Setelah menikah dengan Samudra, Melody kini melihat sisi lain dari diri lelaki itu. Sering mengatakan kata-kata ‘manis’ yang tiba-tiba kepadanya. Sikapnya yang dingin selama ini pun terasa mencair dan memberikan rasa nyaman tapi mengejutkan. Seperti malam ini, lelaki itu mengelus kepala istrinya sebelum berlalu dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Good girl. Kamu memang pantas menjadi ibu dari anak-anakku.”Kata-kata itu seharusnya menjadi kalimat yang biasa saja. Tapi entah kenapa menjadi luar biasa jika Samudra yang mengatakannya. Samudra akan membuat Melody jantungan kalau dia terus-menerus seperti itu. Melody kini menyadari, jika laki-laki yang tampak tidak peduli itu justru menyimpan banyak kejutan yang luar biasa. “Melody, sampai kapan kamu akan di sana. Cepat tidur, besok pagi aku ingin ke kebun teh dan kamu harus menunjukkannya mana yang milikmu.” Melody sedikit cemberut sebelum menuruti suaminya. Naik ke atas ranjang, dan dia segera memejamkan matanya. Tidak memerluka
Kedatangan Samudra dan Melody di desa itu benar-benar menarik perhatian warga. Orang-orang yang bekerja dengan orang tua Melody tentu saja berada di pihak Melody dan mengucap syukur karena Melody mendapatkan suami lebih dari Tama. Sebagian orang tentu sudah mengenal Tama dan keluarganya adalah orang-orang yang manipulative. Tapi tentu saja banyak orang yang masih membela keluarga tersebut.“Mbak Mel, Bibi beneran bersyukur deh kalau memang begitu ceritanya. Orang-orang di sini banyak yang ngomongin Mbak Mel.” Melody kini sedang bersama dengan para pekerja sang ayah, ada salah satu yang bertanya tentang kejadian penggerebakan yang terjadi kepada Melody. Tentu mereka ingin tahu kebenarannya. Namun ada juga yang ingin membandingkan cerita versi orang tua Tama yang kini sudah menyebar di desa, yang kebanyakan menjelek-jelekkan Melody. “Aku sih nggak peduli kalau orang nggak percaya ya, Bik. Tapi memang itulah yang sebenarnya. Pak Samudra itu sebenarnya bosnya aku. Tapi gara-gara masalah
Semua orang yang mendengar penuturan Samudra seketika terkejut. Pun, orang tua Tama. Mereka pucat pasi tak karuan. Selama ini, Tama dan orang tuanya membangun kepercayaan kepada orang-orang di sekitarnya dengan melakukan hal-hal yang baik. Tapi ternyata kini kedoknya terbongkar dan Tama melakukan kecurangan yang luar biasa. Korupsi bukan perkara ringan. Pantas kalau dia mendapatkan balasan dengan kurungan penjara. “Kamu jangan memfitnah ya.” Begitu ibu Tama mengelak. “Mana mungkin Tama melakukan hal tercela seperti itu? Dia adalah anak baik-baik.” “Jadi maksud Ibu saya yang mengambil data yang salah?” Samudra menanggapi dengan santai. “Asal Ibu tahu, orang-orang yang menyelidiki tentang permasalahan Tama adalah orang-orang yang profesional. Jadi itu tidak mungkin keliru.” Kedua orang tua Tama tak bisa berkutik karena ucapan Samudra. Riak wajah mereka semakin keruh luar biasa. Mereka terdiam tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun. Kesombongan yang tadinya tampak jelas di depan ora
Samudra menggigit bibirnya gemas saat mendengar panggilan ‘Mas Samudra’ keluar dari bibir Melody. Demi Dewa Neptunus yang sedang terombang-ambing di atas laut, Samudra sekarang merasa bahagia luar biasa. Terlebih lagi ketika dia melihat wajah Melody yang seperti kepiting rebus. Merah luar biasa, menambah rasa gemasnya berkali-kali lipat. “Ulangi lagi!” Samudra kembali memasang ekspresi serius saat mengatakan itu. “Aku nggak denger.” Melody tak ingin membuat masalah dengan Samudra dan memilih untuk melakukan permintaan sang suami. “Mas Samudra. Udah puas sekarang?” Melody cemberut karena merasa dikerjai oleh lelaki yang sudah menikahinya selama beberapa hari ini. Samudra bahkan menunjukkan seringaian menggoda. Melody berdiri dari duduknya. “Ayo keluar, sebentar lagi makan siang.” Samudra mencekal tangan Melody sampai perempuan itu mendarat di pangkuannya. “Bapak mau ngapain?” Kembali lagi panggilan itu. “Maksudku, Mas Samudra mau ngapain?” ucapnya mengoreksi. “Kamu sudah mencoba
Dua hari berada di kampung halaman terasa begitu cepat. Pada akhirnya, Melody dan Samudra harus kembali bekerja saat senin kembali datang. Namun yang menjadi sebuah hal special adalah Melody hari ini memasak dan membawa bekal untuk makan siang. Tentu saja untuk dua porsi. Dirinya dan Samudra. “Masak?” Begitu tanya Bian kepada Melody. “Iya,” jawab Melody.“Dan kamu nggak bawakan juga buat aku?” Melody berkedip pelan. Senyumnya kecil tersemata indah di bibirnya. “Sorry, Bang. Aku beneran cuma buat dua porsi aja.” Dan dengusan pelan terdengar di telinga Melody, membuat Melody tak enak hati. Untuk merayu rekan kerjanya tersebut, dia lantas menawarkan sesuatu.“Aku akan membuatkan untuk Abang besok. Sekarang, Abang boleh memesan apa pun dan aku yang akan membayarnya.” Siapa yang akan menolak penawaran menyenangkan seperti itu. Tentu saja tanpa menawarkan dua kali, Bian segera mengangguk. Senyum lebarnya tampak jelas di bibirnya. Bian dengan tak tahu malunya mengulurkan tangannya untuk
Sagara yang tadinya menyesap minuman jahe itu mendongak menatap sang ayah. Dia berkedip pelan kemudian tersenyum kecil.“Ayah pengen mantu juga dari aku?” tanyanya seolah tak berdosa. “Nantilah kalau aku udah ketemu gadis cantik yang aduhai.” Kepala Sagara segera terdorong ke depan. Semesta pelakunya. Lantas gadis itu segera bersuara. “Yah, Abang ini playboy kelas kakap. Dia ini nggak kayak Abang Samudra. Udah gitu nyolot lagi.” Alih-alih marah, Sagara justru hanya mengedikkan bahunya tak acuh. “Masih muda, sah-sah aja.” Mendengar itu, Samudra langsung menoyor kepala kembarannya itu tanpa basa-basi. Dia bilang, “Ingat punya adik cewek. Disakiti orang nanti dia, itu gara-gara kamu. Di rumah ini nggak ada yang brengsek.” Entah dari gen siapa yang masuk ke dalam darah Sagara, karena lelaki itu beda dari ayah dan Samudra. Lelaki itu sedikit lebih ‘nakal’ dari dua lelaki yang ada di keluarganya. Tidak, dia bukan lelaki yang suka meniduri banyak perempuan dan meninggalkannya. Tapi lebih
“Jangan mau, Bang. Sering oleng dia.” Semesta segera saja menolak dengan lantang. “Kami nggak mau dijodoh-jodohin ya. Masih bisa cari sendiri.” “Bener. Masih ada banyak cara menuju Roma. Jadi no jodoh-jodohan.” Sagara mengamini. Lelaki itu bahkan bergidik ngeri saat membayangkan akan dinikahkan dengan seseorang hasil dari perjodohan. “Tapi ide perjodohan itu memang bagus, lho. Kami sebagai orang tua akan tahu bagaimana bibit, bebet, bobot dari menantu kami.” Violet seolah memiliki pencerahan karena mendengar celetukan anak-anaknya. Semesta menggeleng penuh dengan keyakinan tinggi. Dengan keras menolak jika dia tidak akan menikah dengan orang yang dijodohkan dengannya. Itu mengerikan baginya. “Pokoknya nggak ada Bunda dan Ayah jodoh-jodohin kami.” Begitu Semesta bersuara. “Kecuali aku tua dan nggak nikah-nikah barulah boleh dengan cara begitu. Ya, kan, Bang?” Semesta meminta pembelaan kepada sang kakak. Dan lagi-lagi Sagara mengamini. Baru beberapa jam bersama keluarga Samudra, Me
“Bapak mau melakukan apa?” Meskipun sudah dighibahkan oleh orang-orang itu, Melody tahu jika akan sangat jahat apabila Samudra melakukan hal yang keji kepada mereka. “Tergantung nanti. Sejauh apa mereka mencampuri urusan kita.” Setelah mengatakan itu, Samudra masuk ke dalam ruangannya kembali. Menutup pintunya rapat dan justru hal itu membuat Melody sedikit was-was. Takut jika Samudra akan murka. Namun, sampai waktunya pulang, Samudra bahkan tidak memanggil Melody ke ruangannya dan itu artinya semua aman terkendali. “Kita pulang!” Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore saat Samudra keluar dari ruangannya. Melody mengangguk sebelum membereskan barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Lalu berdiri dan berjalan di belakang Samudra bersama dengan Bian. Saat mereka sudah berada di lantai dasar, banyak orang yang masih belum pulang dan perhatian mereka jatuh pada tiga orang yang berjalan keluar lobby. Melody menunduk dalam seolah takut semua orang yang ada di sana menghakimi dirinya. B