Share

Slave
Slave
Author: Ade Tiwi

1.

Namanya Hasan Wicaksana, nama yang di berikan oleh kedua orang tuanya. Arnando Wicaksana adalah nama ayahnya, dan Azkia Indira Putra adalah nama ibunya.

Keluarga Wicaksana adalah keluarga angkat dari ibuku yang mengidap penyakit kejiwaan alias gila. Keluarga inilah yang sebelumnya di sakiti ibuku, Aisyah.

Ah, bahkan aku tak ingin menyebutnya sebagai ibuku. Mengingat bagaimana kejahatannya dulu, aku pun menjadi dampak cemohan semua orang. Tapi, walaupun begitu aku tetap menyayanginya, menyayangi dirinya sebagaimana rasa hormat anak pada ibunya. Apalagi jika mengingat dia adalah wanita yang telah mengandungku selama sembilan bulan sepuluh hari dan melahirkanku dengan segenap jiwa dan raganya.

Ibuku mengalami depresi berat akibat impian dan rencana liciknya yang berniat menghancurkan rumah tangga bunda Kia dan ayah Nando. Sebab ibuku mencintai ayah Nando, dan karena itulah ibuku berniat memisahkan mereka dengan cara merebut ayah Nando.

Tapi, sepintar dan selicik apapun rencana kotor ibuku, pada akhirnya tidak akan pernah tercapai. Malah dia yang harus berakhir mendekam di dalam rumah sakit jiwa.

Kondisinya pun semakin tidak terkendali ketika aku mengunjunginya untuk pertama kali. Saat itu umurku masih lima tahun, dan alangkah sedihnya aku ketika ibu tidak mengenaliku dan bapak.

Hingga setelah itu aku memutuskan untuk tidak ingin menemuinya, karena ku pikir percuma saja jika aku datang mengunjunginya. Toh, ia juga tak mengingatku sebagai puterinya, anak yang telah di lahirkannya.

Lucu sekali jika menginginkan dia mengingatku dan bapak. Nyatanya ibuku hanya akan selalu meracau dan menjerit memanggil nama 'Nando!'

Tapi, aku tak pernah menyalahkan semua ini karena ayah Nando. Itu murni kesalahan ibuku yang terlampau begitu obsesi padanya.

Justru aku malah berterima kasih sekali pada keluarga itu yang telah mau menampungku, memberikan pekerjaan yang layak untuk bapak. Tak tanggung-tanggung bahkan mereka membiayai sekolahku dari TK sampai SMA.

Aku tidak melanjutkan pendidikanku lagi sebab aku merasa tak ingin membebani mereka. Tapi, sepertinya mereka tidak menerima penolakanku dan kembali membujukku untuk melanjutkan pendidikan.

Aku tetap menolak dan malah meminta pekerjaan, karena saat itu aku memang sudah sangat ingin bekerja.

Syukurlah ayah Nando mengabulkan permintaanku meski dengan membujuknya mati-matian tapi setidaknya usahaku tidaklah sia-sia.

Sejak saat itu aku mulai bekerja di perusahaan milik keluarga Wicaksana. Aku bekerja di bagian OG, karena memang aku yang memintanya padahal ayah Nando sudah menawarkanku untuk bekerja di bagian yang lebih nyaman dari posisi OG.

Aku menolaknya, tentu saja, karena aku lebih menyukai pekerjaan yang ku jalani ini.

Tahun demi tahun yang ku jalani terasa begitu indah, namun tidak untuk setelah itu. Sebab dua tahun terakhir ini aku menjadi budak seorang pria muda akibat kesalahan yang tak sengaja ku perbuat.

Slave Hasan Wicaksana.

Ingatlah selalu posisimu itu, Ayesha!

***

"Awhh!" ringisku menahan perih ketika Hasan menarik tanganku kuat.

Entah apa salahku kali ini hingga membuat dia begitu marah. Aku juga tidak tahu entah kemana dia akan membawaku pergi setelah dia menyeretku paksa dari keramaian orang banyak.

Padahal tadi sebelumnya Hasan yang mengajakku untuk ikut bersamanya menghadiri sebuah pesta orang kaya. Ralat, sebenarnya bukan mengajak, tapi memaksa.

Acara pesta itu tak hanya kami saja yang datang menghadiri. Kedua orang tua Hasan dan papa Dava beserta mama Airaa juga turut hadir dan larut dalam meriahnya pesta.

Aku tidak tahu apa penyebab yang membuat dia marah, karena aku pun juga larut menikmati pesta. Hingga pada saat datangnya seorang pria tampan yang menghampiriku disaat Hasan tengah berbincang dengan salah satu kliennya yang juga turut hadir di acara pesta itu.

Pria yang menghampiriku itu langsung mengajakku berkenalan. Tentu saja aku mau, sebab pria itu terlihat sopan dan tak melihatku dengan tatapan mesum. Tak seperti tatapan pria-pria lainnya yang sedari awal secara terang-terangan menatapku mesum seolah ingin menerkamku dan memakanku habis.

Lewat perkenalan itu yang aku tahu sekarang nama pria itu adalah Miko. Dia pria yang ramah dan murah tersenyum, baru saja kami ingin mengobrol lebih akrab soal kehidupan kami namun tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram bahuku. Tubuhku seketika menegang merasakan cengkeraman kuat itu.

Tak perlu mendongakkan kepala untuk melihat orang tersebut karena aku tahu siapa yang sering melakukan itu padaku.

Hasan menyuruhku untuk bangkit berdiri dari dudukku, dan tanpa aba-aba ia langsung menarik lenganku cukup kuat. Aku masih sempat menoleh sekilas ke arah Miko yang tampak heran melihatku yang di tarik paksa begini, langkahku pun terseok-seok akibat mengikuti langkah kaki Hasan yang panjang dan lebar.

"Masuk!" titah Hasan setelah kami sampai di tempat parkiran, ia menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Dengan masih mengatur napasku yang ngos-ngosan pun aku mematuhinya.

Hasan masuk di kursi kemudi setelahnya, dia menoleh ke arahku kemudian berdecih.

"Aku bisa sendiri!" kataku menepis tangannya yang hendak memakaikan saefty belt untukku.

Segera saja langsung ku kenakan safety belt ku, ia hanya diam dan tanpa berkata apapun lagi langsung menghidupkan mesin mobilnya.

Mobil melaju dengan sangat kencang, aku bahkan sampai harus berpegangan erat saking merasa takutnya. Hasan sangat mengerikan jika dalam keadaan seperti ini, lihatlah, bahkan cara menyetirnya gila sekali.

Setan sekalipun kalah jika di bandingkan dengan sikap Hasan yang tengah marah seperti ini.

"Apa kau ingin mati?!" teriakku saat sudah tak tahan lagi berada di dalam mobil yang sedang berpacu ngebut-ngebutan di jalanan pada malam hari begini.

Sungguh! Aku tidak mengerti dirinya, aku rasa dia juga mengidap penyakit kejiwaan alias gila seperti ibuku. Ya, mungkin, besok aku harus mulai membicarakan kondisi psikis dan mental Hasan.

Dan ku harap semoga dia memang mengidap penyakit kejiwaan, aku sangat mengharapkan dia gila agar langsung di seret ke rumah sakit jiwa selamanya. Lalu aku akan terbebas dari ikatan hubungan gila yang membelenggu ini.

"Cukup menjadi budakku saja, jangan pernah mencoba menjadi jalang untuk pria lain. Ingat itu!" ucapnya yang langsung menohok ulu hatiku.

Setetes cairan bening mengalir turun dengan derasnya di susul tetesan demi tetesan lainnya. Rasanya begitu sakit, budak dan jalang?

Kedua kata yang sangat aku benci, dua kata yang selalu ku dengar apabila ia marah meledak-ledak.

Aku tahu dan bahkan sangat sadar jika selama ini aku menjadi budaknya selama dua tahun terakhir belakangan ini.

Aku bisa mengembuskan napas lega ketika pada akhirnya mobil berhenti, uji nyali menantang maut tadi telah berakhir. Oh, syukurlah!

"Turun!" titahnya tak ingin di bantah.

Karena tak ingin membuatnya tambah marah aku pun menurutinya dengan turun dari mobil juga. Hasan membawaku ke apartemennya, ia kembali menarikku dengan kasar masuk ke dalam lift.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku setelah ia selesai memencet tombol angka sepuluh dan lift pun berjalan.

"Menurutmu?" Hasan balik bertanya.

"Aku muak dengan semua ini!" ucapku mengeluarkan segala unek-unekku selama ini.

"Muak?" ulangnya, "kalau begitu kau bisa mengadu semua yang terjadi pada kita ke orang tuaku."

"Brengsek!" umpatku kesal.

Ia tertawa dan aku sangat tahu jika tawanya itu adalah sebuah ejekan untukku. Hasan tahu betul jika aku tidak akan mampu untuk mengadukan semua ini pada bunda Kia dan ayah Nando.

"Kenapa? Kau takut?" tanyanya mengejek.

Aku diam, tak ingin menjawab pertanyaannya yang jika aku jawab malah akan semakin membuatku kesal.

Ting.

Suara dentingan lift yang menandakan jika kami telah sampai di lantai apartemen Hasan. Ia kembali menarik tanganku untuk mengikutinya.

"Bersiaplah untuk menerima hukumanmu." katanya terdengar begitu menyeramkan.

Oh Tuhan, jangan lagi! Ku mohon!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status