Violet meringkuk di dalam dekapan Vier saat malam sudah hampir pagi. Mereka benar-benar bekerja keras malam ini. Keduanya tidak ada yang berbicara bahkan Violet sudah tidak bisa menggerakkan tubuhnya saking lelahnya. Vier yang merasakan nafas teratur istrinya di kulitnya hanya tersenyum kecil. Violet mengatakan tidak akan menunda untuk memiliki anak, sehingga mengharapkan memiliki malaikat kecil datang ke kehidupan mereka secepatnya. “Jangan gerak, Bang.” Violet bergumam ketika Vier mengubah tubuhnya berbaring miring. “Kenapa?” tanya Vier. “Abang ganggu istirahatku. Abang ini lah. Aku nggak bisa tidur kalau nggak mandi.” “Kalau gitu, ayo mandi.” “Badanku rasanya remuk.” Violet membuka matanya kesal, namun alih-alih tatapan sinis yang dikeluarkan, itu hanya tatapan sayu yang menggelikan. Vier terkekeh-kekeh sebelum kembali memeluk Violet. Dan itu membuat Violet melingkarkan tangannya di pinggang sang suami. “Aku mau tanya sama Abang,” kata Violet dengan parau. “Ini benar-benar pe
“Kapan balik?” Violet bertanya pada Candy ketika mereka menunggu pesanan makan malam datang. Candy datang sendirian alih-alih bersama dengan Raka. Menurut Candy, hubungannya dengan Raka sedang kurang baik setelah kejadian pertemuan dengan orang tua Raka. Violet tidak memberikan tanggapan yang lebih melihat Candy tampaknya kurang suka membahas masalah kisah asmaranya. “Aku akan balik lusa. Aku hanya memiliki waktu satu minggu dan harus segera kembali.” “Kenapa kamu pulang kalau memang nggak punya cukup waktu?” tanya Violet. Bukannya dia tak suka Candy datang jauh-jauh untuk menemuinya, tapi dia merasa kasihan kepada temannya yang harus bolak-balik dan itu pasti melelahkan.“Sebenarnya udah terlanjur. Tadinya aku minta waktu sebelum itu, tapi jadwal di hari pernikahanmu itu sangat padat. Akhirnya aku tetap mengambil libur satu minggu itu setelahnya. Hitung-hitung aku akan punya waktu untuk pulang. Setelah ini waktunya akan panjang di sana.” “Jadi, kamu beneran akan lama di luar nege
Violet dan Vier masuk ke dalam gedung kantornya. Meskipun mereka sudah menikah dan terbilang menjadi pengantin baru, tapi tidak ada dari mereka yang menunjukkan kemesraan. Keduanya hanya akan berjalan beriringan tanpa ada gandengan tangan atau sejenisnya. Bagi mereka, mereka bisa bermesraan di tempat di mana tidak ada orang yang melihat. Setelah sampai di lantai paling atas gedung tersebut, mereka berpisah untuk masuk ke dalam ruangan masing-masing. Vier masih menjadi wakil Violet dan entah sampai kapan. Profesional adalah nomor satu bagi mereka. Ketika di rumah mereka memang suami istri, tapi saat mereka berada di kantor, mereka adalah rekan kerja. “Mau makan di mana?” Namun ketika sudah istirahat makan siang, maka mereka kembali layaknya pasangan. “Mau pesan aja?” Violet masih duduk di kursi kebesarannya, matanya menatap ke arah Vier yang berdiri di depannya. Vier hanya mengangguk. Semua sama saja yang terpenting adalah bersama dengan Violet. Lelaki itu duduk di sofa dan menung
Violet keluar dari tenda peramal dengan ekspresi datar miliknya. Pikirannya sedang mencerna tentang ucapan peramal yang baru saja dilontarkan kepadanya. Apa dia akan mendapatkan masalah lagi setelah kehidupannya damai seperti ini? “Nggak perlu dipikirkan apa pun yang dikatakan oleh peramal itu. Sekarang kita pulang. Atau kamu akan membeli sesuatu?” Vier sedikit menarik tangan Violet setelah istrinya itu hanya tampak diam sejak keluar dari tenda peramal. Sebenarnya Vier juga merasa percaya dengan ucapan perempuan itu sebelumnya. Tapi selanjutnya Vier tidak begitu memedulikannya. “Abang, apa maksudnya dengan tiga hal itu?” Violet menatap Vier dengan sungguh-sungguh seolah dia merasa penasaran. “Apa pentingnya itu, Sayang? Dia hanya menebak saja.”“Tapi tebakannya yang sebelum kita diramal itu benar. Aku merasa kalau ramalan itu benar. Apa kita harus berhati-hati?” “Meskipun tanpa ramalan itu pun kita juga perlu berhati-hati. Sudahlah, jangan dipikirkan.” Vier menarik tangan Violet
Violet tidak pernah berpikir jika kabar kehamilannya akan membuat dirinya bahagia luar biasa. Bukan hanya dirinya, Vier juga. Mereka seperti baru saja mendapatkan hadiah terbesar yang Tuhan kirimkan secara langsung sehingga membuat mereka tak bisa menolaknya. Tidak ada dua bulan sejak pernikahan mereka berjalan dan Tuhan sudah memberikan kepercayaan kepada keduanya untuk memiliki anak. “Apa kita akan memberikan kabar baik ini kepada orang tua?” Vier bertanya ketika mereka baru saja keluar dari rumah sakit. “Tentu saja. Sepertinya kita perlu ke rumah Mama. Lalu kita ke rumah Ibu.” Jarak rumah ibu Vier tidak begitu jauh, tapi mereka harus datang di tempat yang lebih dekat lebih dulu. Vier menyetujui dengan anggukan. Sejak tadi, suasana hati Vier begitu baik sampai dia merasa bisa melakukan banyak hal sekaligus. Tak lama setelah itu, mobil Vier sampai di rumah Violet dan mereka keluar dengan bergandengan tangan. Saat pertama masuk ke dalam rumah, orang tua Violet yang dilihatnya dan
Jika biasanya mual itu akan dirasakan oleh ibu hamil saat pagi hari, tapi itu berbeda dengan Violet yang ketika dia sedang enak-enaknya tidur, lalu dibangunkan dengan rasa mual yang begitu dahsyat. Dengan sempoyongan, dia berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua yang berada di dalam perut. Namun, lagi-lagi itu hanya cairan bening. Entah karena kelelahan atau apa, tapi Vier sama sekali tak terganggu dengan suara Violet muntah. “Kenapa kalau mual nggak pagi aja sih, Nak,” keluh Violet dengan menyandarkan tubuhnya di dinding kamar. Menatap ke arah Vier yang tidur dengan tenang. Begitulah laki-laki. Dia masih bisa tidur nyenyak di saat perempuan sedang merasakan mual ketika hamil. Tapi bagaimanapun, ini adalah yang ditunggu oleh Violet. Jadi meskipun sekarang Vier seperti seseorang tak bernyawa, Violet tidak merasakan kemarahan di dalam hatinya. Naik kembali ke atas ranjang, Violet menyelipkan tubuhnya pada pelukan Vier. “Bang!” panggilnya dengan pelan. Tapi Vier benar-benar ti
Sudah pukul sembilan pagi ketika Violet masih terlelap tidur. Vier merasa takut ibunya berpikiran yang tidak-tidak tentang istrinya sehingga dia beranjak dari sofa untuk membangunkan Violet. “Kamu mau ke mana?” tanya Bu Sarah. “Aku akan membangunkan Violet, Bu. Udah siang.” “Biarkan saja.” Perempuan paruh baya itu mengayunkan tangannya untuk memberikan kode kepada Vier untuk kembali duduk. “Ibu nggak marah?” “Kenapa Ibu harus marah? Violet sekarang sedang hamil. Apalagi semalam dia nggak tidur. Sudah biarkan saja dia tidur.” Mendengarkan ucapan ibunya, entah kenapa Vier merasa terharu luar biasa. Bagaimanapun, ketidakakuran istri dan ibunya di masa lalu membuatnya hampir frustasi. “Terima kasih, Bu. Ibu sudah menerima Violet. Dan memperlakukan Violet dengan baik.” Ada senyum kecut yang dikeluarkan oleh Bu Sarah. Tapi buru-buru dia menjawab, “Ibu yang dulu sangat keras kepala dan egois sehingga tidak bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah. Sekarang, pikiran dan h
“Sudah bangun?” Itu adalah pertanyaan yang diterima oleh Violet saat dia baru saja masuk ke dapur. Violet terlihat kurang nyaman saat menjawab. “Maaf, Bu. Ini memalukan, tapi saya benar-benar nggak bisa bangun.” Ada raut penyesalan yang ditunjukkan oleh Violet. Dalam pikiran Violet, ibu mertuanya itu akan bersikap layaknya mertua yang tidak suka dengan sikap menantunya yang malas-malasan. Tapi Violet salah. Perempuan paruh baya itu justru tampak biasa saja seolah Violet tidak melakukan kesalahan.Bu Sarah meletakkan semangkuk sup ayam yang masih hangat di depan Violet. “Cobalah. Ibu membuatnya buat kamu.” Violet menoleh pada suaminya dengan bingung, namun Vier pun juga terlihat biasa saja. Karena tak ingin memendam pertanyaannya, maka Violet segera bertanya, “Ibu nggak marah?” Violet bahkan tampak keheranan. “Maksudku adalah ….” “Kenapa Ibu harus marah?” Ucapan Violet dipotong oleh Bu Sarah. “Ibu memahami kalau perempuan hamil itu memang akan merasakan hal-hal semacam itu. Tidak b