Share

part 3 Terpaksa

***

Bunyi detak higheel menggema kala memasuki ruangan kerjaku. Di luar udara dingin akibat hujan semalam meretas masuk ke ruanganku yang berAC rendah. Kuambil remote dan mematikan AC yang membuatku menggigil menapakkan kaki di ruangan ini.

"Selamat pagi, Bu Raline," sapa Hani. Gadis berhijab modern itu melangkah masuk membawa beberapa map di tangannya.

"Hari ini jadwal Ibu ke kantor cabang di Surabaya. Ini agendanya," ucap Hani meletakkan map di depanku.

"Atur keberangkatanku, Han. Mungkin aku akan langsung mengambil cuti sampai weekend di sana. Oh, ya. File dari Pak Sigit, asisten manager keuangan kirimkan seperti biasa ya, Han," pintaku sebelum Hani beranjak pergi.

Hani mengangguk pasti. Aku tersenyum sambil menarik napas lega. Jarang-jarang aku mendapat tugas ke kantor cabang. Betul-betul saat yang tepat untuk melakukan plan A dan B sekaligus.

Aku sengaja tak memberitahu Ayah dengan kedatanganku ke Surabaya. Toh, beliau tak akan peduli, mau aku datang atau tidak.

Puluhan tahun sakit ini kupendam kesakitan ini tanpa ada seorang pun yang tahu. Aku hanya menangis dalam hati karena air mataku telah kering menghiba belas Kasihannya. Lebih baik aku menginap di hotel dan weekend seperti biasa baru aku mengunjunginya. Biarlah dia membenciku asalkan aku tak berbuat demikian juga.

"Selamat datang di hotel kami, Bu. Silahkan isi daftar tamu dan memilih kamar," sapa resepsionis hotel berseragam biru tua.

Aku mengambil buku tamu dan memesan kamar. Dari arah pintu masuk nampak keramaian dengan kedatangan sekitar sepuluh orang tamu hotel. Aku bergegas mengambil kunci karena tak ingin berpapasan dengan tamu-tamu itu.

Namun, Tiba-tiba tanganku terhenti untuk memasukkan kunci ke dalam tas. Aku menoleh kala mendengar suara itu, suara dari salah satu tamu yang terdiri dari enam Laki-laki dan empat wanita. Dadaku berdesir melihat senyum yang tercetak di wajah yang sangat kukenal itu. Ia tengah bicara dengan rekan perempuannya. Hangat dan mesra menurut penilaianku.

Dari pembicaraan yang kudengar mereka tengah melakukan pelatihan langsung ke lapangan dan menginap di hotel ini untuk beberapa hari.

Raditya Hendrawan, namanya. Anak semata wayang Bu kepala sekolah yang tampan dan supel. Kebetulan sekali, tanpa capek mencari aku bertemu dengannya di sini.

Kutunggu mereka menuju kamar masing-masing lalu kuikuti dari belakang. Ternyata Hendra berada di lantai enam sedang aku berada di lantai delapan. Gegas aku turun untuk menemui resepsionis lagi.

"Lantai enam nomor 108, sudah ada yang menempati, Mbak?" Resepsionis dengan rambut disanggul itu heran, tapi segera mengecek layar komputernya.

"Belum, Bu."

"Saya pesan kamar itu saja, ya." Resepsionis itu mengangguk mengambil kunci dari tanganku lalu menukarnya.

Kamar 108 berseberangan dengan kamar Hendra sehingga memudahkanku mengamati Hendra.

Kukirim pesan pada Anita--satu-satunya sahabatku di esema Nusa Pertiwi kala itu. Kami masih saling berhubungan sejak putus dari sekolah itu hingga sekarang sebab rumah Ayah tak jauh dari rumah Anita.

[An, aku di Surabaya sekarang. Kamu dimana]

Untuk beberapa saat kutunggu balasan dari Anita.

[Oh, ya. Main ke rumah dong, cantik]

Aku tersenyum atas pujian yang selalu digaungkan Anita setiap bertemu denganku seakan tak habis rasa kagumnya mengetahui perubahan drastis dari penampilanku dulu dan sekarang.

[Kita ketemu di luar aja ya, An]

**

"Aku ketemu dia saat reunian kemarin. Tambah tampan dan mapan, apalagi punya istri selebgram dengan jutaan followers," ungkap Anita.

"Menurutmu apa dia setia?"

Anita mengangkat bahu seraya menyeruput jus mangga di depannya.

"Dari isu yang kudengar dia berada di bawah ketiak istri."

"O-oh ... "

"Siapa lagi yang kamu temui di sana, An?" tanyaku berharap Anita menceritakan para senior yang lain tanpa kutanya agar Anita tak curiga.

Ia nampak berpikir, mengingat-ingat siapa saja nama yang datang saat reuni alumni.

"Kak Indra, Kak Lenta, Kak Hens ... Miliarder itu loh."

"Terus?"

Anita menggeleng pasti.

"Tak ada lagi. Itu saja."

Aku menghembuskan napas kecewa, tak ada nama yang kuinginkan disebut Anita.

"Oh, ada ... Kak Mala. Tapi dia tak jadi sorotan malah jadi bahan gunjingan.

"Kenapa?"

Anita setengah berbisik.

"Dia baru keluar dari penjara karena menganiaya ARTnya yang ketahuan berselingkuh dengan suaminya. Malah dia kelihatan depresi waktu itu, malang sekali dia."

Anita berhenti bicara, ia menelan ludah saat pesanan makanannya datang. Kalau sudah soal makanan dia tak akan fokus lagi untuk bicara.

Berarti Kak Mala tidak menjadi targetku lagi. Kurasa penderitaan yang dialaminya dapat menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.

"Jessica dan Dion, kudengar di Jakarta sekarang."

Terkejut aku menoleh pada Anita dengan mulut penuh makanan.

"Kamu yakin?"

Anita mengangguk samar bertepatan dengan deringan ponselku.

"Ya, Hani."

**

Kubatalkan rencana menginap di rumah Ayah weekend ini sebab harus memantau aktifitas Hendra yang tengah berpesta bersama rekan kerjanya di club yang khusus disediakan pihak hotel. Senin depan aku harus balik ke Jakarta, ada sebuah berita gembira yang disampaikan Hani.

Sejak kemarin tak ada yang bisa kulakukan untuk mendekati Hendra. Kami sempat berpapasan saat keluar kamar hotel masing-masing.

"Hai," sapanya tersenyum ramah yang kubalas hanya dengan anggukan, itu saja.

Sepertinya Hendra bukan lelaki gampangan, dapat dilihat pribadinya yang ramah tapi tidak sok ramah. Sayang, dia harus merasakan juga sedikit kepahitan hidup.

Bunyi hentakan music yang memekkan telinga mengiringi pesta Hendra dan kawan-kawannya. Mereka menyewa ruangan VIP sehingga menyulitkanku memantau Hendra, terpaksa seorang bartender yang kusuruh dengan kompensasi uang tutup mulut cukup banyak.

Sekitar dua jam aku menunggu, Hendra keluar dari ruangan dengan kondisi mabuk berat. Seorang wanita rekan kerjanya memapah tubuh itu susah payah keluar club. Aku menguntit dari belakang.

"Dia kenapa?" tanyaku pura-pura membantu ketika keduanya sudah di depan pintu kamar.

Aku membuka pintu setelah wanita yang juga dalam keadaan mabuk itu memberi kartu akses masuk.

"Gerah," ujar wanita itu.

"A-aku juga," balas Hendra.

Mereka berdua terguling di ranjang.

**

"Tender kita kalah telak, Bu Raline. Perusahaan mengalami kerugian besar." Laporan Hani pagi ini.

Aku meneliti laporan yang dibawa Hani, kupastikan rapat kali ini akan memanas.

"Apa ada telepon dari Pak Lim?"

"Tidak, Bu." Hani menggeleng cepat.

Aku tersenyum membayangkan ketakutan di wajah Bima saat ini.

"Ada yang lucu, Bu?"

"Eh, tidak, Han. Kamu boleh keluar tapi sebelumnya panggil Pak Sigit dan Pak Bima untuk ke ruang rapat.

Pesan email dari Mr. Lim tampil di layar laptopku. Sudah kuduga, pemilik perusahaan itu hanya memberi surat peringatan pertama. Tak apalah, aku masih ingin bermain-main sebentar.

Ponselku menyala, menandakan sebuah pesan masuk.

[Perusahaanku menang telak, Lin]. Diiringi emot tertawa ngakak diakhir pesan.

Kuhembuskan napas panjang sambil memijit pangkal hidungku. Pesan susulan kembali datang meski tak kubalas.

[Aku dapat komisi besar, kutraktir malam ini, Ya?]

Kututup aplikasi berlogo hijau itu tanpa membalas satu pun pesan dari Rangga. Hatiku kecilku menjerit telah membuat kesalahan pada perusahaan yang telah menaungiku bertahun-tahun serta mengkhianati kepercayaan Pak Lim, lelaki Tionghoa yang telah menganggapku seperti anak sendiri.

Seolah tahu kekacauan pikiranku, panggilan voice call muncul di layar ponselku. Gemetar tanganku menggeser tombol hijau.

tbc..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status