**Pov RalineKami duduk bertiga di ruang tamu rumah yang baru saja kutempati. Kak Mila menatap kami satu persatu. "Bima! Aku sudah tahu semua tentangmu. Pada dasarnya aku harus ikut benci padamu karena perlakuan burukmu pada adikku dimasa lampau, menjadi sebab akibat Ibuku berpulang. Tapi aku juga tak bisa membantah keinginan Ayahku. Beliau begitu memujamu, mengatakan kau adalah sosok yang selama ini diidam-idamkan menjadi menantu.""Kak Mila, jangan terlalu memujinya, nanti dia besar kepala," sindirku. "Kau juga Raline! Jangan mentang-mentang karena Ayah, kau mempermainkan pernikahanmu," bentak Kak Mila berang. "Aku sudah sering memperhatikan kalian, hidup sendiri-sendiri. Mungkin dengan tinggal berdua kalian bisa menyadari kesalahan masing-masing dan menghargai pernikahan. Percayalah! Allah tak pernah salah dalam masalah jodoh, tinggal kalian yang menjalani. Kuharap apa yang kukatakan ini bisa menjadi renungan."Kak Mila bangkit menuju kamar nomor dua. Aku merutuk gagalnya renc
**Aku menelan air liurku dengan susah payah, tenggorokanku kelu kala mendengar suara serak itu."Kau masih mengingatku, Sayang? Bagaimana pernikahanmu? Yang pasti kau masih perawan, Bukan?" Terdengar tawa terbahak-bahak di seberang sana. "Da-dari kau tahu nomorku, Ngga?""Loh, kamu lupa Rudy?"Ya ampun, pasti Rudy masih berhubungan dengan Rangga tentunya. "Satu yang harus kau tahu Rudy hampir sama denganku, tapi yang pasti gantengan dan pintaran aku, dong," kekeh Rangga. "Kenapa aku bisa berhubungan dengan orang macam kalian!" rutukku. "Sebab kau masih punya hutang padaku dan kebetulan sekali ada Rudy yang menggantikanku di sana. Kebetulan juga Rudy menyukaimu sepertiku. Selamat berpetualang dengan Rudy, Raline! Kuingatkan hati-hati Rudy lebih berbahaya dariku. Oh, ya, kau belum menjawab pertanyaanku tentang malam pertamamu, apa kau sudah melakukannya?"Tawa menggelegar Rangga membahana di sana membuat panas telinga dan wajahku tentunya. Lekas kutekan tombol warna merah sekuatnya
**Pov BimaYakin wajahku pucat pasi berhadapan dengan Raline kali ini, bersyukur ia tidak menoleh padaku setelah mengambil pesanan gofoodnya. Aku mengurut dada merasakan kelegaan Raline tak melihat lelaki itu. Aku membuntutinya menanyakan kenapa dia tak mau makan masakanku.Lagi sikap Raline membuat emosiku meledak, aku menghalangi langkahnya. Mata cantik berhias soflen biru itu menatap tepat manik mataku. Darahku tiba-tiba berdesir, jantungku memompa lebih cepat. Jarak kami begitu rapat sehingga bagian tubuh depan Raline menempel ke tubuhku. Entah keberanian darimana aku mengecup bibir kemerahan miliknya tanpa perlawanan. Toh, aku berhak, ia istriku yang sah. Aku semakin berani dengan mendorong tubuhnya ke dinding. Hasratku semakin tak terbendung dengan melumat bibir Raline penuh nafsu. Tiba-tiba Raline menamparku hingga membuatku tersadar dari perbuatan kasarku barusan. Berbalik aku meninggal Raline yang juga syock karena telah menamparku. Di dalam kamar aku merutuk memukul kepa
**Pov RalineWajah Dion begitu dekat dengan wajahku, hembusan napasnya yang hangat beraroma mint menyapa indra penciuman. Aku tersadar dan buru-buru menjauh, melepaskan tangannya dari bahuku. "Kenalkan ini Raline, Mas Dion. Kebetulan dia sendiri malam ini." Lidia memperkenalkanku.Dion meraih sebuah kursi di sampingku, menariknya hingga menempel ke kursiku."Lihat, belum apa-apa sudah posesif aja," ledek Lidia merebahkan kepalanya lelaki di sampingnya. "Iya, entah kenapa, pertama aku melihatnya tadi, aku langsung terpesona." Dion meraih jemariku dan menci*mnya dan aku mendiamkan, malah dadaku berdesir halus seolah tersanjung diperlakukan sedemikian rupa. Hingga melupakan tujuan utamaku. Getaran ponsel di tas kecil mengembalikan kesadaranku. Kutarik jemari yang masih dalam genggaman Dion. "Aku mau mengangkat telepon dulu," pamitku berdiri menjauh. Tersentak aku melupakan pertemuan dengan Rudy malam ini."Hallo, Raline! Kamu dimana? Kami sudah menunggumu di tempat biasa." Nyaring
**Mobilku meluncur di tengah keramaian jalan raya yang padat karena orang-orang berkejaran dengan malam yang segera menjelang. Lampu-lampu di pinggir jalan mulai benderang menyinari senja yang mulai menyelimuti. Setelah mengatur pengiriman barang-barang esok pagi dan mengambil transferan dari tetanggaku yang rumahnya direnovasi itu aku segera pulang takut Raline tak membawa kunci dan terkurung di luar. Rumah gelap begitu aku sampai. 'Kemana Raline? Tak mungkin jam segini ia belum pulang.'Tanyaku dalam hati. Setelah memarkirkan mobil bergegas aku membuka pintu menghidupkan lampu teras. "Mas Bram! Duitnya sudah ditransfer, kan?" Perempuan muda yang rumahnya direnovasi menyambangiku dari depan pagar. "Sudah, Mbak. Terimakasih, ya," ucapku agar ia pergi, tapi ternyata salah, ia membuka pintu pagar dan malah masuk. "Istrinya belum pulang, Ya? Tadi saya lihat dia berdandan cantik keluar bersama tetangga depan rumah. Hati-hati bergaul dengan dia itu," tunjuknya pada rumah di depan.
**"Bu Raline sepertinya sangat bahagia hari ini? Saya lihat senyum-senyum sendiri dari tadi, seperti orang yang lagi jatuh cinta."Yanti sekretarisku berucap menggoda saat mengantar laporan persentasi rapat. "Ah, kamu bisa saja, Yan," jawabku tersipu malu. 'Ada apa denganku? Kenapa hatiku berbunga-bunga mendapat pesan dari Dion tadi pagi.'[Selamat pagi, Manis. Semoga harimu indah seperti indahnya matahari pagi ini] Sebuah gambar satu bucket bunga dan emoji love banyak mengiringi pesan tersebut. Pandai sekali lelaki itu mengambil hati wanita yang gersang sepertiku.Kuakui aku tersanjung sebab aku suka pria yang romantis dan lembut. Tak seperti Bima yang datar! "Bu Raline, rapat segera dimulai. Pak Lim sudah ada di ruangan," lapor Yanti ketika sebuah pesan masuk kembali menyambangi WA ku. [Sorry, soal semalam! Aku akan tetap menjalankan tawaranmu. Semoga harimu menyenangkan]Aku mematikan ponsel tanpa membalas pesan Rudy. Aku kecewa padanya, bisa-bisanya dia mengambil kesempatan s
Pov Raline**"Raline! Oh, sayang kau cantik sekali," puji Dion saat melihatku memasuki ruang tunggu ke berangkatan. Dion sudah ada di sana setengah jam lalu katanya. Aku melenggang melewati Dion, memilih tempat duduk yang menurutku lebih nyaman. Dion mengikut dan duduk di sampingku. "Kamu ada urusan apa ke Jakarta?" tanyaku sambil merapikan rambutku yang kusut terkena angin di taxi online tadi. Tiba-tiba Dion mengambil alih tanganku, ia menyisir sedikit ujung rambut ikalku. "Biasalah urusan bisnis. Perfect! Kau begitu sempurna," pujinya lagi, lalu lelaki yang hari ini nampak keren dengan kemeja kotak warna coklat dipadu jeans hitam itu mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya.Sebuah kotak kecil berwarna merah. Dion membukanya dan mengeluarkan sebuah gelang emas berulir-ulir seperti akar. "Kurasa kau cantik memakainya." Dion meraih pergelangan tanganku dan memakaikan gelang itu di sana. "Aku tahu kau pasti bisa membeli lebih mahal dari ini, tapi anggaplah ia sebagai hadiah perte
**Pov BimaKuketuk berkali-kali kamar Raline memastikan ia ada di dalam. Namun, tak sedikitpun pintu itu terkuak mengisyaratkan ada orang di dalam. 'Kemana Raline? Bagaimana kalau Ayah datang, aku harus bilang apa?"Aku mengacak rambut kesal, kebiasaannya pergi tanpa bicara minimal kirim pesan walau aku tak dianggap. Padahal sebentar lagi Ayah sampai. Kucoba mengirim pesan menanyakan di mana dia berada, tapi centang satu, begitu pula panggilan hanya memanggil tak berdering. Aku memilih duduk di teras menunggu kedatangan Ayah sambil mencari alasan tentang keberadaan Raline. "Hallo, Mas, Raline ada?" Seorang wanita memakai rok span pendek berdiri di depan pintu gerbang sambil tersenyum. "Tidak ada, Mbak. Ada apa, ya?" tanyaku tanpa bangkit dari kursi yang kududuki, malas melihat penampilan yang merusak pandangan mataku. "Saya tetangga depan rumah, Mas. Boleh saya masuk?"Tanpa menunggu jawabanku, wanita itu membuka sendiri pintu gerbang lalu melangkah masuk. Gawat kalau Ayah meli