**"A-ayah ... "Hening tak ada jawaban. Tapi helaan napas itu masih dapat kudengar walaupun lirih. "Maaf, kalau Ralin tidak singgah, Yah sebab ada pekerjaan penting." Getir kuucapkan kata-kata itu. Aku tak tahu Ayah tahu kedatanganku darimana, yang jelas dari helaan napas itu beliau kecewa. Laju kendaraan sepeda motor nyaring terdengar di seberang telepon pertanda beliau sedang ada di toko saat ini karena Toko bahan material bangunan milik kami terletak di tepi jalan raya. Toko itu sudah ada sejak dari nenek moyang yang diwariskan turun temurun. Tak kunjung bicara dan memang beliau tak akan bicara, aku pamit pada Ayah karena harus menghadiri rapat pagi ini. "Maaf, Yah. Raline harus kerja dulu ... Assalamu'alaikum." Ketika ponsel itu hendak kumasukkan ke dalam saku blazer, panggilan dari Anita memaksaku mengurungkan niatku. "Hallo, Lin. Lagi kerja, ya? Sorry, loh.""Lah, kamu kan tahu itu.""Bentar, bentar aja. Ini kubagikan link berita hari ini ke IG kamu, ya."Anita langsung me
***Pov RalinKutepis lengan yang ingin memelukku dari belakang. "Kau masih menolakku setelah apa yang telah kulakukan semua untukmu?" ucap Rangga dengan gusar. Lelaki berkaos coklat itu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, berjalan ke arah jendela lalu mematiknya di sana. "Maaf, Ngga. Ini hanya soal waktu, aku belum siap, tapi kupastikan tak akan lama lagi.""Aku kesal melihat laki-laki itu memelukmu tadi, sedang aku selalu kau beri batasan. Mau sampai kapan aku menunggu?"Rangga berdecak kesal sembari mengepulkan asap rokoknya ke udara. "Itu tadi tak sengaja, bukan dari hatiku. Aku hampir jatuh beruntung dia menolongku," jawabku menenangkan Rangga. "Apa lagi yang kamu inginkan? Dia sudah keluar dari perusahaan. Kamu tinggal menikah denganku, selesai persoalan.""Kalau kau tak sabar menunggu, kau bisa mencari perempuan lain, Ngga. Tak masalah bagiku selagi kamu berstatus bebas." Kuraih tas lalu bergegas keluar melewatinya. Aku kesal berlama-lama dengan pria yang h
SUAMI DARI MASA LALUPart 6"Maaf Nak Bima. Umi telah membatalkan semuanya, Abi tak bisa berbuat apa-apa. Kamu tahu sendiri Umi bagaimana, 'bukan?""Tolonglah, Bi. Saya mencintai Annisa. Dengarkan penjelasan saya dulu. Saya hanya menolong wanita itu karena ia hampir terjatuh. Tak ada niat lain dan saya pastikan kalau sifat saya sudah berubah."Abi menghela napas panjang, lelaki yang rambutnya sudah memutih semua itu menggeleng pelan. "Abi percaya, Bima. Tapi semua tergantung pada Umi. Annisa harus menuruti perkataan Uminya kalau tak ingin dikatakan anak durhaka."Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan pernikahanku. Dengan langkah gontai aku keluar rumah Annisa.Sesampai di pintu pagar aku menoleh ke belakang, tepatnya ke jendela kamar samping rumah berarsitektur kuno itu. Annisa berdiri di sana dengan air mata berderai sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan. Tak disangka kejadian yang hanya sekejab mata antara aku dan Bu Ralin berakibat fatal bagi pernikahanku.
SUAMI DARI MASA LALU Part 7**Aku masih bergelung di bawah selimut padahal sinar matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Perlahan kusibak selimut tebal yang sekian hari menemani tidur malamku itu. Menapak kaki dengan malas di lantai lalu melangkah menuju jendela untuk membuka tirai. "Lin, maukah kamu menjadi pasangan Alex saat mengikuti pembukaan restoran barunya?" pinta Nyonya Lim semalam. Aku tahu keluarga Pak Lim ingin mendekatkan aku dan Alex, walau mereka tak ingin memaksa dengan alasan perbedaan agama diantara kami. Namun, semakin hari mereka ingin mengabaikan perbedaan itu. "Tak ada salahnya dicoba, kami pun ikhlas kalau Alex mengikuti keyakinanmu jika memang dia nyaman denganmu."Kata-kata itu yang kupikirkan semalaman hingga membuat insomnia ku merajalela. Deringan ponsel mengalihkan pandanganku dari bangunan berjejer di bawah lantai dua puluh ini. "Sebentar lagi saya sampai, kamu handle dulu, ya." Aku mengakhiri panggilan dari Hani. Sedetik kemudian pang
SUAMI DARI MASA LALU Part 8Pov Bima**"Masuk, Nak." Kujejalkan kaki memasuki rumah besar dan luas tapi bercorak kuno itu. Cat dindingnya yang berwarna putih sudah banyak yang mengelupas butuh dicat kembali. Di ruang tamu rumah itu aku disuguhkan aneka perabotan yang juga termakan usia, hanya tirai jendela dan pintu yang mengikuti model jaman sekarang. "Rumah lama, Nak. Kami membelinya puluhan tahun lalu dari orang lain. Rumah yang banyak kenangan sehingga saya enggan mengganti segala sesuatu yang berkaitan dengan almarhum istri saya," ujar Pak Udi melihatku memandang sekeliling. "Tunggu saya buatkan kopi.""Tak usah, Pak, hanya merepotkan Bapak saja," larangku. Namun, Pak Udi tak menggubris, dengan jalan terpincang-pincang ia memasuki ruang dalam. Tak beberapa lama dia muncul dengan nampan di tangan, buru-buru aku mengambil alih nampan itu sebab ia agak kewalahan. "Dicoba, Nak. Kopi saya terkenal enak ... Kata anak saya," kekeh Pak Udi. Aku menyeruput kopi dari pinggiran gel
Pov Bima**"Masuk, Nak." Kujejalkan kaki memasuki rumah besar dan luas tapi bercorak kuno itu. Cat dindingnya yang berwarna putih sudah banyak yang mengelupas butuh dicat kembali. Di ruang tamu rumah itu aku disuguhkan aneka perabotan yang juga termakan usia, hanya tirai jendela dan pintu yang mengikuti model jaman sekarang. "Rumah lama, Nak. Kami membelinya puluhan tahun lalu dari orang lain. Rumah yang banyak kenangan sehingga saya enggan mengganti segala sesuatu yang berkaitan dengan almarhum istri saya," ujar Pak Udi melihatku memandang sekeliling. "Tunggu saya buatkan kopi.""Tak usah, Pak, hanya merepotkan Bapak saja," larangku. Namun, Pak Udi tak menggubris, dengan jalan terpincang-pincang ia memasuki ruang dalam. Tak beberapa lama dia muncul dengan nampan di tangan, buru-buru aku mengambil alih nampan itu sebab ia agak kewalahan. "Dicoba, Nak. Kopi saya terkenal enak ... Kata anak saya," kekeh Pak Udi. Aku menyeruput kopi dari pinggiran gelas. Betul, terasa nikmat dan
Part 10Pov Raline**Pak Lim sedang menatap layar ponselnya ketika aku masuk. Pria bermata sipit itu menyuruh duduk tanpa melepas pandangannya dari layar. Aku jengah dengan kesibukannya dan mengabaikanku yang sedari tadi duduk di sini. "Sorry, Lin. Ada hal penting yang ingin dibicarakan Alex." Sudah kuduga ini yang akan disampaikannya sebab aku telah memblokir nomor Alex. Lemah sekali dia melibatkan orang tua dalam masalahnya, dasar anak mami! Makiku dalam hati. "Kalian harus menyelesaikan kesalahan pahaman ini. Kau tahu, Mama Alex sampai tak tidur memikirkan ini.""Apa, Pak Lim? Sampai segitunya?" tanyaku tak percaya. "Iya. Alex telah menceritakan semua pada kami. Nah, itu dia datang." Pak Lim menunjuk ke pintu. Aku mendengar langkah kaki Alex memasuki ruangan ini. Ia duduk di sampingku sama-sama menghadap Pak Lim. "Aku tinggal, silahkan kalian bicara berdua." Pak Lim berdiri lalu berderap ke luar. Hening, hanya detak jarum jam di dinding terdengar sebagai irama kesunyian dia
Part 11**Aku melukis wajah dibalik topi dengan kacamata hitam itu dibenakku. Perlahan ia berjalan ke arahku. "Hallo Raline, apa kabar? Masih berniat menghindariku." Akhirnya aku menyadari siapa yang berdiri di hadapanku sekarang. Kututup pintu mobil yang sempat kubuka tadi. "Kau berhasil menghancurkan karirku, Ngga. Tapi sayang tidak sepenuhnya," ucapku datar. "Ya, paling tidak itu hukuman bagi orang yang suka mempermainkan perasaan orang lain." Rangga mencebik. Aku mendesah, dalam situasi seperti ini tak ada jalan lain selain mengalah. "Baiklah! aku minta maaf, Rangga. Aku ingin berdamai dan tak ingin memperpanjang perdebatan kita.""Apa maksudmu?" Rangga memasang topinya miring seolah mengejekku. "Jauhi aku! Karena aku akan menikah, kalau tidak ... " Aku mengeluarkan ponsel dari balik blazer, menscroll album mencari kartu mati untuk Rangga. Kuperlihatkan sebuah foto yang mampu membuat wajah Rangga pias, ia langsung membuang wajah dari foto itu. Diperbaikinya letak topi dan