Selamat Hari Senin Kak selamat membaca mohon doanya untuk Galtero •́ ‿ ,•̀
“Dokter?! Galtero … tidak terjadi sesuatu ‘kan? Maksudku dia—tetap bangun?” tanya Livy, intonasinya mengalun lemah, penuh ketakutan dalam setiap kata.Lagi, setiap kali Gal dilarikan ke rumah sakit dan memasuki ruang pemeriksaan khusus, Livy selalu panik. Garis ketegangan serta kecemasan berlebih tampak nyata, hingga ia melontarkan kalimat tanya klasik.“Mi Amor?” lirih El turut merasakan hal yang sama.“Tidak Sayang, aku ingin tahu keadaan Gal. Dia masih membuka mata ‘kan dokter?” Derai air mata tak terbendung lagi. “Putraku … Galtero, aku ingin menemuinya.” Livy memaksa masuk ruangan, menerobos barisan dokter dan perawat.El mencekal pergelangan tangan, sebab tim medis belum mengizinkan mereka masuk. Namun, bagi Livy, saat ini paling penting memastikan putranya tetap bernapas dan membuka mata.“Kak, aku mau masuk … kenapa dokter hanya diam saja? Artinya … Gal sehat di dalam sana!” seru Livy dengan mata menyala, dan berusaha melepas tangan El.Melihat situasi tak terkendali, tim dokt
“Tuan Muda Torres. Kondisi Galtero, jika dibiarkan fungsi organ lain akan menurun. Bahkan, untuk mengurangi rasa sakit, pasien harus meningkatkan kuantitas transfusi darah,” jelas dokter menambah hancur perasaan El.“Apa kalian sudah menemukan pendonor yang sesuai dengan putraku?” tanya El suaranya berubah sengau.“Maaf Tuan, menemukan pendonor sel punca yang cocok tidaklah mudah.” Dokter menggelengkan kepala. “Selama belum dilakukan transplantasi, Galtero selalu mengalami anemia, saya harap pasien tidak menjalani aktifitas fisik berlebih.” Sekarang, El menyampaikan penjelasan dokter pada Livy, ia tak bisa memendam sendirian. Sebab wanitanya pasti mencari tahu, dan seperti yang sudah lalu, ibu dua anak ini menangis seharian hingga tak keluar kamar. “Kenapa pilihan terakhir harus cangkok sel punca? Padahal ….” Livy menyusut air mata, bibirnya kembali terbuka dan bicara, “Sejak bayi, Gal selalu terapi. Obat yang masuk ke dalam tubuhnya itu banyak, dan—““Mi Amor ….” El maju satu langka
“Sebenarnya apa yang terjadi? Sia yang dia temui?” gumam Livy, berjalan mondar-mandir dalam kamar.Dua jam lalu, setelah menerima telepon serta kabar tidak mengenakan, El bergegas berangkat ke rumah tahanan. Ia didampingi Alonso dan Kepala Pengawal mengunjungi mantan istri, dan ini menjadi rahasia El.Berat hati Livy melepas El pergi, ia tidak bisa ikut dengan suami, lantaran menemani Al dan Gal tidur. Apalagi Galtero, dilarang begadang, bisa-bisa badannya lemas dan berakhir di atas ranjang rumah sakit.Digerogoti keingintahuan tinggi, Livy tidak menghubungi Alonso atau suaminya, tidak juga Kepala Pengawal. Melainkan, sopir yang mengantar El, ia yakin pria itu akan menceritakan semuanya.“Halo, Pak, sudah di lokasi? Di mana suamiku?”[Sudah Nyonya. Tuan di dalam.]“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mengunnjungi penjara? Siapa yang membuat ulah?” Selidik Livy, ia yakin sopirnya mendengar percakapan antara El dan Alonso.[Maaf Nyonya, saya tidak tahu apa-apa, karena Tuan Muda tidak men
“Untuk apa kalian datang ke sini? Mau bertepuk tangan karena menang telak, benar?” berang Tuan Besar Marquez.Livy melirik El, wanita ini melingkarkan tangan pada lengan suaminya. Ia tidak terkejut menerima reaksi penolakan dari Keluarga Marquez. Hanya saja, Livy memperhatikan raut muka lelaki di sisinya. Ada sesal, sedih, duka dan amarah, tampak jelas pada garis wajah El.El mengepalkan tangan, mengembuskan napas kasar, dan sorot matanya menukik tajam menatap pusara di depannya. ‘Aku tidak menyangka hubungan baik kita berakhir seperti ini Jorge,’ batin El.“Sayang?” bisik Livy, karena El terlihat tak menanggapi ocehan Tuan Besar Marquez.“Pergi kalian! Aku tidak sudi melihat pembunuh putraku!” bentak Tuan Marquez menggelegar diantara pepohonan. “Ini semua salahmu, putraku menjalin hubungan dengan wanita ular itu dan … kami kehilangan pewaris.”Tangan keriput Tuan Marquez hampir saja mendorong Livy, sigap El mencekal pria sepuh itu. Kini iris biru safirnya berkilat, ia tidak suka w
“Kami tidak tahu Paman Jorge yang mana, karena di sana banyak sekali nama Jorge.” Al menunjuk layar laptop.Livy menoleh laptop, ia bergumam, “Jorge?” Kemudian mendekati layar tipis, membaca beberapa judul artikel dihasilkan mesin pencari. ‘Apa mungkin Jorge Marquez? Tapi ... pria itu sudah meninggal,’ batin Livy sembari mengulas senyum setipis benang.Di kala wanita berparas ayu ini dilanda kebingungan, ketiganya mendengar ketukan pintu. Kompak, Livy, Al, dan Gal menoleh pada sumber suara, ketiganya menatap El.Al menghambur ke pelukan ayahnya, sedangkan Gal duduk diam di tepi ranjang. Segala larangan menghambat putra kedua El dan Livy melakukan kegiatan menyenangkan.“Sedang apa di sini? Boleh Daddy ikut bermain?” tanya El membawa Al dalam gendongan.“Kami tidak main Dad, tapi mencari obat untuk Gal. Aku ingin adikku sembuh Dad,” harap Al, mengangguk-anggukan kepala. “Boleh aku tahu di mana alamat Paman Jorge?” Seketika, kening El mengerut dalam, netra elangnya memicing menatap bibi
“Hari ini aku mau mencari alamat rumah Paman Jorge. Kamu pastikan Mom dan Daddy memperhatikanmu ya!” bisik Al membuat Gal mnggut-manggut.Sebelum berangkat sekolah, Al memberi perintah penting pada adik satu-satunya. Putra sulung ini harus menjalankan misi secepat mungkin, sebab berpacu dengan waktu. Kemarin, beruntung Al sempat meminjam ponsel Eberardo dan membawanya ke kamar. Entah kebetulan atau tidak, benda pipih milik Ar itu terjatuh tersenggol keduanya.Sementara tab berisi foto-foto alamat, aman tersimpan di bawah bantal. Al dan Gal merasa beruntung dan berterima kasih pada benda penting kepunyaan Ar. Alhasil Livy memeriksa siapa pemilik ponsel itu, lalu keluar kamar dan mengembalikannya. Memastikan kondisi terkendali, Al langsung memindahkan data dari tab ke tempat tersembunyi.“Sayang, pagi ini diantar Daddy, tapi pulang sekolah dijemput sopir ya, karena Mom menemani Gal di rumah sakit. Siang ini Daddy juga ada rapat. ” Livy mengelus puncak kepala Alessandro.Bocah kecil it
“Sepertinya memang ini mansion Paman Jorge, tapi sepi sekali.” Al celingukan di depan pagar tinggi. Ia pun menghampiri penjaga keamanan di sana. “Apa aku bisa bertemu Paman Jorge Marquez?”Kelopak mata Al mengedip-ngedip, tingkahnya sangat menggemaskan. Sehingga petugas keamanan bersikap ramah, dan menyelidiki bocah kecil itu.“Apa kamu datang sendirian?” Petugas mencari-cari orang dewasa bersama Al, sialnya tidak ada.Anak kecil itu mengangguk cepat, Al menunjukkan deret gigi susu rapi dan meletakkan tangan di balik ransel kecil.“Apa aku boleh masuk? Aku ingin bertemu Paman Jorge,” pinta Al lagi, iris birunya bergerak dari kiri ke kanan.“Begini anak kecil, Tuan Jorge Marquez sudah meninggal beberapa hari lalu. Siapa yang memerintahmu datang ke sini?”Sontak Al memelotot, ia benar-benar tidak tahu kalau orang yang dicarinya telah wafat. Tentu ini sangat ganjil, sebab tidak ada gambar apa pun di internet terkait berita itu.Sebelum Al membuka mulut untuk menanggapi kabar mengejutkan,
“Kenapa kamu tidak bisa diajak kerja sama Gal?” keluh Al mencebik. “Bukannya sudah ku bilang, alihkan perhatian Mommy dan Daddy?”“Aku ketiduran Kak. Maaf ya.” Gal melirik sekitar, kemudian mengikis jarak dengan kakaknya. Balita ini berbisik, “Apa Kakak berhasil mencari obat untukku?”Al menggembungkan pipi, menghela napas dan menggelengkan kepala. Bahu kecilnya pun terkulai lemas, sorot mata anak ini tampak sendu.“Oh tidak ketemu ya? Tidak apa-apa Kak, bisa dicoba lagi nanti.” Gal mengangkat telapak tangan setinggi dada, dan mengepalkannya.Dikarenakan dua putra ini melihat ayah dan ibunya mendekat, kompak Gal dan Al memberi makan kelinci. Mereka begitu menikmati peran, seakan tidak memikirkan apa pun, padahal isi kepala keduanya merencakan sesuatu.“Daddy?” panggil Gal, menunggu El menoleh lebih dulu, kemudian kembali berkata, “Aku ingin memelihara tupai. Boleh ya?”El menepuk jidat, dengan tegas menegakkan jari telunjuk melarang putranya memelihara binatang sesuka hati. Bukan tanp