**Pov RalineAku menggeliat bangkit dari ranjang, bangkit dan mendapati Bima tengah membaca alquran di atas sajadah di lantai.Setelah insiden semalam aku jadi semakin membenci Bima. Walau halal untuk bersentuhan dan kemunculan geleyar aneh, aku menampik berdekatan dengannya.Aku melirik jam dinding yang menunjukkan angka enam pagi. Di luar sudah terdengar keramaian suara kerabat Ayah yang menggelar karpet bersama-sama tidur di ruang tamu. Dari halaman pun sudah terjadi kesibukan pembongkaran tenda pelaminan. "Sudah jam berapa ini? Kau tak sholat."Bukan urusanmu. Kita hidup masing-masing," dengusku. "Sekarang kau adalah tanggung jawab dunia dan akhiratku. Aku wajib membimbingmu mencari keridhoan ilahi dan bila ada kemungkaran yang kau lakukan aku wajib mengingatkan," terang Bima lembut mungkin berharap terketuk pintu hatiku. "Dari awal sudah kukatakan pernikahan ini hanya di atas kertas, hak dan kewajiban tak termasuk di dalamnya. Satu lagi jangan mengatur hidupku." Aku beranjak
**Pov Bima"Nak Abim, batalkan saja pengambilan tiket itu.""Kenapa pak?""Raline tak mengambil cuti pernikahan rupanya. Bapak takut nanti kalian tak fokus bulan madunya karena terganggu masalah kantor Raline."Aku yakin hal itu pasti dilakukan Raline agar tak menjadi bahan gunjingan di kantor, walaupun dia sudah pindah ke Surabaya sekalipun tetap saja gosip pasti beredar mengenai pernikahan Bu direktur dan mantan manager keuangan yang dipecat paksa karena kelakuannya. "Kau jadi mengambil tiket itu?" tanya Raline ketika turun dari mobil. Dia nampak kesusahan dengan kebaya ketat yang dipakainya. Ada rasa kasihan dan ingin menolong tapi kuurungkan ketika melihat wajah juteknya padaku. "Sudah," jawabku pura-pura. Ingin kulihat reaksinya besok bagaiamana mengetahui kami tak jadi berangkat. "Tolong jaga sopan santunmu pada keluargaku." Aku memperingatkan gadis bermata biru karena soflens yang dipakainya sebelum memasuki pekarangan rumah yang telah dihias sedemikian rupa, walau tak seme
Pov RalineSebuah mini bus menyalip begitu kencang sehingga membuat aku gugup hilang konsentrasi. Beruntung aku membanting stir ke sisi kiri yang berupa rerumputan hijau yang dibatasi kawat besi. Mobil menabrak pagar itu sebelumnya aku sudah menginjak rem. "Sudah kukatakan jangan ngebut kau tak mau dengar!" bentak Bima kalut. "Kau tak apa-apa? Ada yang sakit atau luka?" tanyanya cemas. Aku menggeleng, baru kali ini seumur-umur membawa kendaraan aku mengalami kecelakaan. Lelaki itu lekas turun memeriksa keadaan mobil. Beberapa motor berhenti memperhatikan kami. "Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya salah seorang dari mereka. "Nggak, apa-apa. Kami baik-baik saja." Bima kembali ke dalam, memperhatikan aku yang masih mengatur detak jantungku yang menggila. "Itu akibat tak mau mendengarkan perkataan suami." Ia meraih tisue menyeka peluh di dahiku dan kutepis dengan kasar. "Cari kesempatan!" bentakku mengeram. "Sini pindah, biar aku yang nyetir," ujar Bima keluar dari mobil lagi. Aku m
**Pov BimaDari balik tirai jendela kulepas kepergian Raline yang kudengar tadi ia pamit pada Ayahnya hendak family gathering. Ia tak pamit padaku. Sejak peristiwa tabrakan yang hampir membuat Jantungku hampir copot, Raline sering menghindari berpapasan denganku, mungkin merasa bersalah atau entah apalah namanya. "Nak Abim, boleh bicara sebentar?" Pak Udi mengagetkanku. "Ya, Pak."Aku mengikuti Pak Udi menuju samping rumah. Di sana terdapat dua buah kursi santai.Dari sini aku bisa memandang taman bunga yang kemarin tak terurus, tapi sebelum pesta Pak Udi membersihkannya sehingga nampak bersih dipandang mata. "Apa rencana kalian setelah ini?"tanyanya menatapku. Aku yang memang belum ada rencana apa-apa sebab belum bicara apapun dengan Raline. "Bapak ingin kalian tinggal di sini, tapi kalau kalian merasa tak nyaman, Bapak akan menyewakan sebuah rumah minimalis di komplek perumahan yang tak jauh dari sini.""Nanti saya akan bicara pada Raline maunya bagaimana, Pak," jawabku. "Na
**Pov RalineKami duduk bertiga di ruang tamu rumah yang baru saja kutempati. Kak Mila menatap kami satu persatu. "Bima! Aku sudah tahu semua tentangmu. Pada dasarnya aku harus ikut benci padamu karena perlakuan burukmu pada adikku dimasa lampau, menjadi sebab akibat Ibuku berpulang. Tapi aku juga tak bisa membantah keinginan Ayahku. Beliau begitu memujamu, mengatakan kau adalah sosok yang selama ini diidam-idamkan menjadi menantu.""Kak Mila, jangan terlalu memujinya, nanti dia besar kepala," sindirku. "Kau juga Raline! Jangan mentang-mentang karena Ayah, kau mempermainkan pernikahanmu," bentak Kak Mila berang. "Aku sudah sering memperhatikan kalian, hidup sendiri-sendiri. Mungkin dengan tinggal berdua kalian bisa menyadari kesalahan masing-masing dan menghargai pernikahan. Percayalah! Allah tak pernah salah dalam masalah jodoh, tinggal kalian yang menjalani. Kuharap apa yang kukatakan ini bisa menjadi renungan."Kak Mila bangkit menuju kamar nomor dua. Aku merutuk gagalnya renc
**Aku menelan air liurku dengan susah payah, tenggorokanku kelu kala mendengar suara serak itu."Kau masih mengingatku, Sayang? Bagaimana pernikahanmu? Yang pasti kau masih perawan, Bukan?" Terdengar tawa terbahak-bahak di seberang sana. "Da-dari kau tahu nomorku, Ngga?""Loh, kamu lupa Rudy?"Ya ampun, pasti Rudy masih berhubungan dengan Rangga tentunya. "Satu yang harus kau tahu Rudy hampir sama denganku, tapi yang pasti gantengan dan pintaran aku, dong," kekeh Rangga. "Kenapa aku bisa berhubungan dengan orang macam kalian!" rutukku. "Sebab kau masih punya hutang padaku dan kebetulan sekali ada Rudy yang menggantikanku di sana. Kebetulan juga Rudy menyukaimu sepertiku. Selamat berpetualang dengan Rudy, Raline! Kuingatkan hati-hati Rudy lebih berbahaya dariku. Oh, ya, kau belum menjawab pertanyaanku tentang malam pertamamu, apa kau sudah melakukannya?"Tawa menggelegar Rangga membahana di sana membuat panas telinga dan wajahku tentunya. Lekas kutekan tombol warna merah sekuatnya
**Pov BimaYakin wajahku pucat pasi berhadapan dengan Raline kali ini, bersyukur ia tidak menoleh padaku setelah mengambil pesanan gofoodnya. Aku mengurut dada merasakan kelegaan Raline tak melihat lelaki itu. Aku membuntutinya menanyakan kenapa dia tak mau makan masakanku.Lagi sikap Raline membuat emosiku meledak, aku menghalangi langkahnya. Mata cantik berhias soflen biru itu menatap tepat manik mataku. Darahku tiba-tiba berdesir, jantungku memompa lebih cepat. Jarak kami begitu rapat sehingga bagian tubuh depan Raline menempel ke tubuhku. Entah keberanian darimana aku mengecup bibir kemerahan miliknya tanpa perlawanan. Toh, aku berhak, ia istriku yang sah. Aku semakin berani dengan mendorong tubuhnya ke dinding. Hasratku semakin tak terbendung dengan melumat bibir Raline penuh nafsu. Tiba-tiba Raline menamparku hingga membuatku tersadar dari perbuatan kasarku barusan. Berbalik aku meninggal Raline yang juga syock karena telah menamparku. Di dalam kamar aku merutuk memukul kepa
**Pov RalineWajah Dion begitu dekat dengan wajahku, hembusan napasnya yang hangat beraroma mint menyapa indra penciuman. Aku tersadar dan buru-buru menjauh, melepaskan tangannya dari bahuku. "Kenalkan ini Raline, Mas Dion. Kebetulan dia sendiri malam ini." Lidia memperkenalkanku.Dion meraih sebuah kursi di sampingku, menariknya hingga menempel ke kursiku."Lihat, belum apa-apa sudah posesif aja," ledek Lidia merebahkan kepalanya lelaki di sampingnya. "Iya, entah kenapa, pertama aku melihatnya tadi, aku langsung terpesona." Dion meraih jemariku dan menci*mnya dan aku mendiamkan, malah dadaku berdesir halus seolah tersanjung diperlakukan sedemikian rupa. Hingga melupakan tujuan utamaku. Getaran ponsel di tas kecil mengembalikan kesadaranku. Kutarik jemari yang masih dalam genggaman Dion. "Aku mau mengangkat telepon dulu," pamitku berdiri menjauh. Tersentak aku melupakan pertemuan dengan Rudy malam ini."Hallo, Raline! Kamu dimana? Kami sudah menunggumu di tempat biasa." Nyaring