kok, kalau Mama dan Papa sudah tidak bersama lagi. Yang penting Mama sudah tidak bersedih lagi." Aku terharu mendengar tanggapan Khalif. Ternyata selama ini diam-diam dia tahu apa yang selama ini kurasakan."Tapi, walaupun Papa tidak lagi bersama kita, Papa tetap sayang sama Kakak dan adik
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAMemiliki lingkar pertemanan yang sama dengan Hendi, membuatku agak sulit untuk melepaskan diri dari kenangan bersamanya.Sama-sama menjadi pengurus OSIS ketika SMA dan aktif di organisasi kemahasiswaan semasa kuliah. Di mana aku berada pasti akan ada dia, begitulah bertahun-tahun kami lalui.Beruntung, semenjak pernikahannya dengan Nadia, Hendi pelan-pelan senyap dari grup-grup alumni. Aku pun berlahan-lahan menarik diri. Baru belakangan ini saja aku mulai sesekali muncul.Segera aku menghubungi Ricky, mempertanyakan perihal transferan puluhan juta ke rekeningku."Aku sudah bilang, aku bukan makelar, nggak usah dikasih fee segala. Kirim aku no rekening, ya. Aku kirim balik," ucapku pada Ricky."Kak Tiara jangan gitu, dong! Memang sudah seharusnya seperti itu." "Tapi kita tidak pernah punya kesepakaran tentang hal itu," tekanku."Please, jangan ditolak. Kalau Kak Tiara nggak
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUATak lebih dari sepuluh menit, Obi sudah datang lagi dengan mengendarai mobil. Entah mobil siapa, aku belum sempat bertanya. Dia langsung menggendong Rara ke mobil. Kami bertiga pun mengekorinya.Aku memangku Rara di bangku belakang. Sedangkan Khalif di depan memeluk Syira yang mulai mengantuk."Kita langsung ke IGD aja, ya, Kak." Hanya satu kalimat itu yang terucap dari Obi di sepanjang perjalanan. Aku pun menyetujui, Rara harus secepatnya mendapat pertolongan medis.Setelah memarkir mobil, Obi langsung menggendong Rara ke IGD. Aku mengambil alih Syira dari Khalif dan mengikuti Obi.Setelah menjalani pemeriksaan awal, dokter menyampaikan bahwa Rara harus diopname. Tanpa diminta, Obi langsung ke bagian administrasi dan pendaftaran.Tak berselang lama, dua orang perawat datang menghampiri dan memberitahu kalau Rara akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dan Khalif mengikuti dua perawat yang m
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA"Proyek Bang Hendi yang di Lampung sedang bermasalah. Dengar-dengar, proyek itu cuma upaya cuci uang dari teman Pak Santo, yang sepupunya Mami Nadia itu. Pengerjaannya sudah dihentikan sejak bulan lalu. Sedang disegel untuk mempermudah penyidikan katanya sih."Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturan Obi. Walau sebenarnya aku kaget juga. Padahal proyek itu bernilai fantastis. Bisa dibilang itulah proyek terbesar yang didapat Hendi selama dia menekuni dunia kontraktor."Katanya, pemiliknya itu seorang wakil rakyat di provinsi. Dia sedang tersandung masalah penyalahgunaan dana hibah atau apalah gitu, nggak paham juga. Mana Bang Hendi udah terlanjur DP-in rumah buat menetap di sana. Lagi pusing banget kayaknya," lanjut Obi menjelaskan. "Kan ada keluarga Nadia. Pasti cepat kelarlah masalahnya," jawabku sekadar menimpali."Boro-boro ngebantu, keluarganya pun lagi banyak masalah. Sekarang lagi hangat-h
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWajah Hendi juga menampakkan keterkejutan atas pertemuan tidak disengaja ini."Papa mau nengok Rara?" tanya Khalif dengan polosnya."Rara? Rara kenapa?" tanya Hendi kebingungan."Rara lagi sakit. Ayo, Pa, kita ke kamar Rara! Ada di lantai tiga." Khalif langsung menarik tangan Hendi.Kalau Hendi ada di sini, berarti benar yang kulihat tadi adalah Nadia. Aku pun bergegas mengikuti Khalif yang telah berjalan terlebih dahulu."Rara sakit apa?" tanya Hendi padaku ketika kami sudah berada di dalam lift.Rasanya malas untuk menjawab. Untungnya HP-ku berdering sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan Hendi."Kamar Rara sebelah sini, Pa." Khalif kembali menjadi pemandu untuk papanya. Sesampai di depan pintu, samar terdengar suara celotehan Syira. Khalif langsung membuka pintu. Di tempat tidurnya, Rara berbaring sambil memeluk boneka beruang yang berukuran lebih besar dari tu
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHari ini Rara sudah diperbolehkan pulang. Hendi katanya mau mengantarkan kami pulang. Namun, sudah hampir setengah jam setelah menyelesaikan administrasi, dia belum juga menampakkan batang hidungnya.Obi yang belum aku beritahu perihal itu, datang tergesa-gesa."Rara udah nunggu lama, ya? Maaf ya tadi Om Obi ketiduran," ucapnya pada Rara dengan wajah menunjukkan rasa bersalah."Rara mau pulang sama Papa, Om," jawab Rara dengan polosnya.Obi melirik padaku seolah meminta kebenaran. Aku jadi tidak enak hati pada Obi. Bisa-bisanya aku lupa bilang sama Obi."Bi, maaf banget. Aku benaran lupa bilang ke kamu," ungkapku penuh penyesalan. "Nyantai aja, Kak. Nggak usah merasa bersalah gitu. Udah mau ke sini Bang Hendinya?" tanya Obi. Tidak ada terlihat raut kekesalan di wajahnya."Sepertinya begitu," jawabku tidak yakin."Ya, udah, kita tunggu aja." Obi pun menyibukkan diri
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPagi tadi Hendi mengirim pesan. Dia mengajakku untuk bertemu. Ada yang ingin dibicarakan, begitu katanya.Jujur, aku lebih nyaman jika tidak lagi berurusan dengan dia. Bukan apa-apa, hanya ingin menghindari masalah. Mengingat Nadia dan saudara-saudaranya yang sangat hobi mengangkat hal-hal sepele menjadi besar dan ujung-ujungnya memojokkan aku. Padahal aku tidak pernah mengusik hidup mereka. Dengan hidupku sendiri saja aku sudah keteteran. Boro-boro ikut campur urusan orang lain.Aku memilih untuk mengabaikan. Selain yang berkaitan dengan anak-anak, tidak ada yang perlu dibicarakan. Dan sekarang ini semua hal tentang anak-anak tidak ada permasalahan apapun. Bisa kukendalikan sejauh ini walaupun nafkah dari Hendi sudah tidak pernah lagi disinggung-singgungnya.Yang penting aku sudah mengingatkan, bahkan berkali-kali. Dia memang sedang tidak sanggup atau sengaja tidak menunaikannya, biarlah menjadi tanggungjawab