"Kamu nggak apa-apa kan, Yara?" tanya Jenny, berjalan di koridor rumah sakit dan berniat untuk pulang. "Enggak. Mungkin anemiaku lagi kambuh karena kebanyakan minum kopi," tutur Aayara dengan tersenyum tipis ke arah Jenny, "tapi … aku enggak pernah minum kopi deh perasaan," ucapnya lagi saat mengingat jika dirinya tak pernah mengonsumsi kopi di waktu dekat ini. Tak mungkin dia mengonsumsi kopi karena Maxim sangat over protektif padanya. Walau kadang membandel tetapi Aayara tetap merasa takut pada suaminya tersebut. Maxim mengerikan jika marah. "Ah, kita kan habis magang trus yang buat laporan akhir itu kamu. Jadi anemia kamu kambuh mungkin gara-gara begadang kali, Yara." Yara langsung menepuk jidat. Cik, bisa-bisanya dia lupa jika dia minggu ini disibukkan oleh laporan akhir magang mereka. Pantas saja! "Ehehehe … aku lupa," cengir-nya dengan raut muka pucat dan tegang. ***Beberapa hari kemudian. Maxim berdecak marah di ruang kerjanya. Wajahnya terlihat tak bersahabat serta aura
"Kau buang kemana mayatnya?" hanya Maxim setelah mereka pulang ke mansion, berjalan beriringan dengan Rafael. Rafael mengacungkan pundak. "Aku menyerahkannya pada Paman Exel. Jadi aku tidak tahu Paman akan mengolah wanita menjijikkan itu jadi apa.""Mungkin makanan kucing Javier." Maxim berucap acuh tak acuh. Rafael mengedikkan pundak."Yah, mungkin."Tiba-tiba saja saat mereka akan memasuki ruang kerja mereka di mansion itu, Gabriel tiba-tiba saja memanggil Maxim. "Maxim." "Ya, Paman?" tanya Maxim, memilih berhenti melangkah dan mengurungkan diri untuk tak masuk ke dalam. "Ini sudah satu bulan. Kau sungguh tidak mau menemui Aayara?" tanya Gabriel meyakinkan.Maxim menggelengkan kepala. "Tidak, Paman. Biarkan saja dia di sana," ucapnya terdengar acuh tak acuh. Setelahnya bergegas buru-buru masuk dalam ruang kerjanya. Cik, dia tak ingin membahas Aayara! "Anak ini!" dengkus Gabriel sembari menghela napas. "Jangan salahkan Paman kelak kalau kau terlambat tahu!" ucap Gabriel sedikit
"Bagaimana ini?" gumam Serena secara pelan, menampilkan raut wajah gunda serta gelisah. Dia terus bermondar-mandir di dapan kaca wastafel, tubuhnya bergetar dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. "Serena." Terdengar panggilan dari luar kamar mandi, itu berhasil membuat jantung Serena semakin berdebar dengan kencang. "Kau di dalam?" Suara itu kembali memanggil. "I--iya." Serena buru-buru membuka pintu kamar mandi, langsung memasang senyuman manis ke arah Rafael, "ada apa, Mas Rafael?" tanya Serena dengan nada lembut, walau terkesan gugup dan takut-takut."Adik kesayanganmu telah pulang. Kenapa kau tidak turun melihatnya?" tanya Rafael, bersedekap dan diam-diam menatap curiga ke arah istrinya. "O--oh, Aayara sudah pulang yah? Baiklah, aku akan menemuinya dan …-" Serena bergegas dan berniat beranjak. Namun, tiba-tiba saja Rafael menahan lengannya. Pria ini mencekal dan mencengkeram lengan Serena, membuat Serena menghentikan langkah dan menatap gugup ke arah Rafael. "Kenapa?"
"Kau bisa istirahat di sini," ucap Kevin, mendorong Jenny untuk duduk di atas ranjang miliknya. Arfita dan Dimas sudah pindah tadi siang, jadi Kevin merasa jika dia aman untuk membawa Jenny tinggal dengannya. "Pak Kevin, aku … a--aku tidak bisa tinggal di sini dengan Pak Kevin. Aku …-""Syuut!" Kevin meletakkan jemari telunjuk di bibir Jenny, isyarat agar perempuan tersebut diam. "Jangan banyak bicara dan beristirahat lah."Jenny menggelengkan kepala, wajahnya terlihat pucat dan jantungnya berdebar kencang. Semalam dia berhasil kabur dari rumah ini, tetapi sekarang dia kembali dibawa oleh Kevin kemari. "Pak, aku tidak ingin tinggal …-" "Jangan membantahku, Jenny, atau kau akan mendapat akibatnya!" Kevin mengintimidasi dan menekan kata-kata, memperingati Jenny untuk tak macam-macam dengannya. "Mulai sekarang kau tinggal denganku, selamanya! Karena kau--" Kevin mencengkeram pipi Jenny, memaksa perempuan itu untuk mendongak ke arahnya. "Kau milikku!"Jenny meremang takut, tubuhnya ber
"A--aku mau tinggal dengan Pak Kevin. Tapi-- tapi nikahi aku."Kevin menoleh ke arah Jenny, menaikkan kedua alis sembari menatap perempuan yang duduk di atas ranjangnya tersebut dengan wajah datar. "Aku adalah orang yang tidak percaya pada pernikahan dan komitmen. Kau yakin bisa ingin menikah dengan pria seperti itu?" ucap Kevin, sudah menatap sepenuhnya pada Jenny– bersedekap di dada dan menatap serius pada perempuan tersebut. "Dari pada aku dan Pak Kevin tinggal satu ru--rumah tetapi tak ada ikatan apapun. Orang tuaku akan kecewa dan … ini tabu," cicit Jenny pelan dan hati-hati. "Ayahku mempermainkan ibuku, memilih harta dibandingkan wanita yang peduli padanya. Bisa jadi suatu saat aku seperti ayahku. Kau tetap yakin menikah denganku?" ucap Kevin hati-hati. Sebenarnya dia juga ingin sekali mengajak Jenny menikah, dia menyukai perempuan ini dan sering memperhatikannya saat Jenny masih magang di kantor yang sama dengannya. Hanya saja, perceraian orang tuanya membekas dalam hati ser
Aayara mengacungkan pundak, ikut di sebelah Jenny. "By the way, kamu diantar oleh Pak Kevin yah? Soalnya aku melihat kamu turun dari mobil Pak Kevin. Oh, kalian ada something?" Deg Jantung Jenny seketika melaju dengan cepat, wajahnya pias dan tubuhnya mendadak kaku. "Tidak," jawab Jenny dengan cepat. "Kebetulan sana ketemu di depan. Pak--Pak Kevin menawarkan untuk mengantarku," alibi Jenny sembari tersenyum untuk meyakinkan Aayara. Tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya, Kevin sudah mengancamnya. Aayara memangut pelan, walau dalam hati dia bertanya-tanya. 'Ya kali aku bisa dibohongi gitu ajah. Pasti ada sesuatu antara Kak Kevin dengan Jenny.' "Ouh iya, laporan KKN-mu udah gimana?" tanya Jenny untuk mengalihkan topik. "Halo, Baby Aayara," sapa Jenny kemudian pada bayi dalam perut Aayara. Perut temannya ini sudah terbilang besar, walau sering tertutup oleh pakaian Aayara yang over size– tubuh Aayara memang ramping dan termasuk kecil, jadi kehamilannya bisa tertutupi oleh pa
"Jenny."Deg'Mata Jenny membelalak, menatap pucat ke arah seorang laki-laki di ambang pintu. 'Ke--kenapa dia tahu namaku?' "Kamu siapa?" tanya Jenny dengan air muka gugup, jantungnya berdebar kencang–takut pada sosok laki-laki tersebut. "Kamu nggak kenal suara aku?" Aayara buru-buru masuk dalam kamar tersebut, menutup pintu agar pembantu di rumah kakaknya ini tak tahu dan tak curiga juga. "Ini aku, Aayara!" ucap Aayara sembari berjalan mendekati Jenny, melepas topi dan juga hoodie– membuat kain sebagai body fake-nya lepas. "A-Aayara?" mata Jenny membelalak, jantungnya lebih cepat melaju dan rasanya hampir copot dari tempat. "Aayara, aku bisa jelasin ke--kenapa aku di--di sini," ucap Jenny kembali, semakin gugup ketika Aayara terus menatapnya. Aayara menghela napas, menatap ke arah ranjang kemudian kembali menatap Jenny dengan raut iba dan simpati. "Ini kamar Kak Kevin. Kalian-- tidur satu ranjang?" tanyanya ragu-ragu. Jenny menggigit bibir bawah, menganggukkan kepala dengan pel
Tangan Kevin yang berada di pipi Jenny seketika berpindah ke pundak perempuan itu. Raut marahnya sedikit mereda, hanya tatapan tajam Kevin saja yang masih memancar pada sorot matanya. "Jadi kau sangat ingin ku nikahi, Heh?!" desisnya, terus melayangkan tatapan tajam pada Jenny. "I--iya. Aku akan tinggal di sini, jadi aku ingin dinikahi oleh Pak Kevin. Tapi-- jika memang Pak Kevin tidak bersedia, Pak Kevin bisa … bisa mempekerjakan ku sebagai asisten rumah tangga di sini," cicit Jenny, takut-takut sembari melirik Kevin ragu. "Kita tidak boleh satu kamar jika aku menjadi asisten rumah tangga di sini," tambahnya lagi. "Aku sangat anti pada pernikahan," ucap Kevin dengan enteng, tersenyum manis sembari menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Jenny. "Tetapi aku juga tidak akan mempekerjakan pasanganku sebagai asisten rumah tangga."Deg 'Pasangan?' batin Jenny, kaget ketika Kevin menyebutnya sebagai pasangan. Jantungnya berdebar kencang dan matanya seketika terpaku pada iris coklat kehitaman y