“Dari sekian banyak anak perempuan, apa alasanmu memberiku rekomendasi anak itu?” desak Tuan Fabregas tepat di hadapan wanita berambut putih serta kulit keriput.Di tengah kondisinya belum stabil, pria paruh baya nekat pergi dari rumah sakit. Sebab, keingintahuannya sangatlah tinggi mengenai masa lalu Livy. Bahkan dalam perjalanan menuju Barcelona, Tuan Fabregas hampir dilarikan ke rumah sakit. Napasnya sesak, keringat dingin serta jantung berdebar tak karuan diselingi panas menjalar pada punggung.“Apa gadis itu anaknya Sonja? Katakan yang sejujurnya!” tuntutnya lagi tak ingin kehilangan waktu, sebab petugas panti memberi waktu kurang dari setengah jam.“Sonja? Di mana dia? Kasihan wanita itu, dia tidak gila … dia dibunuh, ya dibunuh,” desis wanita sepuh sembari mengayun punggung di kursi.“Ck, Sonja itu depresi, dia bunuh diri bukan dibunuh!” desis pria ini mengepalkan tangan keriputnya.Tuan Fabregas yakin kekasihnya itu mengalami gangguan jiwa karena dirinya tidak bisa bertanggun
“Ba-bagaimana mungkin? Dia bukan anakku? Aku hidup dengannya selama 30 tahun.” Tuan Fabregas gemetaran, sekujur tubuhnya memanas, terkejut membaca hasil tes DNA.“Argh!” teriak pria paruh baya ini melempar peralatan makan dari atas meja. Bahkan secara sadar, kedua tungkainya yang sudah tidak bisa berjalan nekat turun dari atas ranjang. Tuan Fabregas mendesis perih saat pecahan keramik menusuk serta menyatat telapak kaki.Namun, ada yang lebih terluka lebih daripada itu. Apa? Tentu saja hatinya, seketika tak berbentuk lagi seusai mengetahui fakta mencengangkan.Paska menerima informasi dari wanita di panti wreda, Tuan Fabregas bergegas kembali ke Madrid. Tidak ke rumah sakit, melainkan pulang ke rumahnya. Di sana, ia mengacak-acak kamar putri kesayangan. Lalu membawa beberapa sampel ke rumah sakit.Setelah menunggu cukup lama, hari ini hasil tes dirinya dan Sonia keluar. Pihak rumah sakit mengirim melalui surel. “Tuan, apa yang Anda lakukan?!” pekik perawat melihat kondisi kamar kacau
“Kamu ingat, aku pernah tanya apa perlu mencari tahu tentang ayah kandungmu?” El menggenggam tangan Livy, menyatukan jemari.Wanita ini mengangguk pelan, tidak menyangka sang suami masih membahas pria di masa lalu yang meninggalkan ibunya di kala mengandung. Sebenarnya Livy tidak mau tahu lagi, tetapi ia menghargai El bicara sampai tuntas.“Sebenarnya ayahmu, ada di dekatmu, selama ini selalu bersama,” tandas El, lalu satu tangannya membelai puncak kepala dan meraih bahu Livy, membawanya ke dalam pelukan erat dan hangat.“Umm … maksudnya apa? Siapa?” Rasa penasaran Livy melambung tinggi.“Ayah kandungmu itu … Tuan Fabregas, maaf terlambat memberitahu,” gumam El semakin mengeratkan pelukan.Sesaat Livy tercenung, lantas terkekeh pelan, ia tahu pria paruh baya itu memang ayahnya. Sosok yang membesarkan dan menghidupinya, bukan berarti menjadi ayah kandung.“Kak? Jangan bercanda, tidak lucu! Sebaiknya kita ke ruangan dokter,” ajak Livy, berusaha melepas pelukan karena enggan membahas ayah
“Sayang? Kenapa diam?” El menolehkan kepala, melihat istrinya membisu serta meremas sepuluh jari tangan.“Aku … takut Kak, bagaimana kalau—““Tidak akan, Tuan Fabregas pasti menerimamu,” ucap El meredam sedikit kecemasan Livy.Seusai mendapat kabar dari anak buah, meski ragu Livy menerima ajakan suaminya. Pagi itu juga, mereka bergegas ke rumah sakit. Wanita ini sempat dirundung dilema, pikirannya bercabang ke segala arah. Akan tetapi ia meyakinkan hati, menerima kenyataan bahwa sosok lelaki yang membesarkannya memang ayah kandungnya.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, El berusaha menenangkan sang istri. Sebab raut wajah cemas begitu kentara memenuhi paras ayunya.Tiba di rumah sakit, Livy mengayunkan kaki dengan pelan, selain mengimbangi El, ia juga menormalkan irama jantung. Bingung, tanggapan apa yang seharusnya diberikan saat bertemu Tuan Fabregas.Namun, keduanya tidak diizinkan masuk, selain pria paruh baya itu masih dalam penanganan tim dokter. Kondisi pasien pun memerluk
“Napasnya sempat terhenti, setelah kami melakukan pertolongan pertama, pasien bisa diselamatkan. Tapi—“Livy terkesiap mendengarnya, ia menimpali penjelasan dokter, “Tapi apa dokter?”“Tapi pada umumnya dalam waktu 24 jam ke depan, pasien yang pernah mengalami henti jantung tidak menutup kemungkinan kembali mengalami keadaan serupa,” jelas dokter lalu menepuk bahu Livy memberinya kekuatan.Seketika, Livy terhuyung ke belakangan, raganya berubah lemas, bahkan ia tak sanggup berpikir jernih. Entah mengapa jalan takdirnya sangat berliku, baru saja mengetahui Tuan Fabregas ayah kandungnya, di waktu yang sama pria paruh baya itu sedang kritis.“Dokter bilang ayah berhasil diselamatkan, apa bisa sembuh?” tanya Livy suaranya tercekat di tenggorokan.“Harapan hidup tetap ada meskipun memiliki resiko kerusakan otak dan fungsi organ lain. Sebab, selama jantung berhenti, suplai darah dan oksigen tidak diterima oleh tubuh,” sambung dokter membuat Livy menelan saliva terasa lengket.“Kalau begitu,
“Tidak ada hubungan darah?” lirih Livy, bibirnya bergetar, kedua tangan mengepal di sisi tubuh bahkan gigi saling bergemeretak.Ia teringat kalimat terakhir sang ayah, jika Sonia bukan kakak kandungnya. Ingin sekali, Livy bertanya pada wanita di depannya ini. Sayang, lidahnya terasa kelu, lagi pula sekarang bukanlah waktu yang tepat menyampaikan suatu kabar.“Cih, tunggu apa lagi? Cepat pergi! Puas kamu, membunuh ayah secara tidak langsung? Jahat!” cerca Sonia terus menerus.“Sonia! Jangan sampai aku berbuat kasar!” desis El menatap sengit pada mantan istri.“Kenapa aku harus patuh?! Aku bukan istrimu lagi El.” Senyum miring Sonia , lantas berjalan angkuh menyapa para tamu yang menyatakan belasungkawa.Sementara dari kejauhan, Livy hanya bisa menyoroti tingkah laku Sonia. Kakaknya itu banyak menerima perhatian dari kolega Tuan Fabregas. **Pagi ini iring-iringan keluarga mengantar Tuan Fabregas ke tempat peristirahatan terakhir. Termasuk Livy dan Al, ibu muda ini tampak pucat, hampir
Dalam sekejap ruang tamu berubah hening, panas, membuat udara sesak serta gersang. Ya, bagi sebagian orang, bukan Livy atau El.Ibu muda ini mengerjap, mulutnya sedikit terbuka, bola mata bergerak-gerak secara bergntian menatap El dan pengacara. Ia mereguk air liur terasa kelat, telapak tangannya menggosok telinga dengan lembut—memastikan tidak salah mendengar.Keterkejutan Livy pecah, saat Sonia mengamuk dan murka, hendak melampiaskan luapan emosi. Sorot mata Sonia menyala-nyala, dagu lancip terangkat, pundaknya turun-naik, menghampiri pengacara.“Kamu pasti tidak bisa membaca? Aku ingin lihat buktinya! Kalian sudah gila dan …” Sonia memutar 90 derajat tubuhnya, menunjuk Livy, berteriak, “Apa-apaan tua bangka itu menyebutnya anak kandung? Dia sakit jiwa, bisa-bisanya mengakui anak angkat sebagai adik kandungku!”“Nona Sonia, mohon duduk dengan tenang!” titah pengacara mengangkat sebelah tangan.Sayang, mantan model terkenal itu menepis tangan pengacara dan merebut surat wasiat. Matany
“Kenapa kamu tidak bisa menghancurkan El? Ck lemah.” Sonia mendengus kasar seraya melipat tangan depan dada.Wanita ini mengunjungi seseorang di gedung bertingkat. Percaya diri memasuki ruang pimpinan, duduk tepat di atas meja kerja. Kedua tungkainya sengaja dinaikan, menunjukkan kulit mulus nan kenyal. “Sonia, tidak bisa seperti itu, kamu ‘kan tahu siapa mantanmu? Dia pernah jatuh tapi … bahkan para tetua mempercayainya.”“Lalu? Apa yang sudah kamu lakukan untukku?” tanya Sonia bernada ketus.Pria berkemeja putih dengan dasi dilonggarkan itu berdiri dari kursinya, merunduk hingga hidung menempel pada tulang pipi Sonia. Sorot mata yang kecil teramat tajam menyelami kedua manik coklat sang wanita.“Kamu pikir ulahmu tidak merepotkan aku?” Pria ini menyeringai, mendorong bahu Sonia hingga tubuhnya turun beberapa senti. “Kalau bukan karena aku, mungkin … tindakan cerobohmu diketahui El.”Sonia mendesis, tak mampu melawan kalimat itu. Ia akui, tanpa campur tangan pria ini pasti dirinya t