Share

Permintaan

SUAMI DARI MASA LALU

Part 6

"Maaf Nak Bima. Umi telah membatalkan semuanya, Abi tak bisa berbuat apa-apa. Kamu tahu sendiri Umi bagaimana, 'bukan?"

"Tolonglah, Bi. Saya mencintai Annisa. Dengarkan penjelasan saya dulu. Saya hanya menolong wanita itu karena ia hampir terjatuh. Tak ada niat lain dan saya pastikan kalau sifat saya sudah berubah."

Abi menghela napas panjang, lelaki yang rambutnya sudah memutih semua itu menggeleng pelan.

"Abi percaya, Bima. Tapi semua tergantung pada Umi. Annisa harus menuruti perkataan Uminya kalau tak ingin dikatakan anak durhaka."

Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan pernikahanku. Dengan langkah gontai aku keluar rumah Annisa.

Sesampai di pintu pagar aku menoleh ke belakang, tepatnya ke jendela kamar samping rumah berarsitektur kuno itu. Annisa berdiri di sana dengan air mata berderai sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.

Tak disangka kejadian yang hanya sekejab mata antara aku dan Bu Ralin berakibat fatal bagi pernikahanku. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah istilah yang patut disematkan padaku saat ini. Dikeluarkan dari pekerjaan ditambah rencana pernikahanku yang gagal.

[Maafkan Kakak Annisa, mungkin kita memang tak jodoh. Perempuan baik sepertimu memang pantas mendapatkan lelaki baik juga. Semua yang Kakak berikan tak usah dikembalikan. Pakailah untuk kebutuhanmu]

Sejak kami saling serius untuk menikah, aku sudah menyimpan sedikit demi sedikit uang yang rencananya akan kami jadikan modal usaha. Serta sebuah cincin emas pengikat hubungan kami.

Aku mengirim pesan ke nomor Annisa yang tak aktif, kuyakin dia pasti membukanya esok atau lusa.

**

Kulajukan mobil sangat pelan dengan tatapan kosong hingga tanpa kusadari mobil satu-satunya peninggalan Papa itu sampai di pasar utama.

Sebuah teriakan minta tolong menyadarkan alam bawah sadarku. Bergegas aku menepi melihat sebuah toko bangunan yang tengah dirampok.

"Hei! Lepaskan lelaki tua itu?" teriakku pada empat lelaki berbadan tegap, dua diantaranya bertatoo disekujur tubuh.

Tanganku gatal karena sudah lama tak digunakan untuk berkelahi. Ilmu bela diri kalau tak dipergunakan bisa hilang kemampuannya.

Keempat preman itu terbahak-bahak.

"Lihat! Ada pahlawan kesiangan mau cari mati padahal tak ada satu pun yang berani mendekat. Cepat urus dia." Lelaki kepala plontos memberi kode pada dua temannya untuk menyerangku.

Sekilas kulirik sekeliling, orang yang lalu lalang dan toko disekitar nya tak ada yang peduli, entah dimana rasa kemanusiaan mereka.

Kedua preman menyerang penuh ambisi menghabisi. Serangan dan pukulan yang dilayangkan kedua preman itu dapat kutangkis dengan baik. Tak menyiakan kesempatan, sebuah peluang hadir. Aku berhasil membekuk dan melancarkan pukulan ke ulu hati keduanya. Belum sempat berdiri, pukulan telak kembali kulayangkan. Mereka berdua roboh membuat dua preman lagi geram dan berlari ke arahku membantu temannya.

"Kurang ajar!"

Diserang dari empat arah membuatku sedikit kewalahan hingga dua dari mereka mengeluarkan sebilah pisau. Satu dari pisau itu berhasil merobek lenganku, Luka cukup dalam menganga di sana. Aku terpojok dan tersurutu mundur. Beruntung pemilik toko menelepon polisi, bunyi sirine membubarkan keempat preman pasar itu.

"Kau tak apa-apa anak muda?"

Pemilik toko yang berjalan terpincang-pincang mendekatiku. Wajahnya penuh luka memar, kurasa dia membela diri dari perampok yang ingin menjarah tokonya.

"Mari kita ke dalam, akan kuobati lukamu."

Dibantu dua polisi aku dipapah memasuki toko bahan bangunan ini.

"Salah seorang dari mereka adalah mantan karyawan yang saya berhentikan paksa. Mungkin karena sakit hati dia balas dendam," terang pak tua itu sambil menyiapkan kotak p3k.

Aku merintih ketika dia menggunakan kain kasa bercampur alkohol untuk membersihkan luka kemudian mengoles obat luka di sana. Dengan telaten ia membalut lenganku hingga nyerinya berkurang.

"Wajah Bapak juga memar, biar saya bantu kompres," tawarku menggeser duduk mendekatinya.

"Tidak usah. Aku bisa melakukannya sendiri." Lelaki tua itu bangkit menuju kulkas di samping lemari tinggi besar yang berisi alat-alat kebutuhan bangunan. Ia mengeluarkan sebuas es batu, mengambil sebuah palu untuk menghancurkan bongkahan es kemudian meletakkan di dalam wadah plastik.

"Syukurlah ada kamu yang datang, kalau tidak habis semua uang yang akan saya belanjakan esok hari. Namamu siapa, Nak?" tanyanya sembari mengopres wajahnya sendiri dengan handuk kecil yang tadi dikalungkan di lehernya.

"Saya Bima, Pak."

"Oh. Saya Sudibyo, panggil saja Pak Udi. Tinggal dimana?"

"Jalan Pattimura."

"Oh. Tak terlalu jauh dari sini, ya." Lelaki itu diam mengamati wajahku.

"Wajahnya terlihat kusut, ada masalah ya, Nak?" selidiknya.

Aku menunduk menghindari tatapan lelaki tua itu. Aku berpikir sendiri apakah dampak sebuah masalah itu berdampak ke wajahku?

"Tak apa kalau tak mau cerita. Bapak doakan semoga masalahmu cepat teratasi."

Tiba-tiba wajah Pak Udi menyerngit, ia menuju kursi panjang dari bambu lalu berbaring di sana, buru-buru aku mendekatinya.

"Bapak kenapa?"

"Kepalaku pusing mungkin efek pukulan para preman tadi. Padahal besok harus membeli bahan," keluhnya sembari memijit kepalanya.

"Karyawan Bapak mana?"

"Karyawan perempuan sudah pulang, laki-laki tadi merupakan karyawan yang menyelewengkan uang pelanggan makanya saya pecat." Raut wajah Pak Udi berubah murung.

Terbersit dalam benakku untuk sementara bekerja di sini sambil melamar kerja lain via online.

"Bolehkah saya melamar kerja di sini, Pak?" Pak Udi menoleh, sudut bibirnya terangkat sempurna.

"Benarkah? Saya sangat senang sekali kalau memang Nak Bima mau bekerja di sini. Saya butuh karyawan baik seperti Nak Bima." Lelaki dengan rambut putih itu mendekapku.

"Saya sangat berhutang budi pada Nak Bima." Pak Udi melepaskan pelukannya, menatapku dengan linangan air mata.

"Mulai besok Nak Bima langsung bekerja, ya," ujar Pak Udi bersemangat.

**

Seperti permintaan Pak Udi, esok paginya aku sampai di toko. Kusapa seorang wanita berhijab hitam yang tengah membuka toko.

"Selamat pagi, Mbak. Perkenalkan saya Bima, karyawan baru Pak Udi." Aku mengulurkan tangan ke arah wanita yang menatapku tak berkedip.

"Hallo, Mbak ... " Kutarik tanganku yang mengambang di udara.

"E-eh, iya, Mas. Aku Nita bagian depan, penerima pelanggan. Kapan melamarnya, Mas? Kemarin perasaan tak ada," tanyanya ingin tahu.

"Kemarin sore. Pak Udi kapan datangnya?" Aku celingukan ke dalam mencari sosok lelaki tua pemilik toko ini.

"Eh, Mas Bima, Ya? Mari masuk. Pak Udi sudah menelepon saya tadi, beliau tak enak badan. Jadi saya yang akan menemani Mas Bima berbelanja bahan toko yang habis." Wanita lain muncul dari dalam dan langsung mengajakku masuk meninggalkan wanita tadi.

"Oh, ya, kenalkan aku Maya, bagian gudang."

"Saya Bima." Kami berjabat tangan. Maya tersenyum dikulum, lama dia baru melepaskan jabatan tangan kami.

"Maaf, Mbak Maya ... "

"Oh, maaf, Mas Bima."

Pipi perempuan itu merona, ia buru-buru menuju laci dan mengeluarkan catatan.

Tiba-tiba dari arah pintu Pak Udi muncul dengan langkah tergesa.

"Maya! Kau masuk ke dalam, biar aku yang langsung menemani Bima membeli barang kebutuhan toko." Pak Udi mengambil alih catatan dari tangan Maya.

"Nita, kau jaga kasir," perintahnya pada wanita yang di luar tadi.

"Maaf Nak Bima, Bapak terlambat. Kita langsung berangkat saja, tak bisa meninggalkan mereka berdua berlama-lama ... Tak serasi, sering bertengkar. Mau saya pecat salah satunya nanti." Pak Udi terus bicara sampai ke mobil pickup yang dibawanya.

"Biar saya saja yang bawa, Pak," pintaku. Kulihat wajah lelaki itu pucat dengan mata yang sayu. Kuyakin ia tak enak badan, tapi dipaksakan juga bekerja.

"Tak usah, Bapak sanggup, Kok."

Pak Udi mulai melajukan kendaraan roda empat dengan bak terbuka itu. Pandangannya lurus ke depan fokus mengemudi, sesekali di usapnya keringat di dahi.

"Usia berapa Nak Bima? Sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba tanpa hilang fokus ke depan.

"Tiga puluh dua, Pak ... "

Aku ragu untuk mengatakan baru gagal menikah, sungguh hal yang memalukan.

"Sudah punya istri?" Kembali Pak Udi bertanya seiring melewati lampu merah yang menyala, kami berhenti.

"Belum."

Pak Udi menoleh cepat memperbaiki duduknya.

"Betulkah? Ya Allah, sebuah kebetulan yang tak disangka. Maukah kamu menikah dengan anak gadis saya?"

"Apa? Ma-maksud Bapak?"

"Iya. Kalau kamu belum punya pasangan, maukah menikahi anak saya?"

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status