"Pak, sepatuku baru," teriak satu-satunya anak lelaki Romlah begitu sang ayah masuk ke dalam rumah.Agus pun tersenyum mendapat laporan dari sang anak.Angga berlari dengan menenteng sepatu baru yang dibelikan oleh ibunya siang tadi."Bapak lihat, bagus, kan." Angga memperlihatkan sepatu barunya kepada Agus.Agus pun menunduk dan memerhatikan sepatu anaknya dengan seksama."Sepatunya bagus banget!" puji sang Ayah. "Pasti keren Kalo kamu pakai nanti.""Keren banget, pak, di kelasku belum ada yang punya kayak gini," ucap Angga dengan antusias."Bilang makasih sama Bapak! Itu beli pakai uang dari Bapak," ujar Romlah yang baru keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi, lalu meletakkannya di meja. "Kopinya, Mas," imbuhnya."Makasih, ya, Pak," Bocah berumur delapan tahun itu memeluk tubuh ayahnya penuh kebahagiaan."Iya, sama-sama. Sekolah yang rajin, ya, biar jadi anak pintar." Agus membalas pelukan sang anak, lalu mengelus kepala anak sulungnya itu.Puas memeluk ayahnya, Angga pun b
Siti terpaku menatap kepergian anak sulungnya. Rasa sesal menyerang relung hatinya yang paling dalam, hingga mengundang rasa sesak dalam dadanya.Memang tak seharusnya ia menampar anak perempuannya itu. Rasanya sikapnya kali ini sudah kelewatan.Siti terduduk lemas di sofa berwarna hitamnya. Rasa sesal terus saja memenuhi isi kepalanya.Yuli pun keluar dari rumah ibunya dengan rasa sakit hati. Air matanya terus saja meleleh membasahi pipi. Ia merasa mimpi buruk kini sedang menghampirinya.Ia masih berdiri mematung di depan rumah ibunya, ketika terlihat dari ujung matanya Seorang wanita telah memerhatikannya.Yuli menoleh ke arah wanita itu, yang ternyata adalah adik iparnya. Melihat Romlah tersenyum sinis kepadanya, membuat darah Yuli mendidih."Puas kamu lihat aku bertengkar sama Ibu!?" tuduh Yuli berjalan beberapa langkah ke arah Romlah."Apaan, sih, Mbak?!" tanya Romlah yang terus waspada, ia tak ingin Yuli menyerangnya seperti waktu itu."Jangan pura-pura nggak tau! Kamu ngasih ci
"Assalamualaikum." ucap lelaki itu.Romlah terlihat semakin salah tingkah. Tubuhnya seolah terasa kaku dan susah untuk digerakkan. Bibirnya pun terasa kelu."Waalaikumsalam," jawab Agus yang semakin penasaran, siapa sebenarnya lelaki itu.Jika tak ada sesuatu antara lelaki itu dan Romlah, tak mungkin istrinya itu terlihat aneh.Agus mendekati sang istri,"Siapa dia, Dek?" tanya Agus kepada sang istri.Romlah tak kuasa menjawab pertanyaan Agus karena rasa paniknya, ia hanya mampu menggelengkan kepala.Lelaki itu pun mendekat ke arah Agus dan Romlah berdiri."Selamat siang, Pak, Bu." sapa lelaki itu."Selamat siang, siapa, ya?" tanya Agus yang membuat Romlah semakin panas dingin."Saya Agam dari koperasi simpan pinjam Pak, saya ke sini mau narik cicilan mingguan Bu Romlah," jelas lelaki yang berumur sekitar tiga puluh tahun itu."Cicilan?!" Agus membelakkan matanya mendengar penjelasan lelaki di depannya.Pasalnya, Agus merasa sudah Mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Mulai dari yang
"Kebohongan apa lagi yang kamu sembunyikan di belakangku?" pertanyaan itu keluar dari mulut Agus yang jaraknya hanya sekitar lima centimeter dari wajah Romlah.Karena begitu dekatnya, hingga nafas Agus pun terdengar oleh telinga sang istri.Romlah membuka mata, dan mendapati Agus tengah menatapnya tajam. Mata merahnya kini terasa ingin menguliti Romlah."Aku bisa jelasin, Mas," ucap Romlah memelas."Apa yang mau kamu jelasin, ha!""Ak-aku...." Romlah bingung dengan apa yang ingin dikatakannya."Apa! Sekarang aku tanya sama kamu, buat apa kamu pinjam-pinjam uang, ha!?" tanya Agus penuh penekanan.Romlah hanya bisa menunduk, ia merasa bersalah. Tangisnya pun tiada guna baginya. Namun, jika ia bercerita yang sebenarnya, pasti Agus semakin marah padanya. Romlah menyesal, karena menuruti egonya, kini sang suami murka kepadanya."Nggak bisa jawab kan?! Aku heran sama kamu, semua pengenmu sudah kuturuti, bahkan yang nggak masuk akal pun aku usahain, tapi kenapa masih ngutang di belakangku,
"Heh, Gus, malah ngelamun." Yuli menepuk lengan Agus."Eh, iya, Mbak, aku mau mandi dulu, udah siang soalnya." Agus meninggalkan Yuli yang masih menunggu jawaban darinya itu."Siang? Ini masih jam lima pagi loh!" teriak Yuli kepada Agus, tetapi tak ada jawaban dari adiknya."Kok Agus tidur disini, sih, Bu?" Tak mendapatkan jawaban dari sang adik, kini Yuli mencoba mengorek informasi dari ibunya."Ya emang pengen tidur di sini kali. Lagian, biarin aja, sih! Ini, kan, masih rumahnya juga!" "Tapi aneh, loh, Bu. Nggak biasanya Agus nginap disini, apa jangan-jangan dia lagi ribut sama istrinya?" terka Yuli.Siti mengendikkan bahunya,"Ibu nggak tahu Yul. Lagian, itu urusan pribadi mereka, Ibu nggak mau terlalu ikut campur!" "Tapi, kan, Bu-""Nanya resepnya udah selesai belum? Kalau udah, mendingan pulang aja, Ibu mau masak!" ketus Siti yang mulai merasa kesal terhadap Yuli."Eh, bentar dulu, Bu! Ibu nggak pengen nanya ke Agus, dia lagi kenapa gitu, Bu?""udah lah Yul, Ibu mau masak dulu."
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari