**Pov RalineAku terbangun di ruangan serba putih, bau obat-obatan menyengat ke indra penciumanku. Kutatap tubuh yang masih mengenakkan kebaya putih lengkap. "Apa yang terjadi denganku," gumamku. "Kamu sudah sadar, Lin?" Aku menoleh ke arah suara di bawah kakiku. Kak Mila duduk bersidekap di sana. "Apa yang terjadi, Kak?" Aku berinsut mencoba duduk walau kepalaku masih pusing. "Kau pingsan, kata Dokter akibat terlalu lelah dan tensimu yang rendah. Apa kau sudah merasa baikan?" Kak Mila berjalan ke sisi kiriku. "Hmm, tak terlalu pusing lagi.""Tunggu aku panggilkan perawat biar kamu diperiksa," ujar Kak Mila memutar tubuhnya. "Kak ... Tunggu! Aku mau bicara sebentar." Kak Mila mengurungkan niatnya lalu menarik sebuah kursi untuk duduk di sampingku. "Kakak tahu Bima itu siapa?"Kak Mila menggeleng. "Dia dan kawan-kawannya yang menjadi penyebab kesengsaraan dalam hidupku," paparku pada Kak Mila. Raut wajahnya berubah menjadi serius, ia semakin mendekatkan kursinya padaku. "Ma
**Pov BimaLelaki itu ada diantara para tamu yang hadir untuk mengucapkan selamat. Ia memakai baju batik coklat dipadu jeans hitam. Rambutnya dikucir ke atas hingga terkesan rapi. Aku masih memandang gerak-geriknya sejak awal masuk. Ia melangkah tegap ke depan menaiki panggung setelah tamu sudah mulai sepi naik ke panggung. "Hallo, Bro. Akhirnya status lo berganti juga, tapi kenapa lo cuma sendiri, mana gadis cupu itu?" tanyanya celingukan. "Aku tak mengundang lo, Bro. Siapa yang menyuruh lo datang?" Bukan tak suka atau membencinya, tapi kelakuannya yang pernah menjebakku itu yang membuatku demikian. Dion, sahabat dekatku sejak esempe hingga kuliah pun kami bareng hanya beda jurusan. "Gue disuruh Hendra. Ia masih belum pulih setelah jatuh dari kamar mandi."Jadi itu rupanya penyebab Hendra masuk rumah sakit lagi. Aku membuang muka ketika Dion mendekat ingin memberi selamat. "Sebaiknya lo pergi, lo bukan tamu undangan di sini," ucapku tanpa memandangnya dan membiarkan tangan Di
**Pov RalineAku menggeliat bangkit dari ranjang, bangkit dan mendapati Bima tengah membaca alquran di atas sajadah di lantai.Setelah insiden semalam aku jadi semakin membenci Bima. Walau halal untuk bersentuhan dan kemunculan geleyar aneh, aku menampik berdekatan dengannya.Aku melirik jam dinding yang menunjukkan angka enam pagi. Di luar sudah terdengar keramaian suara kerabat Ayah yang menggelar karpet bersama-sama tidur di ruang tamu. Dari halaman pun sudah terjadi kesibukan pembongkaran tenda pelaminan. "Sudah jam berapa ini? Kau tak sholat."Bukan urusanmu. Kita hidup masing-masing," dengusku. "Sekarang kau adalah tanggung jawab dunia dan akhiratku. Aku wajib membimbingmu mencari keridhoan ilahi dan bila ada kemungkaran yang kau lakukan aku wajib mengingatkan," terang Bima lembut mungkin berharap terketuk pintu hatiku. "Dari awal sudah kukatakan pernikahan ini hanya di atas kertas, hak dan kewajiban tak termasuk di dalamnya. Satu lagi jangan mengatur hidupku." Aku beranjak
**Pov Bima"Nak Abim, batalkan saja pengambilan tiket itu.""Kenapa pak?""Raline tak mengambil cuti pernikahan rupanya. Bapak takut nanti kalian tak fokus bulan madunya karena terganggu masalah kantor Raline."Aku yakin hal itu pasti dilakukan Raline agar tak menjadi bahan gunjingan di kantor, walaupun dia sudah pindah ke Surabaya sekalipun tetap saja gosip pasti beredar mengenai pernikahan Bu direktur dan mantan manager keuangan yang dipecat paksa karena kelakuannya. "Kau jadi mengambil tiket itu?" tanya Raline ketika turun dari mobil. Dia nampak kesusahan dengan kebaya ketat yang dipakainya. Ada rasa kasihan dan ingin menolong tapi kuurungkan ketika melihat wajah juteknya padaku. "Sudah," jawabku pura-pura. Ingin kulihat reaksinya besok bagaiamana mengetahui kami tak jadi berangkat. "Tolong jaga sopan santunmu pada keluargaku." Aku memperingatkan gadis bermata biru karena soflens yang dipakainya sebelum memasuki pekarangan rumah yang telah dihias sedemikian rupa, walau tak seme
Pov RalineSebuah mini bus menyalip begitu kencang sehingga membuat aku gugup hilang konsentrasi. Beruntung aku membanting stir ke sisi kiri yang berupa rerumputan hijau yang dibatasi kawat besi. Mobil menabrak pagar itu sebelumnya aku sudah menginjak rem. "Sudah kukatakan jangan ngebut kau tak mau dengar!" bentak Bima kalut. "Kau tak apa-apa? Ada yang sakit atau luka?" tanyanya cemas. Aku menggeleng, baru kali ini seumur-umur membawa kendaraan aku mengalami kecelakaan. Lelaki itu lekas turun memeriksa keadaan mobil. Beberapa motor berhenti memperhatikan kami. "Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya salah seorang dari mereka. "Nggak, apa-apa. Kami baik-baik saja." Bima kembali ke dalam, memperhatikan aku yang masih mengatur detak jantungku yang menggila. "Itu akibat tak mau mendengarkan perkataan suami." Ia meraih tisue menyeka peluh di dahiku dan kutepis dengan kasar. "Cari kesempatan!" bentakku mengeram. "Sini pindah, biar aku yang nyetir," ujar Bima keluar dari mobil lagi. Aku m
**Pov BimaDari balik tirai jendela kulepas kepergian Raline yang kudengar tadi ia pamit pada Ayahnya hendak family gathering. Ia tak pamit padaku. Sejak peristiwa tabrakan yang hampir membuat Jantungku hampir copot, Raline sering menghindari berpapasan denganku, mungkin merasa bersalah atau entah apalah namanya. "Nak Abim, boleh bicara sebentar?" Pak Udi mengagetkanku. "Ya, Pak."Aku mengikuti Pak Udi menuju samping rumah. Di sana terdapat dua buah kursi santai.Dari sini aku bisa memandang taman bunga yang kemarin tak terurus, tapi sebelum pesta Pak Udi membersihkannya sehingga nampak bersih dipandang mata. "Apa rencana kalian setelah ini?"tanyanya menatapku. Aku yang memang belum ada rencana apa-apa sebab belum bicara apapun dengan Raline. "Bapak ingin kalian tinggal di sini, tapi kalau kalian merasa tak nyaman, Bapak akan menyewakan sebuah rumah minimalis di komplek perumahan yang tak jauh dari sini.""Nanti saya akan bicara pada Raline maunya bagaimana, Pak," jawabku. "Na
**Pov RalineKami duduk bertiga di ruang tamu rumah yang baru saja kutempati. Kak Mila menatap kami satu persatu. "Bima! Aku sudah tahu semua tentangmu. Pada dasarnya aku harus ikut benci padamu karena perlakuan burukmu pada adikku dimasa lampau, menjadi sebab akibat Ibuku berpulang. Tapi aku juga tak bisa membantah keinginan Ayahku. Beliau begitu memujamu, mengatakan kau adalah sosok yang selama ini diidam-idamkan menjadi menantu.""Kak Mila, jangan terlalu memujinya, nanti dia besar kepala," sindirku. "Kau juga Raline! Jangan mentang-mentang karena Ayah, kau mempermainkan pernikahanmu," bentak Kak Mila berang. "Aku sudah sering memperhatikan kalian, hidup sendiri-sendiri. Mungkin dengan tinggal berdua kalian bisa menyadari kesalahan masing-masing dan menghargai pernikahan. Percayalah! Allah tak pernah salah dalam masalah jodoh, tinggal kalian yang menjalani. Kuharap apa yang kukatakan ini bisa menjadi renungan."Kak Mila bangkit menuju kamar nomor dua. Aku merutuk gagalnya renc
**Aku menelan air liurku dengan susah payah, tenggorokanku kelu kala mendengar suara serak itu."Kau masih mengingatku, Sayang? Bagaimana pernikahanmu? Yang pasti kau masih perawan, Bukan?" Terdengar tawa terbahak-bahak di seberang sana. "Da-dari kau tahu nomorku, Ngga?""Loh, kamu lupa Rudy?"Ya ampun, pasti Rudy masih berhubungan dengan Rangga tentunya. "Satu yang harus kau tahu Rudy hampir sama denganku, tapi yang pasti gantengan dan pintaran aku, dong," kekeh Rangga. "Kenapa aku bisa berhubungan dengan orang macam kalian!" rutukku. "Sebab kau masih punya hutang padaku dan kebetulan sekali ada Rudy yang menggantikanku di sana. Kebetulan juga Rudy menyukaimu sepertiku. Selamat berpetualang dengan Rudy, Raline! Kuingatkan hati-hati Rudy lebih berbahaya dariku. Oh, ya, kau belum menjawab pertanyaanku tentang malam pertamamu, apa kau sudah melakukannya?"Tawa menggelegar Rangga membahana di sana membuat panas telinga dan wajahku tentunya. Lekas kutekan tombol warna merah sekuatnya